Ia, buku, do'a, dan hatinya

10 3 0
                                    

Tangan Zeita tidak berhenti menggerakkan tasbih, sementara mulutnya berdzikir. Mencoba menenangkan diri, mengumpulkan serpihan hatinya yang berkeping. Sesekali ia memejamkan mata, terisak lirih, menarik napas panjang, sementara bibir dan tubuhnya gemetar. Setelahnya Ia akan menggenggam erat tasbihnya dan kembali berdzikir.

Sudah hampir tiga puluh menit Zeita duduk seperti itu di kursi koridor rumah sakit, sementara Lala menemani di sampingnya. Lala memang sengaja tidak langsung menghubungi Zeita begitu tau sesuatu terjadi pada Aden, Lala khawatir pada keadaan Zeita yang saat itu berada di luar negeri dan juga masih dalam keadaan berduka. Lala takut kabar ini akan mengguncangnya, namun melihat bagaimana Zeita saat ini mungkin seharusnya Lala memberitahunya sejak dulu.

"Zeita," suara panggilan itu membuat Zeita mendongak, menatap sosok yang melangkah mendekatinya. Itu bundanya Aden.

Zeita hendak berdiri tapi Bunda menggeleng, meminta Zeita tetap duduk di sana. Bunda tau kalau gadis itu begitu terpukul, Bunda tersenyum dan mengulurkan sesuatu kepada Zeita.

Sebuah buku bersampul hijau dengan motif dedaunan. Gadis itu menerima dengan raut tidak mengerti.

"Buku milik Aden," ucap Bunda yang membuat Zeita mendongak kaget, gadis itu berniat mengembalikannya namun Bunda menggeleng.

"Mungkin kamu mau membacanya, banyak tertulis nama kamu di sana." Mata Zeita melebar, Ia terkejut namun juga menggeleng hendak mengembalikannya. Bunda tersenyum lalu menepuk lembut puncak kepala Zeita.

"Mungkin Aden juga mau kamu membacanya," ujar Bunda menahan haru, sebelum akhirnya melangkah menjauh. Meninggalkan Zeita dengan buku milik Aden di pangkuannya. Lala menyentuh bahu Zeita, membuat Zeita menoleh menatapnya.

"Apa kamu mau menemui Aden sekarang? Kamu bisa sambil membacanya di dalam," tatap Lala pengertian.

Zeita mengerjap, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Lala tersenyum, membantu Zeita merapikan rambutnya sekaligus mencoba menenangkannya.

🌹

Ia melangkah memasuki ruangan, tatap matanya langsung tertuju pada Aden yang terbaring dengan berbagai macam alat yang terpasang di wajah dan tubuhnya yang Zeita tidak mengerti apa saja kegunaannya. Gadis itu berdiri kaku di samping kasur rawat Aden, menatap pemuda itu dalam keadaan seperti ini terasa aneh, terasa asing.

Kaki Zeita goyah, Ia berpegangan ke kursi yang ada di samping kasur rawat dan memutuskan untuk duduk, tidak mau jatuh karena kakinya lemas.

"A-aku... pulang," Zeita tercekat, lalu menutupi mulut karena bibirnya gemetar. Air matanya sudah kembali mendesak, membuat Zeita mengigit bibir. Aden tidak akan suka melihatnya menangis.

Gadis itu mencondongkan tubuh, menatap wajah Aden yang tertutup alat bantu napas. Dahinya mengernyit dalam, dan air matanya lolos jatuh ke pipi.

"A-a..." Zeita kembali tercekat.

"A-...." Gadis itu menggeleng, tergugu di tempatnya. Dadanya terasa sakit bukan main, seakan di setiap tarikan napas meremas jantungnya, merobek hatinya, menikam seluruh kesadarannya.

"Aden..." Ucap Zeita lirih, berharap pemuda itu mendengar suaranya, terbangun, dan balas menatapnya. Tapi tidak ada respons, hanya suara dari monitor denyut jantung yang terdengar di seisi ruangan.

Zeita tidak punya tenaga untuk bicara, Ia menunduk menyentuhkan dahinya di dekat lengan Aden yang terpasang selang infus. Merasakan tubuh pemuda itu yang terasa hangat, dan Zeita mensyukurinya. Menandakan Aden masih hidup, dan mungkin pemuda itu juga bisa mendengarnya.

"Aden, mawarnya. Aku sudah melihat mawarnya, mawar kita berbunga. Ayo kita lihat bersama den, atau ganti ruginya nggak akan pernah lunas." Zeita mengangkat wajah, duduk termenung menatap Aden yang terbaring dengan begitu tenangnya. Ketenangan yang mengusik Zeita.

Karena Kita Bertemu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang