"Ini tuh weekend, Bu. Kamu bangun kesiangan gara-gara tidur nyenyak jadi lupa hari, ya?"
Jan Lakis tampak meledek ketika Samira panik melihat jam menunjuk ke angka sepuluh pagi. Lihat saja, bahkan saking paniknya sang istri, wanita itu sampai terdiam beberapa detik hanya untuk mencerna apakah ucapan Jan Lakis benar atau tidak. Barulah ketika dia mengecek hari dari ponsel, wanita itu bernapas lega.
"Kamu gak mungkin kerja di akhir pekan begini 'kan?" tanya pria itu sangsi saat dilihatnya Samira tetap tidak santai di akhir pekan seperti ini.
Sementara itu, Samira tidak menanggapinya sama sekali. Wanita itu sibuk mondar-mandir merapikan beberapa dokumen yang tampak berserakan di atas meja kerja serta pakaian-pakaian yang ia lipat dengan rapi.
Jan Lakis melipat kedua tangannya di dada. Dia menghela napas seraya menyandarkan bahu kirinya pada list pintu kamar sang istri. "Bu, aku bicara sama kamu lho," katanya, "bukan sama tembok."
Samira menatap suaminya sekilas. "Aku enggak kerja, Mas. Cuma, memang ada beberapa pekerjaan yang harus aku cicil dari hari ini, Mas," jawabnya.
"Kerjaan apa? Aku pikir, sebagai owner dan CEO, kamu enggak perlu lagi kerja sekeras itu?"
Samira terdiam lagi. Dia menatap Jan Lakis dengan tangan terlipat di dada seperti suaminya itu lalu membalas dengan menyindir, "Aku pikir, kamu sebagai cucu pemilik Saudjaja Grup juga gak akan sesibuk itu sampai punya dua job."
Nadanya santai, tidak ketus sama sekali. Namun, itu berhasil membuat Jan Lakis meringis karena sindiran Samira begitu tepat sekali menusuk ulu hatinya. "Ya ... kan ... iseng aja," kilahnya seraya menggaruk ujung alisnya yang tebal.
Kemudian, pria itu kembali diam memperhatikan ketika Samira melanjutkan hal-hal yang membuatnya tampak sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Kedua mata pria itu tampak tidak bosan memperhatikan sang istri. Yang secara bersamaan, diam-diam Jan Lakis tengah menimang-nimang sebuah kalimat yang sejak awal terasa menggantung di lidahnya tanpa mampu diungkapkan.
Tapi ternyata, gelagat Jan Lakis yang agak aneh tertangkap oleh Samira.
"Kamu sebenarnya ngapain di situ, Mas?" tanya Samira seraya menghentikan kegiatannya. Dari dalam kamar, dia berdiri berkacak pinggang menghadap ke arah Jan Lakis yang kini tampak kebingungan.
Pasalnya, sejak Samira selesai menerima baju-baju rapi yang telah disetrika oleh orang suruhannya, Jan Lakis terus membuntutinya. Itu sebabnya, ketika Samira masuk ke dalam kamar, dia sengaja tidak menutup pintunya karena mungkin Jan Lakis akan tetap mengikutinya.
Dan benar saja, selama Samira sibuk melakukan ini-itu, Jan Lakis diam memperhatikannya di ambang pintu dengan gelagat yang membuat Samira gemas—karena dia tahu mungkin ada hal yang perlu dibicarakan dengannya, tetapi Jan Lakis tetap memilih bungkam sampai akhirnya Samira bertanya duluan.
"Ada yang perlu kamu omongin? Atau ada yang harus aku bantu?" tanya wanita itu pada akhirnya.
Jan Lakis menggeleng kepala. "Nanti aja kalau semua pekerjaanmu sudah selesai deh, Bu," katanya sambil melengos pergi.
Kedua alis Samira terangkat. Benar-benar bingung dengan sikap suaminya. Namun, wanita itu tidak akan mengejar Jan Lakis atau mendesaknya untuk langsung mengutarakan apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh pria itu.
Oleh karenanya, Samira memilih kembali melanjutkan aktivitasnya. Ada hal lain yang harus segera ia lakukan sebelum nanti Samira harus memasak menyiapkan makan siang. Yang tentunya, sudah lebih lactose tolerant setelah tahu selama ini alasan suaminya tidak memakan makanannya karena dia alergi produk olahan susu apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...