3. Cinderella

3 1 0
                                    


"Pertemuan kali ini sangat penuh semangat. Konsep yang telah kalian semua usung benar-benar bagus." Seorang guru robotika di depan tersenyum lebar. Bangga dengan para muridnya yang sedang duduk berkelompok di meja bundar dengan layar hologram di bagian tengah tiap meja.

Pelajar di kelas 3-A1 duduk sesuai kelompok yang telah ditetapkan di hari lalu. Satu meja diisi empat orang peserta. Dan terdapat empat kelompok di kelas itu. Tiap kelompok mengusung konsep dan rancangan robotika yang menarik.

"Miss harap pekan depan Miss bisa melihat hasil dari kerja keras kelompok kalian. Terutama kelompok Ganya, Miss sangat penasaran dengan hasilnya. Itu konsep yang terlihat cukup rumit."

Ganya tersenyum tersipu malu mendengar penuturan guru cantik di depannya. Quirita yang duduk di sampingnya menepuk bahu Ganya dan ikut tersenyum bangga. Di pojok lain Aktina tertawa culas. Ia merasa jijik dengan Quirita, hanya tidak dimasukkan kedalam kelompok yang sama perempuan bermata setajam elang itu langsung berubah haluan.

'Dia selalu merasa kepanasan!'

Varsha mencibir Aktina di depan Meraki. Perempuan berambut lilac itu terus memperhatikan Aktina yang tampak begitu tidak senang dengan apa yang guru lontarkan kepada kelompok Ganya. Baik Meraki ataupun Aktina tak ada yang mempedulikan apa yang Varsha sampaikan. Mereka masih memperhatikan guru di depan sana.

"Aku akan berusaha yang terbaik Miss." Ganya menjawab penuh percaya diri. Aktina kian dibuat mendelik tajam seraya merotasikan bola mata tak suka.

"Sudahlah!" Ekdanta sedikit menarik rambut panjang Aktina, membuat perempuan beralis tebal itu meringis dan memukul tangan sahabat kecilnya karena telah membuatnya sedikit terjengkang ke belakang. Ekdanta benar-benar tidak sopan.

"Baiklah. Kalian semua sudah bekerja keras. Semangat! Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya!"

Setelah sang guru pergi, Aktina langsung mematikan tombol hologram di meja. Ia mendecak kesal seraya menatap ketiga anggota pilihannya sendiri. Kedua tangannya berpangku di dada dengan mata sesekali melirik ke arah kelompok Ganya yang perlahan meninggalkan meja seperti kelompok lain untuk beristirahat.

"Aku sangat yakin hasil dari kerja keras kelompok kita pasti yang terbaik!" Aktina berujar dengan percaya diri.

"Tentu saja. Kita memiliki murid terpintar di sini. Mengapa tidak bisa menjadi yang terbaik?" Meraki menimpali seraya tersenyum miring ke arah Aktina.

"Yah, benar. Jangan lupakan, pencipta dan pemilik produksi bahan robotik terbaik juga ada juga di kelompok kita," ujar Aktina seraya menatap Varsha. Si lelaki berambut ikal mencebikkan bibir. Rupanya ini alasan utama Aktina memilihnya berada dalam satu kelompok yang sama.

Meraki menoleh ke arah Varsha, tampak tak memahami apa yang Aktina sampaikan. Melihat hal itu Ekdanta ingin menjelaskan. Ia lalu mengetik pada layar tab di tangan dan memberikannya kepada Meraki.

"Profesor Kala, ayah Varsha adalah salah seorang ilmuwan hebat di Kaleria. Dia merancang dan memproduksi bahan-bahan dasar robot, juga mesin elektronik sejenisnya."

"Woah. Berarti beberapa robot tempur yang berada di pinggiran kota pun itu ..." Meraki tampak kagum, membuat Varsha tersenyum lebar.

"Iya. Itu adalah salah satunya." Aktina menimpali lalu melirik sepatu yang digunakan Meraki.

'Lusa, aku akan mengajakmu ke rumahku.'

Varsha menyampaikan hal tersebut kepada Meraki, membuat Ekdanta dan Aktina diam-diam saling melirik sebal. Meskipun Aktina tidak tahu apa yang pastinya disampaikan oleh Varsha. Akan tetapi, melihat dari senyuman lelaki berheadphone di leher itu cukup menjelaskan sesuatu.

Saat menetapkan akan mengerjakan proyek kelompok di mana, Varsha langsung menolak ketika Aktina ingin melakukannya di hunian Varsha. Rivalnya itu malah merekomendasikan mengerjakan proyek di rumah Aktina sendiri. Lantas, karena posisi dari pusat pembelanjaan dan sekolah yang paling strategis pun ada di sana, semuanya pun setuju dengan hal tersebut. Namun, apa yang dilakukan Varsha kepada Meraki baru saja sungguh mengundang kekesalan.

"Kau tidak menyukai sepatu yang kuberikan?" tanya Aktina mengalihkan perhatian Meraki dan kedua temannya.

"Ah, itu ..." Meraki melirik ke arah Ganya. Rupanya perempuan berambut sebahu itu tengah menatap ke arahnya juga. Namun, sepersekian detik langsung memalingkan muka yang tampak cukup tegang. "Ukurannya terlalu kecil."

"Lalu saat ini kau menggunakan sepatu siapa?" tanya Ekdanta. Sepatu yang Meraki gunakan tampak berbeda dengan yang dipakai saat tadi pagi.

'Aku adalah pangeran dan Meraki adalah Cinderella-nya.' Varsha menggerakkan tangan, membuat Aktina memutar bola mata sebal. Ia benar-benar tidak mengerti.

"Yang benar saja!" Meraki melebarkan mata galak, tak setuju dengan apa yang disampaikan Varsha. "Varsha membelikan yang baru untukku. Terima kasih."

Varsha tersenyum kian senang. Ekdanta tak menanggapi apa pun, ia hanya melirik sepatu yang dikenakan Meraki. Kemudian, menatap perempuan berkacamata yang kini melirik ke arah Aktina, lalu melirik Quirita yang diam-diam melempar senyuman picik. Membuat Meraki mengepalkan tangan. Ia cukup yakin jika Quirita atau Ganya lah yang menaburkan bubuk gatal di sepatu yang diberikan Aktina.

Kaki Meraki sempat mengalami ruam merah dan gatal. Jika Varsha tidak ada di sana dan buru-buru menolongnya, Meraki yakin ia bahkan tidak akan bisa berjalan apalagi sampai mengikuti kelas. Dan pelaku yang mereka curigai hanya ada dua orang, Ganya yang Meraki sempat lihat keluar dari ruang loker dengan sebuah kotak kecil misterius dan Quirita yang sepertinya mendukung hal tersebut.

"Aku masih menaruh sepatumu di loker. Aku akan—"

"Tidak perlu. Aku sudah memberikannya untukmu." Aktina tampak lebih tenang, tidak tampak picik seperti biasanya. Ia lalu membereskan tab dan beberapa alat tulis dari meja.

Meraki terus memperhatikan Aktina. Ia cukup yakin, jika perempuan yang terkadang tampak bengis dan licik itu sebenarnya adalah orang baik. Aktina mungkin memiliki tujuan tertentu karenanya bisa bersikap demikian.

Hendak berdiri meninggalkan kelompok, pergerakan Meraki tertahan saat melihat sebuah suntikan dan tabung silinder kaca kecil di dalam tas milik Aktina. Ia lalu menatap lamat-lamat si perempuan bergigi gingsul.

"Apa kau tidak pernah takut jika ada orang yang mungkin ingin mencelakaimu, Aktina? Kau sangat pintar, menonjol, dan ... disegani banyak orang. Apa kau baik-baik saja?" Pertanyaan Meraki menghentikan gerakan Aktina selama beberapa saat, lalu perempuan berponi sealis itu tersenyum miring dan menatap Meraki dengan tatapan sombong seperti biasanya.

"Ada apa? Apa bagimu aku terlihat lemah?" tanya Aktina dengan santainya.

"Bukan begitu. Hanya saja ..." Meraki melihat ke arah Ganya dan Quirita beserta kawanannya. "Aku yakin banyak sekali yang iri denganmu."

"Kau salah satunya, bukan?" Aktina balas dengan senyuman puas. Meraki memalingkan muka seketika. Ia juga langsung membereskan barang-barangnya, berbincang terlalu lama dengan Aktina bukanlah hal baik.

"Aku memiliki banyak penjaga dan seorang ayah yang bisa melakukan apa pun untukku." Aktina memegang bahu Meraki sebelum perempuan bermata biru itu akan beranjak. "Lagipula, Ekdanta juga selalu berada di sampingku. Aku pasti akan baik-baik saja."

"Terserah!" Ekdanta memalingkan muka saat Aktina melempar senyuman penuh arti kepadanya. Ia memilih mundur ke tempat duduknya semula dan berlalu keluar kelas.

Jangan lupa vote dan komennya, Readers😉

FIRST OR DEATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang