6. Bedebah Miskin

0 0 0
                                    

Meraki hanya terdiam sembari melihat gedung-gedung pencakar langit yang berada di belakang halaman sekolah dari balik jendela. Guru senior konseling yang ada di hadapannya tampak seperti tak ia hiraukan. Melawan pun rasanya percuma, ia akan tetap mendapatkan hukuman, karena Aktina dan beberapa siswa-siswi telah bersaksi jika ia telah membuat masalah dengan beberapa teman sekelas.

Meskipun tidak semua yang dilaporkan adalah kebenaran, Meraki terlalu malas mengatakan apa pun. Padahal, ia dituduh ingin melukai Ganya. Namun, yang sebenarnya terjadi bukanlah seperti itu. Meraki memang menghadang dan menyeret Ganya ke pojok lorong dan menanyakan maksud perbuatan perempuan keturunan bangsawan itu kepada Meraki di hari lalu. Namun, alih-alih menjawab, Ganya malah menggigil ketakutan. Ketika Aktina memergoki mereka, Ganya tiba-tiba menjatuhkan diri dan berteriak meminta ampun agar Meraki tidak menyakitinya. Sangat dramatis.

Kesialan lain juga memperburuk citra Meraki. Siswa-siswi yang melihat ketika Meraki menampar Varsha dan mengabaikan Ekdanta saat mengajaknya mengerjakan tugas melaporkan hal tersebut kepada konseling. Ia sudah tidak lagi penasaran dengan seberapa besarnya pengaruh para anak konglomerat itu.

"Jiwa sosialisasi dan toleransimu cukup buruk, Meraki. Tolong perbaiki itu. Kau berada di sini karena kemurahan hati Tuan Presiden untuk bersekolah, dan mendapatkan banyak teman bukanlah hal buruk," ucap guru pria berusia sekitar empat puluhan awal, Meraki masih bergeming, ia tak membuka mulut sedikit pun, membuat sang guru cukup muak.

"Kau adalah pelajar baru di sini. Tolong. Meskipun tidak semua orang tahu rumor tentang kematian orang tuamu tidaklah benar, tetapi tetap bersikap baiklah. Kau sangat cerdas, sayang bila memiliki banyak musuh." Meraki menghela napas sembari membetulkan letak kacamata setelah mendengar perkataan sang guru lalu melirik jam digital di dinding.

"Kau—"

Bel pertanda jam pulang berbunyi nyaring. Meraki lantas berdiri dan membungkuk hormat sebelum akan meninggalkan sang guru. Ia sudah duduk selama dua jam dan mendapatkan ceramah juga hukuman, ia bahkan melewatkan jam mata pelajaran terakhir.

"Hukumanku berlaku mulai besok, bukan? Aku permisi. Terima kasih." Meraki menegakkan tubuh dan berlalu, membuat gurunya menghela napas. Baru kali ini mendapatkan murid yang berulah, tetapi begitu terlihat tenang, padahal yang bermasalah dengannya bukanlah orang-orang sembarangan.

***

Motor Meraki terlihat begitu mengenaskan. Maksud hati ingin langsung pulang, ia kini malah dibuat meradang. Beberapa siswa yang sepertinya adalah pelaku dari rusaknya motor miliknya tertawa dari kejauhan. Kedua ban motor Meraki terlepas dengan beberapa onderdil yang tercecer.

"Ah, yang benar saja!"

Meraki menggerutu sembari memeriksa jam di pergelangan tangan. Hampir petang. Kemudian, ia melemparkan tatapan tajam pada beberapa pelajar yang memperhatikannya. Sebagian diantara mereka mencibir, berpendapat bahwa Meraki pantas menerima hal tersebut karena ia telah berbuat kasar kepada Varsha, Ekdanta dan Ganya.

Alih-alih ingin membalas, Meraki malah melepas jas yang membalut kemeja putih panjangnya dan menaruhnya di dekat motor, kemudian berlalu melewati mereka. Meraki akan membuktikan bahwa ia bukanlah seseorang yang patut diremehkan. Lagipula, sebentar lagi sekolah pasti akan sepi, Meraki bisa memperbaiki motornya dengan alat-alat yang berada di ruangan mekanik tanpa halangan.

Di ujung lorong, setelah keluar dari ruangan mekanik Meraki tak sengaja melihat dan mendengar Ganya yang sedang berbincang dengan seseorang di ponsel. Raut wajahnya tampak begitu serius, membuat Meraki memperhatikannya dengan saksama. Beberapa kali tangan Ganya bergerak ke belakang kepala sampai tak sengaja dan tak sadar memperlihatkan sesuatu yang menempel di bagian punggung leher.

FIRST OR DEATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang