8. Rokok

1 0 0
                                    

"Ekdanta, Varsha, Meraki! Mari mengerjakan tugas kelompok kita! Kalian sudah mempersiapkannya, bukan?" Aktina berujar dengan penuh semangat. Ia sudah kembali bersekolah dengan keadaan yang tampak segar bugar. Tadi pagi sekali ia bahkan menghubungi semua anggota kelompok agar membawa semua peralatan yang dibutuhkan.

Hampir separuh penghuni kelas sudah keluar untuk beristirahat. Aktina merubah rencana. Ia tidak jadi mengajak teman-temannya mengerjakan tugas di rumah dengan alasan jika Minas tidak mengizinkan, karena rumah mereka akan kedatangan tamu penting. Ekdanta dan Varsha lantas setuju-setuju saja. Mereka bahkan tidak mengingat kejadian apa pun tentang hari kemarin.

"Meraki, ayo!" Ekdanta berujar ketika melihat perempuan berkacamata itu masih berkutat dengan buku, ia berdiri di samping meja Meraki. Tempat duduk Ekdanta berada tepat di belakang si perempuan berambut wolf cut.

'Aku akan mengambil peralatan dan komponen-komponen yang dibutuhkan di mobil. Meraki, tolong, bantu aku!'

Tanpa membereskan meja dan tanpa mengatakan apa pun Meraki berdiri dan melangkah keluar kelas terlebih dulu. Tangannya kosong tak membawa apa pun, membuat Ekdanta, Varsha, dan Aktina cukup bingung. Namun, mereka pun memilih untuk tak terlalu memikirkan hal tersebut.

Sekoper peralatan khusus Aktina jinjing, lengkap dengan tablet di tangan lain. Sedangkan beberapa komponen berat lainnya Ekdanta yang membawanya. Mereka berdua berjalan beriringan dengan Varsha yang mengekori Meraki. Belum sempat Varsha berbelok menuju tempat parkir dan Ekdanta juga Aktina berbelok menuju ruang praktek yang sudah dimintai izin akan mereka pakai, ketiganya terdiam saling memandang saat melihat Meraki terus berjalan lurus.

"Meraki, ruangan praktek ada di sebelah sana!" seru Aktina cukup kencang. Si pemilik nama lantas berbalik dengan tatapan yang begitu datar.

"Aku akan menjalani hukuman, bukan mengerjakan tugas," ucap Meraki dengan tenang. Tubuhnya kembali berbalik dan hendak melangkah pergi, tetapi Aktina menyusulnya dan menghadang.

"Hei! Aku sudah memberitahumu sejak pagi! Apa kau tidak memahaminya? Ini adalah tugas kelompok! Jangan bertindak sesuka hati!" Aktina berseru cukup kesal.

"Aku hanya mengikuti instruksi guru konseling," jawab Meraki tanpa berpikir dua kali. Ia dihukum harus membersihkan fasilitas sekolah selama dua pekan berturut-turut selama jam istirahat berlangsung, tanpa bantuan robot pembersih atau bantuan cleaning service sekolah.

"Kurasa, guru konseling pun akan memahaminya. Ini adalah tugas cukup penting, Meraki. Waktu kita cukup terbatas." Ekdanta menyahut tenang, Meraki masih berekspresi datar.

"Aku akan menyusul—"

"Alat pendengarmu sepertinya sudah tidak berfungsi!" Aktina menarik alat bantu dengar dari telinga kiri Meraki dan menginjaknya sampai rusak. Semua orang yang melihat hal tersebut dibuat tercengang. Meraki bahkan melayangkan tatapan tajam menusuk.

"Kau pikir kau siapa bisa bersikap seperti itu? Sok pintar dan sok pemberani! Pengacau sialan!" Aktina mengumpati Meraki dengan begitu berapi-api. Ia merasa sangat kesal, terutama saat mengingat kejadian hari kemarin, karena setelah kedatangan perempuan berambut lilac itu di KIHS, Ekdanta dan Varsha bisa sampai membobol rumahnya. Minas bahkan sempat membanding-bandingkan Aktina dan Meraki, membuat si perempuan berbando mutiara benar-benar meradang.

"Aktina, tenanglah," ucap Ekdanta sembari menarik mundur sang teman, meskipun tatapan membunuh Aktina masih mengintai si perempuan bermata biru.

Meraki masih terdiam di tempat, alat bantu dengar di sebelah kanannya masih bisa mendengar percakapan. Ia mengingat semua yang terjadi hari kemarin, bahkan saat Aktina malah menyambutnya dan memberikan minuman. Namun, belum sempat Aktina menjelaskan kondisi yang menimpanya, nyatanya Ekdanta, Varsha dan Meraki terlebih dahulu tidak sadarkan diri. Mereka bahkan tersadar ketika sudah berada di hunian masing-masing. Ekdanta dan Varsha bahkan tidak ingat mengapa mereka bisa sudah sampai di rumah. Mereka berdua hanya tahu dari orang tua mereka, bahwa mereka pingsan di sekolah karena itu diantar pulang oleh petugas.

Karena tak tinggal dengan siapa pun, Meraki ditinggalkan tergeletak di depan pintu. Orang-orang di rusun tempatnya berteduh itu tak ada yang berani mendekati atau peduli dengan keadaannya. Meraki dibiarkan sampai tersadar sendiri. Kemudian, hari ini ia dibuat terkejut saat melihat percakapan grup kelompok mereka. Ekdanta dan Varsha seperti tak mengetahui dan mengingat apa pun. Jawaban mereka dalam grup cukup membuat Meraki yakin, jika mereka bertiga sepertinya diberi minuman berobat oleh Aktina. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh pada Meraki.

'Meraki, apa kau baik-baik saja?' Varsha mendekat saat Meraki berjongkok dan memungut alat bantu dengar miliknya.

"Untuk apa kau berbaik hati kepadanya, Varsha? Dia manusia kurang ajar!" Aktina kembali berkata, lalu tersenyum congkak saat mengingat sesuatu. "Ah, tentu saja. Dia tidak memiliki ayah ataupun ibu dan berasal dari daerah penuh penjahat, karenanya karakternya begitu buruk! Sampah!"

Belum sempat Meraki akan melangkah untuk membungkam mulut Aktina. Tamparan Ekdanta terlebih dahulu mendarat di pipi putih si perempuan bangsawan. Semua orang lagi-lagi dibuat terkejut, termasuk Aktina sendiri.

"Sadarlah Aktina, kau berkata apa?!" Ekdanta berujar dengan tegas, tatapannya bergulir ke arah semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Merasa sudah hampir kehilangan kontrol, Ekdanta lantas menarik Aktina menjauhi Meraki.

Kedua orang tadi tetap pergi ke ruangan praktek dan Meraki pun tetap pergi ke tempat tujuannya. Varsha membuntuti Meraki, ia ingin menenangkan sang teman dan membujuknya. Bagaimanapun tugas mereka harus tetap dikerjakan.

"Aku sudah bilang, aku akan menyusul! Tidakkah kau mengerti?" Meraki berbalik badan dan cukup mengejutkan Varsha, terutama saat mendengar nada bicara Meraki yang melemah dan bergetar seperti menahan sesuatu, matanya bahkan tampak berkaca-kaca.

Ragu-ragu Varsha termundur sembari mengangguk. Ia membiarkan Meraki pergi sementara dirinya menghela napas panjang. Meraki pribadi yang cukup sulit ditebak. Meskipun demikian, bayang-bayang tugas kini masih menghantui. Varsha lantas pergi ke ruang praktek, ia akan meminta bantuan Ekdanta saja.

Aktina merasa seperti bola api yang siap meledak kapan pun. Ia masih menatap berang Ekdanta yang menyeretnya ke ruang praktek. Sampai, karena tak tahan lagi menahan sesak dalam dada, Aktina menginjak kaki si lelaki pirang dan langsung melemparkan peralatan yang ia bawa, lalu berlari menjauhi Ekdanta yang merintih seraya menahan rasa kesal.

"Aktina!"

Teriakkan itu tak Aktina hiraukan sedikitpun. Ekdanta hampir kembali melangkah untuk mengejar. Namun, melihat dari air muka sebelum Aktina benar-benar pergi, perempuan berambut panjang itu mungkin membutuhkan waktu untuk sendiri. Ekdanta menghela napas panjang karena merasa frustrasi. Ia kehilangan kesabaran dan kini ia cukup menyesal sembari terus memungut alat-alat untuk tugas yang bercecer di lantai.

"Sial!"

Di halaman belakang sekolah yang cukup sepi Aktina mengumpat seraya menangis di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Dari beberapa arah tubuhnya tidak terlihat ada di sana, tersembunyi dengan cukup baik. Hati Aktina terasa sakit dan sesak, air matanya benar-benar berjatuhan cukup deras. Memar di wajahnya yang semula tertutup foundation tampak dengan cukup samar.

Minas memeriksa nilai-nilai pelajaran Aktina dalam satu minggu terakhir dan menyandingkannya dengan nilai milik beberapa pelajar di kelas. Ayah Aktina merupakan salah seorang penyalur dana di KIHS dan bangsawan asli yang dihormati setiap orang. Tidak sulit bagi Minas untuk mendapatkan informasi tentang apa, siapa, dan di mana.

Dalam satu minggu terakhir itu ternyata nilai milik Meraki dalam beberapa mata pelajaran lebih unggul dari Aktina dan pelajar lainnya. Minas tidak senang dan ia menganggap Aktina telah berleha-leha, sehingga membiarkan Meraki mendapatkan nilai lebih bagus darinya lagi dan lagi. Apalagi , beberapa hari lalu pun Minas melihat sendiri bagaimana uletnya Meraki memperbaiki motor. Sehingga itu, tubuh Aktina tidak luput dari luka. Minas merupakan seseorang yang ringan tangan, berambisi, dan perfeksionis. Ia tidak suka jika putrinya berada di belakang orang lain, sedangkan Aktina pada kenyataannya merasa lelah karena selalu dituntut untuk menjadi sempurna dan baik di mata seluruh dunia.

"Kau ingin merokok?"

Pertanyaan aneh itu membuat Aktina berhenti menangis seketika. Ia menatap seseorang yang kini berdiri di hadapannya dengan seragam petugas kantin dan kepulan asap rokok dari mulut. Tangan pria berperawakan tinggi dengan rambut kuncir kuda itu menyodorkan sebungkus rokok yang telah dibuka. Senyuman tipis tercetak di wajah rupawannya.

"Siapa kau?"

FIRST OR DEATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang