4. Putri yang Sempurna

2 0 0
                                    


"Terima kasih atas tumpangannya, Paman. Quirita. Sampai jumpa lagi!"

Aktina melambaikan tangan dengan senyum yang begitu manis setelah turun dari mobil bertenaga listrik milik temannya. Tak merasa begitu senang, Quirita balas tersenyum masam. Ia kemudian bergegas menutup jendela mobil dan menggerutu tiada henti ketika mobil ayahnya kembali melaju. Ia tahu, saat ini Aktina pasti tertawa puas karena sudah menjebak dirinya.

Sial sekali rasanya Quirita petang ini. Ia awalnya akan pulang bersama Ganya. Putri dari golongan bangsawan itu hendak ia jadikan teman pengganti Aktina. Namun, Ganya ternyata lebih dulu dijemput dan tidak bisa pulang bersama Quirita. Supir pribadi Ganya bilang, sang putri tercinta dalam keluarganya itu sedang memiliki urusan mendesak. Quirita lantas terpaksa menunggu jemputan dan nahasnya, ketika mobil tiba, Aktina tiba-tiba menghampiri dan bercengkerama begitu ramah dengan ayahnya.

Tahu jika Aktina putri seorang bangsawan kaya raya dan pernah berada di sekolah menengah pertama yang sama dengan putrinya, ayah Quirita tak menolak saat Aktina ingin ikut menumpang. Perempuan berbando mutiara itu beralasan jika para penjaga dan ayahnya sedang sibuk, sehingga tidak dapat menjemputnya. Sepanjang perjalanan, Aktina terus membicarakan tentang kedekatannya bersama Quirita. Ia bahkan mendramatisir keadaan, dengan menyatakan jika Quirita begitu baik sehingga bisa melakukan apa pun untuk Aktina.

Ayah Quirita jelas bangga dan mendukung agar Quirita agar selalu berada di sisi Aktina apa pun yang terjadi. Ayah Quirita senang, ternyata, putri seorang pengusaha kantoran biasa bisa berteman dengan putri seorang pengusaha ekspor-impor internasional. Bagi ayah Quirita, itu terlihat seperti jalan menuju surga. Setidaknya, dari pertemanan anak, mungkin suatu saat bisa menjadi pertemanan antar bisnis juga. Ia bahkan berkata tidak akan pernah melupakan jasa Aktina yang telah merekomendasikan Quirita agar masuk ke KIHS lewat jalur undangan. Padahal, dulu putrinya adalah seorang perundung. Di sekolah sebelumnya, guru bahkan nyaris mengeluarkan Quirita.

Dia benar-benar memanfaatkanku hanya untuk menjadi kaki-tangannya dalam merusak seseorang!

Quirita mengeraskan rahang dengan tangan yang diam-diam mengepal. Ia duduk di jok belakang seraya menatap halaman mansion Aktina yang masih bisa dipandang setelah beberapa puluh meter mobilnya melaju, saking luasnya. Hati Quirita terasa cukup sakit ketika mendapatkan fakta, bahwa Aktina memang meremehkan dan bisa berbuat sesuka hati kepadanya.

Brengsek! Aku ingin melihatnya enyah dari dunia ini!

***

Sejauh mata memandang hutan hijau terbentang luas. Pohon-pohon besar berjejer di sepanjang jalan menanjak yang mobil Ganya tumpangi. Ia terdiam gugup seraya menggigiti kuku jari tangan, membuat supir pribadinya merasa cukup khawatir.

"Nona baik-baik saja?" tanya si pria di kursi kemudi sana. Ganya mengepalkan tangan merasa cukup takut.

"Kau sungguh tidak akan mengadukan hal ini kepada Ayah, bukan? Kau sudah bersumpah!" Ganya berkata dengan begitu penuh harap, kedua mata cokelatnya menatap bahu lebar Barka lamat-lamat.

Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu tersenyum, berusaha menenangkan. Sorot matanya menatap Ganya yang masih terlihat gusar. "Aku sudah berusaha sejauh ini untukmu Nona. Apa kau masih meragukanku?"

"Maafkan aku. Aku ... hanya merasa takut."

Barka tak mengatakan apa pun. Ia mengerti dengan apa yang Ganya rasakan. Ia sudah menjadi penjaga sekaligus supir pribadinya sejak lama. Ia membawa mobil menuju jalan di sekitar bukit dengan kecepatan rata-rata, kemudian berhenti di sebuah halaman pondok kayu yang begitu senyap.

Seorang pria berbaju serba hitam lengkap dengan topeng hitam dan rambut kuncir kuda berdiri di halaman pondok, tampak menunggu kedatangan seseorang. Barka lantas turun, menemui si pria bertato kalajengking di leher dan menyerahkan sebuah paper bag berukuran besar kepadanya.

Ganya terdiam memperhatikan. Itu adalah pria yang Barka ceritakan padanya. Seseorang yang memiliki benda yang begitu ia inginkan. Lantas, setelah pria kalajengking itu memeriksa dan mengangguk, Barka pun menerima sebuah kotak kecil bening dan bergegas kembali kedalam mobil.

Baik Barka atau si pria kalajengking, mereka meninggalkan tempat secara bersamaan, berlainan arah. Dalam mobil, Barka lalu memberikan kotak seukuran lima kali lima sentimeter itu kepada Ganya. Perempuan berambut sebahu itu lantas tersenyum senang seraya memegang sebuah chips seukuran satu sentimeter dari dalam kotak.

"Future Power Chip-One One Zero One."

***

Kegaduhan terdengar dari halaman belakang mansion ketika Aktina memasuki huniannya. Bangunan berbentuk futuristik itu berdiri kokoh dan luas, didominasi warna putih. Beberapa penjaga dan pelayanan berdiri dari mulai di gerbang, pintu utama, dan di beberapa pintu ruangan.

"Bodoh! Harusnya kau mati saja!"

Minas Bellerofon. Ayah Aktina terlihat menyiksa seorang anak buahnya dengan membabi buta di depan anak buahnya yang berjajar rapi di hadapannya. Pria berambut cepak itu berulang kali menendang hingga pria berjaket hitam yang sudah terkapar itu muntah darah.

Dari ambang pintu dekat taman belakang Aktina menyaksikan hal tersebut. Diam-diam ia meneguk air liur dengan tangan terkepal, berusaha meredam gemetar pada tubuhnya. Ayahnya benar-benar terlihat mengerikan.

Napas Minas terengah. Pria berkumis baplang itu menerima lap basah yang diberikan seorang pelayan, membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan sepatu hitam yang dikenakannya seraya menatap anak buahnya yang tak lagi bergerak.

Aura yang dimiliki pria berusia lima puluh empat tahun itu terasa begitu mencekam. Sorot mata hitamnya tajam dan begitu menusuk. Hampir semua pria kekar dan sangar yang ada di hadapan Minas terdiam dengan jakun turun-naik, berusaha meredam ketakutan yang dirasakan.

"Cari lagi FPC-1101 yang telah hilang dan pengacau sialan itu sampai dapat! Hidup ataupun mati!" Minas berkata dengan nada rendah penuh penekanan.

"Baik Tuan!"

Setelah para anak buahnya membubarkan diri, Minas mendapati keberadaan sang putri. Ia melirik jenazah anak buahnya yang berada di dekat kaki, kemudian menoleh dua pelayan pria yang berdiri di belakangnya. Mengerti dengan apa yang dimaksud sang bos, mereka pun segera membawa pergi jenazah pria tadi.

Sebisa mungkin Aktina menetralkan rasa takut di dada. Ia berusaha tersenyum menyapa sang ayah seraya mengeratkan pegangan pada tas yang dipegangnya. Minas datang menghampirinya.

"Kau pulang bersama siapa?" tanya Minas tanpa basa-basi. Ia tahu dari sang supir yang biasa menjemput Aktina, jika putrinya pulang bersama seorang teman.

"Ayah Quirita dan Quirita. Dia sedikit kesal kepadaku, hanya karena tidak dimasukkan kedalam kelompok. Jadi, aku berusaha menghiburnya." Minas tersenyum mendengar jawaban putrinya. Ia menepuk bahu Aktina lalu berjalan masuk kedalam rumah dan duduk di kursi makan.

Saat Minas menepuk kursi di sampingnya, Aktina bergegas menghampiri. Ia duduk di kursi dekat Minas. Seorang pelayan perempuan membawakan tas miliknya dan menaruhnya ke kamar milik Aktina.

"Bagus. Kau harus selalu bersikap baik. Semua orang harus mencintaimu." Minas berkata sembari meraih sebuah apel di meja.

Perempuan yang masih mengenakan baju sekolah itu mengangguk lalu terdiam selama beberapa saat sembari menundukkan pandangan. Jari jemari tangan Aktina meremas satu sama lain. Ia seperti ngin menanyakan sesuatu, tetapi tampak begitu ragu-ragu. Minas memperhatikan hal tersebut.

"Kau sudah makan?" tanya Minas sembari memegang tangan putrinya yang terasa dingin.

"Sudah." Aktina menjawab sembari mengangguk, lalu menatap Minas dengan sebiasa mungkin. "A-ayah, apa penyusup bulan lalu itu sudah ditemukan?"

"Anak buah Ayah akan menanganinya. Kau tidak perlu risau. Kau hanya perlu belajar dan menggunakan chip itu dengan benar. Kau harus sempurna!" Minas berkata dengan tatapan yang begitu serius dan penuh ambisi, kemudian diakhiri sebuah senyuman lebar yang manis. Persis seperti yang sering dilakukan Aktina.

FIRST OR DEATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang