-Author pov-
Sebelum berangkat ke kantor, Shafa mampir dulu ke bengkel, mengambil motornya yang baru saja selesai diperbaiki. Padahal sudah rajin diservis, tapi tetap saja sering mogok. Memang sudah berumur juga, kalau dihitung-hitung sudah 8 tahun mereka bersama. Panas, hujan, angin, sudah mereka lalui dengan banyak kenangan dan memori. Shafa jadi merasa sayang untuk menggantinya dengan motor baru. Meskipun ia bisa saja beli baru tanpa kredit.
"Mbak, motornya jual aja. Ini udah yang kedua kalinya masuk bengkel bulan ini. Beli baru aja, kredit motor paling sama kayak pengeluaran mbak biayain motor ini tiap bulannya," ucap montir yang menangani motor Shafa.
"Iya sih, Mas. Tapi sayang bangeett, kenangannya terlalu banyak sama dia. Kalau ganti mesin nggak bisa, ya?"
"Hahahaha, daripada ganti mesin mending beli baru, Mbak. Turun mesin maksud mbaknya? Kan kemarin udah turun mesin, apa mau diupgrade?" tanya lelaki dengan baju montir itu.
"Ooh, nggak paham soalnya. Yaudah lah, Mas. Ini udah bisa kan? Saya buru-buru soalnya."
"Udah, Mbak. Ini kuncinya, ya."
"Terima kasih ya, Mas."
"Sama sama, Mbak."
Setelah melakukan pembayaran, Shafa langsung mengendarai motornya menuju kantor. Tak butuh waktu lama, karena jarak bengkel dan kantor lumayan dekat. Apalagi jalanan juga tumben agak lengang, padahal biasanya jam segini pasti masih macet.
Sesampai di kantor, Shafa langsung menyalakan laptop kerjanya. Tidak lupa teh hangat yang ia buat di kos tadi, turut menemani rutinitas pagi ini. Suara mesin fotokopi juga mulai terdengar nyaring. Namun suasana kantor pagi ini agak sepi. Biasanya jam segini beberapa karyawan akan membuat kopi di pantry sambil bergurau dan bertukar informasi. Tapi pantry saat ini kosong, tidak ada orang.
Vano juga sepertinya belum datang, jadi Shafa putuskan untuk membuat 'to do list' hari ini. Tugas dari Vano untuknya dalam satu minggu ini cukup banyak. Karena awal bulan, jadi Vano memerlukan data laporan keuangan untuk ia analisis.
Setelah membalas chat dari HRD, Shafa langsung merevisi to do list yang tadi ia buat. Panggilan interview hari ini diluar dugaannya. Ia pikir minggu depan baru akan diproses, ternyata secepat ini. Berhubung ada beberapa pekerjaan yang sudah mendekati deadline, jadi Shafa harus benar-benar memilah-milah dan mengurutkannya sesuai prioritas dan tenggat waktunya.
Shafa tiba-tiba menghentikan kegiatannya, saat ini pikirannya penuh dengan bayangan ia menjadi PA Rayyan. Padahal belum tentu juga dia lolos. Setidaknya sekitar 70% angka peluang dia bisa menjadi PA Rayyan. Namun otaknya tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Ada beberapa ketakutan yang muncul di sana. Bagaimana kalau dia tidak lolos? Apakah dia akan benar-benar jadi pengangguran? Ia masih belum menyiapkan rencana selanjutnya kalau nanti gagal dalam interview kali ini.
Nada yang baru saja dari pantry melewati meja kerja Shafa dan melihat sahabatnya itu seperti sedang menenangkan diri. Merasa penasaran dengan apa yang sedang dialami Shafa, Nada memutuskan untuk menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA
FanfictionDari semua bab yang ada dalam hidupku, lebih dari 50% isinya kamu. Duniaku selalu berpusat padamu. Semua harapanku di masa depan, penuh dengan namamu. Tapi sepertinya, harapan itu lenyap seluruhnya ketika kabar bahagia untukmu terdengar olehku dan c...