Esok paginya, Erina membuka mata dalam kondisi tubuh yang jauh lebih baik dari hari kemarin. Walaupun rasa sakit di kepalanya masih terasa, juga suhu tubuhnya yang masih terasa hangat.
Erina menatap tangan Davin yang masih memeluknya dari belakang. Semalaman pria itu memeluk dan menemaninya tidur di atas ranjang, layaknya mereka sepasang kekasih.
Saat Erina akan beranjak bangun karena ingin buang air kecil, tangan Davin malah semakin erat memeluk perutnya. Saat itu juga Erina dapat merasakan tonjolan dari sesuatu yang menekan pantatnya.
Sesuatu itu terasa keras seperti dalam kondisi berdiri tegak, sehingga membuat Erina bergerak tidak nyaman. Tanpa perlu dicari tahu pun, Erina tahu jika sesuatu itu adalah milik sensitif dari pria yang masih memeluk erat tubuhnya.
"Mau kemana?" Tanya Davin tepat di belakang tengkuk Erina yang seketika merinding dibuatnya.
"A-aku mau bangun karena kebelet pipis," gagap Erina.
"Kebelet pipis atau terganggu, karena ada sesuatu yang berdiri di pantat kamu?"
"Om!" Erina membelalakkan matanya, tak menyangka jika Davin sevulgar itu.
Davin terkekeh melihat reaksi Erina yang tegang, "Punya saya normal kalau pagi-pagi berdiri, Erina."
"Le-lepasin, Om. Aku beneran mau pipis." Erina menarik paksa tangan Davin agar menjauh dari tubuhnya.
Davin akhirnya mengalah dan melepaskan Erina yang hampir terhuyung ke bawah ranjang, beruntung ia sigap menahan tubuh gadis itu, "Hati-hati."
"Iya, Om. Makasih ya." Erina menundukkan wajah, tanpa berani menatap Davin, yang ia tahu tengah tersenyum menggoda padanya.
"Mau saya gendong ke kamar mandi?" Davin berdiri di depan Erina, tangannya pun memegang kedua bahu gadis itu.
"Om berlebihan banget!" Erina menatap Davin dengan gelengan kepalanya.
"Saya cuma ingin membantu kamu, Erina." Davin lagi-lagi tersenyum menggoda ke arah Erina.
"Gak perlu, Om." Erina melepaskan tangan Davin dari bahunya, "Kalau gitu aku permisi dulu."
***
Pukul sebelas siang Erina bangun dan tidak menemukan Davin di kamar. Jadi Erina pun keluar kamar dan berniat mencari keberadaan pria itu.
"Sudah bangun?"
Erina seketika menoleh ke arah Davin yang duduk di sofa ruang televisi, pria itu terlihat sibuk dengan MacBook dan beberapa dokumen di tangannya.
"Makasih udah rawat dan jaga aku, Om." Erina menatap Davin yang berjarak sepuluh langkah darinya, ia tidak berani untuk semakin mendekat karena takut menganggu kesibukannya.
"Duduk." Davin menatap Erina sambil menepuk sofa di sisi kanan tubuhnya, "Ayo kemari, Erina."
Akhirnya dengan ragu Erina mendekat dan duduk tepat di samping Davin, yang kini menaruh MacBook ke meja depan sofa.
"Demam kamu sudah turun." Davin menempelkan telapak tangannya di kening Erina, "Pusing dan mualnya masih gak?"
"Tinggal pusingnya aja sedikit, Om," jawab Erina apa adanya.
"Syukurlah, tapi kamu harus banyak istirahat ke depannya. Jangan terlalu capek," pesan Davin.
"Aku cuma sakit maag doang, gak ada hal serius," bantah Erina meyakinkan.
"Tetap saja jangan menganggap enteng penyakit, Erina. Dokter bilang kamu harus jaga pola makan dan banyak istirahat."
"Iya, Om." Erina akhirnya mengangguk patuh agar tidak memperpanjang perdebatan di antara mereka, "Jadi Om mau pulang kapan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR DADDY | 21+ (END)
Romance• CERITA DEWASA • Erina Bestari, gadis 19 tahun yang merasa hidupnya tak tahu arah saat orangtuanya memilih jalan cerai karena kesalahan papanya yang selingkuh. Erina yang kesepian dan kekurangan kasih sayang akhirnya bertemu dengan Davin Mahendra...