1. Pertemuan

1.6K 98 7
                                    

Halo semua,

Selamat bertemu kembali dengan cerita baru dari Asoka Biru. Kali ini tentang Galuh Anantari dan Michael Gillian di kota Jenewa.

Cerita ini akan update setiap hari rabo sampai jumat yah.

Buat pembaca baru, silahkan follow account Asoka Biru supaya tidak ketinggalan cerita-cerita terbaru saya, boleh juga follow instagram @asoka_biru dimana saya sering share cerita keseharian di Prancis atau Jenewa.

Happy reading.

Asoka Biru

***************

Semi, adalah kuncup-kuncup bunga cherry blossom yang mulai terlihat.

Semi, adalah cinta yang mulai tumbuh, mekar

Semi, adalah bangkit, dari keterpurukan, dari kegelapan, seiring dengan hijau pucuk-pucuk daun yang mulai tumbuh

Semi, adalah hidup.

***

Summer di Jenewa bagai surga. Matahari hangat menyiram di tengah kota hijau teratur. Puncak Mont Blanc (gunung putih) yang selalu putih tertutup salju bisa dilihat dari berbagai penjuru, di sisinya adalah jajaran pegunungan Alps yang membentang sampai ke Italia. Kumpulan orang menikmati mandi matahari di tepi danau Jenewa berlatar Jet d'o (air mancur) yang meluncur setinggi 120 meter di tengah danau. Mentari yang baru akan tenggelam setelah jam 10 malam.

Galuh Anantari memejamkan mata begitu dia berjalan keluar dari gedung kantornya, sebuah organisasi internasional untuk pengungsi dengan salah satu kantor pusat di Jenewa. Dia menghirup udara hangat sore hari dalam-dalam, memompakan aroma ringan ke dalam paru-parunya. Sudah jam tujuh sore, tetapi matahari masih gemilang dengan sinar keemasan musim panasnya. Dia melirik ke sisi kanan, ke arah landmark kursi merah dengan salah satu kaki patah yang berdiri di depan Istana PBB, hari ini, seluruh air mancur di alun-alun tengah kota itu terpancar penuh. Beberapa anak-anak dan turis terlihat gembira berlari-lari di tengah semburan puluhan air mancur setinggi tiga meter. Sejenak dia ingin ke sana, membasahi kakinya yang terbungkus sepatu kets berwarna putih, tetapi berubah keputusan ketika bus bernomor delapan yang akan membawanya pulang ke apartemennya terlihat. Ana berlari ke arah bus yang kini berhenti di depan halte tidak jauh kantornya. Biasanya dia lebih suka berjalan pulang, apartemennya terletak tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi hari ini cukup panjang untuknya, bus menjadi pilihan lebih bijaksana daripada berjalan kaki.

Matanya memindai sekeliling ketika dia berada di dalam bus, mencari kursi kosong. Penuh. Sama seperti kota-kota besar lain di seluruh dunia, sarana transportasi umum cukup padat di jam-jam sibuk.

Pandangannya tertarik ke satu sosok dengan setelan jas berwarna biru yang duduk beberapa kursi dari tempatnya berdiri. Terlihat mahal, tetapi banyak laki-laki mengenakan jas formal dan menggunakan sarana transportasi publik di Jenewa, mungkin dia juga seperti dirinya, bekerja di salah satu organisasi internasional yang banyak bertebaran di kota ini. Tanpa sadar, Anantari menemukan dirinya menganalisa pria berjas biru tersebut.

Tidak banyak orang yang bisa mencabut perhatian seseorang ketika mereka hanya melihatnya sekilas. Paling tidak itu untuk Ana, Entah untuk alasan apa lelaki itu menarik perhatiannya. Rambut warna gelapnya memberikan kesan maskulin, sangat serasi berpadu dengan rahang tegas miliknya. Dia bukan tipe lelaki tampan yang akan membuat wanita meleleh begitu memandangnya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya, sebuah wibawa yang akan membuat seluruh ruangan terdiam hanya karena kehadirannya, atau orang lain mendengarnya dengan patuh tanpa harus diminta. Tidak seharusnya seseorang mempunyai wibawa sebesar itu, menurutnya. Sesuatu yang terlalu besar untuk dimiliki oleh seseorang.

SEMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang