¨Jadi, apa yang membuat dokter seperti kamu bekerja di sebuah organisasi PBB?¨ Michael bertanya.
¨Menolong orang,¨ jawab Ana. Michael seperti tidak puas dengan jawabannya, sorot matanya menunggu ada kelanjutan keluar dari bibirnya. Ana menarik serbet putih dari atas meja, jemari lentiknya membuka lipatan rapi kain linen tersebut lalu meletakan ke pangkuannya. ¨Travelling dan menolong orang,¨ lanjutnya. Ingatannya melayang sejenak ke sebuah desa kecil di Kulon Progo, ke arah rumah sederhana berdinding putih, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya kosong, ada lubang yang perlahan-lahan kembali membuka setiap dia mengingat desa kecil itu, Ana menggeleng samar, mencoba menghilangkan apapun yang berada di kepalanya.
Michael menangkap rona gusar yang sejenak membayang di wajah Ana, instingnya memerintahkan untuk menggenggam tangan wanita itu, menawarkan kenyamanan yang mungkin akan membantunya, tetapi dia menekan kedua tangannya tetap di tempatnya. Ana mungkin belum siap, kontak fisik, walaupun itu adalah sebuah tawaran kenyamanan.
¨Kamu tidak bisa travelling dengan menjadi dokter di rumah sakit?¨
Ana mengembangkan senyum tipis. Pertanyaan sama yang pernah dilontarkan oleh teman-temannya ketika dia melamar posisi di sebuah organisasi pengungsi internasional, posisi yang membawanya ke Bolivia. Sebuah pekerjaan yang membuatnya tetap bahwa dia sudah menapaki jalan yang benar, berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Berkelana. Membuatnya merasa lebih tenang, karena hanya kosong yang Ia punyai di desa kecil itu.
¨Kalau jadi dokter di rumah sakit, aku akan terlalu sibuk, tidak akan punya waktu untuk travelling. Pekerjaanku sekarang memungkinkan aku untuk bisa berkeliling dunia dan di bayar. Win win.¨ Ana memperbesar tarikan bibirnya, menampakkan sebayang lesung di puncak pipi kirinya.
Michael terdiam sesaat, menyerap perkataan yang baru saja keluar dari mulut Ana. ¨Apa selalu ke negara-negara yang dilanda konflik?¨
¨Nggak juga. Organisasi kami juga mempunyai kantor di negara-negara dengan kondisi stabil, tapi apa tantangannya.¨
Seorang pelayan datang membawakan sebotol chianti dan dua buah gelas anggur, pembicaraan mereka terhenti sesaat, membiarkan sang pelayan menuangkan anggur berwarna merah ke gelas mereka. Michael menggumamkan kata 'merci' ke arah sang pelayan setelah dia selesai.
¨Aku cuman akan minum ini satu gelas,¨ kata Ana.
Michael menaikkan sebelah alis matanya. ¨Kenapa?¨
¨Kami orang Indonesia tidak terbiasa dengan alkohol. Oh, apa aku sudah bilang bahwa aku dari Indonesia?¨
Bibir Michael tertarik ke atas. ¨Baru saja.¨
¨Oh.¨
¨The biggest muslim country in the world.¨
Ana menyetujui dengan jari telunjuknya. ¨Dan walaupun ini chianti terbaik, aku nggak akan bisa bedain.¨
¨You will learn,¨ kata Michael. Ana mengerutkan kening. ¨I'll teach you.¨
¨There won't be a time to teach me anything.¨ Ana menaikkan gelasnya. ¨Cin cin.¨
Michael menyentuhkan gelasnya ke gelas milik Ana, menimbulkan denting ringan lalu mendekatkan gelas itu ke bibirnya. Tanpa sadar pandangan Ana mengunci ke arahnya, Michael melakukan gerakan meminum anggur dengan keeleganan seorang bangsawan, walaupun kalau dipikir-pikir, Ana belum pernah bertemu dengan seorang bangsawan.
¨Kamu seperti tidak menikmati tinggal di negara ini.¨ Ana seperti seorang dengan berbagai lapisan yang membungkus dirinya, dua mata berwarna gelapnya menyinarkan sesuatu yang garang, pantang menyerah tetapi wajahnya kadang menampakkan lapis sendu seperti sebuah luka. Michael tergoda untuk menyingkap lapis demi lapis diri Ana, dan apapun yang membuatnya terluka, dia ingin menjadi orang yang memberikan obat baginya. Ini aneh, pikirnya. Dia belum pernah merasakan dorongan untuk memberikan rasa nyaman ke wanita seperti ini.
¨Aku ... nggak suka bekerja di belakang meja. Itu seperti mengungkungku, tenagaku lebih dibutuhkan di lapangan.¨
¨Itu sebabnya kamu ingin pergi dari sini?¨
Ana menjawabnya dengan senyum tipis.
Michael menarik dirinya, menyandarkan punggungnya di kursi, dua mata biru miliknya menatap Ana, mengebor dalam tetapi juga memberikan kesejukan. ¨I'll make you stay,¨ suaranya pelan, tetapi terdengar mantap. Membuat Ana tinggal di negara ini seperti menjadi misi utamanya sekarang.
Ana terkekeh. ¨Kita baru ketemu tiga kali. Apa yang bikin kamu yakin kamu akan bisa membuatku tinggal disini.¨
¨Karena sekarang kamu mengenal aku.¨
Ana membalas tatap mata berwarna biru itu, belum pernah dia bertemu seorang yang mempunyai kepercayaan diri setinggi langit, tetapi ada sesuatu dari dalam diri Michael yang menariknya untuk selalu mendekat. Seperti sebuah medan magnet berkekuatan besar, dan Ana adalah besi yang tidak berdaya oleh tarikan magnet raksasa di depannya.
Guido datang membawakan menu utama, fillet ikan berwarna keemasan menggoda dengan taburan capers dan pine nuts, di mangkuk kecil terpisah tampak gnocchi berwarna coklat keemasan.
¨Silahkan menikmati Mademoiselle Anantari,¨ kata Guido.
Ana melemparkan pandangan ke arah Michael yang menatapnya dengan sorot mata berpijar, dia memberikan anggukan samar ke arah Ana, memintanya untuk mencicipi hidangan di depannya.
Ana tidak tahu apa yang akan dia dapatkan, dan terlebih lagi, dia tidak suka dengan ikan. Dia mengambil garpu dan pisau, mencoba membuang ragu yang membayang, memotong sedikit ikan dan memasukkannya ke mulutnya. ¨Wow.¨ Sebuah ledakan rasa gurih dengan semburat manis dan sedikit asam seperti meledak di mulutnya, berdansa memberikan rasa yang tidak disangka sangat menakjubkan. ¨This is so good.¨
Bibir Michael tertarik, menampakkan senyum lebar, sedangkan Guido menepukkan kedua tangannya tampak sangat senang.
¨I told you, you will eat anything that Guido cooks.¨
¨So, tell me about yourself.¨ Ana bertanya ke Michael ketika makanan di piringnya sudah hampir tandas. Setelah ini, dia benar-benar harus menata ulang pendapatnya tentang makanan Italia dan tentunya dengan ikan.
¨Apa yang ingin kamu tahu?¨
Ana terdiam sejenak, dia ingin tahu lebih banyak tentang pria ini, tetapi bingung harus memulai dari mana. Dia belum pernah berkencan dengan seorang lelaki, tatacara kencan sangatlah awam baginya.
¨Kamu sudah tahu di mana aku bekerja, mungkin sekarang gantian kamu yang bercerita.¨
¨Aku kerja di Webster, kamu sendiri yang menebak.¨
¨Itu terlalu umum Tuan Gillian.¨
¨Webster bagian retail?¨
Ana mengerutkan kening. ¨Sepertinya kamu benar-benar anggota sindikat perdagangan manusia.¨
Tawa Michael lepas. ¨It sounded cooler.¨
¨It sounded crueler.¨ Ana terdiam sejenak. ¨Kamu tinggal di mana?¨
¨Versoix.¨
¨Versoix?¨
¨Ada yang salah dengan Versoix?¨
¨Nggak ada yang salah, cuman, bukannya itu termasuk kategori jauh bagi orang Jenewa. Bekerja di gedung Webster dan tinggal di Versoix.¨
¨Cuman butuh dua belas menit dari Versoix ke Webster. Plus, aku lebih suka di sana, lebih sepi.¨
Ana melemparkan pandangan meneliti. ¨Kamu seperti bukan tipe orang yang suka dengan sepi dan tenang.¨
¨Penampilan kadang suka menipu.¨
¨Right,¨ kata Ana lirih. Kedua matanya meneliti Michael, pria berkekuatan magnet raksasa, ada sesuatu yang mengusik di sudut hatinya tentang pria ini, tetapi dia tidak tahu apa. Apakah sebuah peringatan atau sebuah dorongan, dia tidak bisa menyimpulkan. Ana meletakkan garpu dan pisaunya ke atas piring. ¨Satu hal yang harus kamu tahu, Michael.¨ Nama Michael terdengar sangat pas terucap dari mulutnya, Ana berpikir dia sudah benar-benar tidak waras. ¨Saat ini fokusku adalah bekerja, dan aku tidak tertarik dengan hubungan kasual.¨
Michael kembali menyandarkan punggungnya ke belakang, melemparkan pandangan meneliti ke arah Ana. ¨Apa yang membuatmu sangat anti terhadap hubungan, Ana?¨
¨Aku tidak anti terhadap hubungan. Aku hanya tidak menginginkannya.¨
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMI
RomanceSemi, adalah kuncup-kuncup bunga cherry blossom yang mulai terlihat. Semi, adalah cinta yang mulai tumbuh, mekar Semi, adalah bangkit, dari keterpurukan, dari kegelapan, seiring dengan hijau pucuk-pucuk daun yang mulai tumbuh Semi, adalah hidup Warn...