¨Jadi, kemana tujuan kita?¨ tanya Anantari. Mereka berdiri di dalam trem yang cukup penuh oleh kaum pekerja yang hendak pulang, salah satu sarana transportasi publik di kota Jenewa itu baru saja meninggalkan Bel Air, kawasan perbelanjaan di kota Jenewa, menuju ke arah old town.
Michael mengarahkan kedua matanya ke Anantari. ¨The best Italian in town.¨
Bayangan pasta dan pizza segera melintas di kepala Anantari, bukan makanan favoritnya, tetapi dia menyunggingkan senyum samar ke arah Michael. Sopan santun ala timur yang kadang tidak ingin memperlihatkan ketidaksukaan secara langsung terhadap lawan bicara, sering berbenturan dengan kultur barat yang lebih tegas dan lurus ke depan.
¨Tidak suka dengan makanan Italia?¨ Michael bisa membaca pikirannya.
Anantari berpikir sejenak, mencari jawaban yang diplomatis, entah untuk alasan apa, dia tidak ingin membuat Michael kecewa. ¨Aku nggak boleh menghakimi sebelum mencicipi, kan?¨
¨Jawaban diplomatis. Tapi aku bisa yakinkan, setelah ini kamu nggak akan bisa berpaling.¨
¨Now I am intrigued.¨
¨Kita turun di sini.¨ Michael mempersilahkan Anantari untuk berjalan terlebih dahulu, menggunakan salah satu tangannya untuk memagari tubuh Ana supaya tidak tersenggol oleh penumpang yang lain.
Ana melirik sekilas ke arah tangan Michael yang berposisi tidak jauh dari punggung tangannya, menahan senyum samar yang hendak keluar dari bibirnya. Kebanyakan bule bersikap gentleman terhadap wanita, Michael salah satunya, ini bukan berarti sesuatu yang spesial, dia mengingatkan diri sendiri.
Setelah berjalan sekitar tujuh menit mereka sampai di sebuah restoran kecil dengan bagian depan dipenuhi rambatan pohon anggur. Buahnya yang berwarna hijau bergelantungan di ranting-ranting pohon yang merambat di kanopi-kanopi besi. Dua meja bundar masing-masing berisi dua kursi taman berada di bagian depan restoran yang tidak seberapa besar. Jendela-jendela kaca besar yang terbingkai dengan kayu tanpa cat memperlihatkan bagian dalam restoran yang terlihat hangat.
Anantari berdiri menyerap pemandangan di depannya. ¨Wow, sangat ... cozy.¨
Michael terkekeh, ¨Kamu akan menambah level wow setelah mencicipi makanannya.¨ Secara refleks dia meletakkan salah satu tangannya di belakang punggung Ana, menimbulkan energi yang membuatnya tersentak begitu tangannya menyentuh punggung wanita itu. Dia tidak merencanakan ini, tetapi sekarang setelah tangannya menyentuh Ana, walaupun dibatasi oleh layer blus tipis yang dia kenakan, sepertinya dia tidak akan mampu menarik tangannya kembali.
Seorang lelaki berkepala botak dengan apron putih melilit pinggangnya menyambut begitu mereka memasuki restoran. ¨Bonsoir Monsieur ...,¨ Michael menggelengkan kepalanya samar ke arah Guido, lelaki pemilik restoran tersebut. ¨Michael,¨ lanjut Guido setelah melihat bahasa tubuh dari salah satu spesialnya. ¨Selamat sore, sudah lama tidak berkunjung ke sini.¨
¨Ana, kenalkan, ini Guido. Dia adalah pemilik restoran Italia terenak di Jenewa. Guido, ini Anantari.¨
¨Mademoiselle Anantari. Enchante'.¨ Guido mencium punggung tangan Anantari.
¨Selamat sore, Guido. Senang bertemu dengan anda.¨
Guido menggiring mereka ke meja sudut yang agak terpisah dari meja lainnya, dia menarik kursi untuk Ana dan mempersilahkannya duduk. Ana menggumamkan kata 'thanks' kepadanya.
¨Sudah agak lama Monsieur Michael tidak ke sini, apa yang bisa saya ambilkan untuk minum dan makan?¨
¨Chianti terbaik yang kamu punya dan beri kami kejutan untuk makanannya.¨
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMI
RomanceSemi, adalah kuncup-kuncup bunga cherry blossom yang mulai terlihat. Semi, adalah cinta yang mulai tumbuh, mekar Semi, adalah bangkit, dari keterpurukan, dari kegelapan, seiring dengan hijau pucuk-pucuk daun yang mulai tumbuh Semi, adalah hidup Warn...