- taufan -

3.5K 225 8
                                    

Jika kakak yang meminta, aku tidak peduli bahkan jika itu membuat diriku hancur.”

—amnesia—

“MAJU SINI LO SEMUA PENGECUT!! BERANINYA CUMA SAMA TAUFAN!?”



Aku berlarian, nafasku tidak teratur. Pakaian yang kukenakan terasa basah. Meski dipandang aneh oleh orang-orang yang berada di sini, aku tidak peduli. Meski aku ditahan oleh pria berseragam di depan bangunan putih ini, aku tidak peduli.

Kenapa kakak?

Kenapa harus kakak?




Aku berhenti di depan ruangan dengan kaca yang lebar, terengah-engah. Kakak terbaring disana. Dengan berbagai selang yang melilit wajahnya. “HALILINTAR!”

Aku memukul kaca itu. Berteriak.

Membuat orang-orang berbaju putih yang disana menengok padaku. Tampaknya membicarakan sesuatu.

Mataku melihat kepada gagang pintu, aku hendak menerobos masuk. “Kaka—”



“Apa yang anda lakukan!?” bentak salah seorang sambil menghadangku, kakek keriputan. Ugh, menyebalkan! Ia menghalangi!

“Minggir!” aku membentak. Enak saja ia menghalangi, aku bahkan hanya ingin berdiri disana. Setidaknya, aku di dekatnya..

“Tuan, anda tak bisa masuk, pasien sedang kritis,” ibu-ibu dengan catatan malah ikut-ikutan. Cih, tampangnya baik, tapi sama saja! Menghalangi.

Melihat ekspresi wajahku, mereka mengernyit. Mereka pikir aku tidak dengar!?

“Apa dia tuli?”

SAMA SEPERTI ORANG-ORANG ITU!



“MINGGIR!” aku membentak lebih kencang, aku ingin memukul orang orang tua di hadapanku! Mereka—



“Kak Tau?” sebuah suara terdengar. Yang berdiri di dekat pintu sambil menatapku. Adikku, Thorn. Ia memandangku.

“Thorn!” aku bersyukur ada yang kukenali. Orang orang ini menakutkan!

Anak itu justru meraih tanganku, lalu menunduk pada jompo-jompo ini. Aku menggerung. Pandanganku masih kepada sosok yang terbaring dengan mata terpejam itu.

“Maafkan saya,” itu suara Thorn. Membuatku mendelik, buat apa? Memangnya dia bersalah? Memangnya apa yang salah?

Thorn tersenyum padaku, menggamit lenganku berbisik, khasnya. “Kak, dokter bilang, kak Lin sedang tidur, jadi kita tak boleh berisik, nanti kak Lin kaget dan bangun..”



Aku menggerung. Sekarang dia juga? Tapi dia lebih dimengerti sih..

Meski penjelasannya terdengar kekanakan dan nggak masuk akal.

Oh iya, dia kan bocil.



“Kak Lin lelah, bobok, jadi kita harus menunggu kak Lin bangun ya, kalau dipaksa bangun, kak Lin nanti pusing,” ia tersenyum lagi, tangannya menarikku pelan agar perlahan menjauhi ruangan itu.

Aku berjalan mengikutinya, kami duduk di bangku dekat dengan ruangan itu. Tapi aku masih menatap ruangan itu, cih, sekarang mereka menutup kaca menggunakan tirai.

Berasa hama.




Aku bersandar kesal. Menggumamkan berbagai kata-kata. Adikku hanya memandangku dengan senyumannya yang tipis. Netranya tampak pucat.

“Kau juga diusir?”

“Eh?” Thorn terlihat heran? Haduh. Kenapa dia terlihat berpura-pura?

“Nggak, Thorn—”

amnesia | halilintar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang