- duri -

959 136 27
                                    

Tempat seseorang yang memiliki sayap adalah terbang tinggi.”

—amnesia—

“Aku nggak akan munafik kak.”

Kak Lin menatapku. Maksudnya?

Aku hanya tersenyum.

Ya, aku tidak akan munafik.




“Kak Lin pulang hari ini?”

“Oh, kujemput ya,” aku mengajukan diri sebelum saudara-saudaraku protes. Mereka tentu ingin menjemput kakak sulung kami juga itu.

“Ayolah, kalian bisa bikin kejutan dirumah, apalah,” aku memutar bola mata, malas. Mereka berpikir sejenak, hendak berunding lagi. Agak masih melirik lirikku yang cengar-cengir.

“Licik,” kak Ez lebih dulu bersuara pelan. Wajahnya merengut panjang.

Aku tertawa.



Mereka gampang dipengaruhi. Aku capek lihat kelakuan mereka. Ketawa mulu.

Atau kalian emang nggak bisa nolak adik kalian yang uwuwu ini.

Secara, sebenarnya itu Thorn.




“Sudah kuduga! Rian memang nggak bisa dipercaya uwoooo!” sekarang ia meloncat buat mencekikku dengan lengannya. Tertawa-tawa. Aku memukuli lengannya, balas tertawa.

Meja makan tampak lebih ceria. Kak Is melanjutkan menyendok kuah tanpa beban, lebih fokus dengan piring. menambah lauk. Kak Gem hanya tersenyum. Kak Tau lebih asik, ia menumpuk makanannya menjadi menara seperti kartu.

“Kak Taufan, makanannya jangan dimainin.”

Gedubrak.



Nahkan malah kesenggol. Jatuh lah. Kak Tau menggerung, agak kesel. Tapi dia sendiri yang nyenggol. Bisa apa.

“Aaaah, capek-capek biar masuk rekor angkasa.” ia melemparkan garpu dan sendoknya. Menyerah meletakkan potongan terakhir pada menara buatannya.

“Udah, dimakan aja yang masih di meja,” kak Gem tertawa.

“Belum lima menit,” kak Is malah udah menyelinap dibawah meja, memunguti potongan daging.

“Oi! Jangan makan lah gila!” kak Ez berseru.



Keluarga ini ya.

Aku heran.

Eksistensiku sebelumnya tak diakui, mereka kira Thorn kesurupan, kesambet. Tapi setelah mereka mengetahui aku juga nyata, mereka menerimaku. Tidak menolak, apalagi berusaha melenyapkanku.

Terlebih Thorn yang meski ia terkejut dan agak syok, dia mengangguk begitu mengetahuinya. Kurasakan ia hanya anak polos yang menganggapku kakaknya—walau aku adiknya.

Yah, dia juga sering membelaku, misal kalau aku nggak sengaja nyenggol gelas. Kak Gem udah siap untuk menegur, Thorn lebih dulu membela. “Kak Ri nggak salah— ini Thorn yang nyenggol.”

Kak Gem berhadeh, mana bisa, kalian satu tubuh.


Yah..

Mereka benar-benar menganggapku keluarga.

Aku bahagia.




“Kak, barang barangnya udah?” aku bertanya. Kak Lin mengangguk. Ia terlihat normal jika ku lihat, tidak ada bedanya dengan yang dulu.

Aku menaikkan ransel pada punggungku, kak Lin sendiri membawa tas berisi album-album. “Dadah rumah sakit.” “Dadah kamar keramat.” “Selamat tinggal kamar nomor 28.”

amnesia | halilintar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang