- halilintar -

1.7K 148 62
                                    

Beberapa orang memang bilang tidak apa-apa amnesia, kau bisa mengingatnya pelan-pelan.

Mereka tidak begitu.”

—amnesia—

Rumah.. Ya..

“Kak Lin mau makan?” sapa Zaghanos, Gempa—entah kenapa dia lebih berasa seorang ibu untukku.

Baik dan perhatian(?).

“Er, Gempa, kita barusan makan pagi.”

“Eh—oh iya.”

Aku sedikit kagum dengan nama nama panggilan itu, keren. Bahkan aku dapat yang paling sangar. Halilintar. cihuy.




Banyak yang terjadi, mereka bilang aku cukup bersikap normal saja. Agar cepat terbiasa, jadi nggak usah ngerasa sungkan—anggap saja kawan lama gitu.

Yah.. Tapi mereka ini diluar nalar, sepertinya aku harus membiasakan diri.

Beruntung sekali Barra’—Blaze  tidak memiliki skizofrenia yang parah. Walau jika dia demam—dan alhamdulillahnya jarang—dia bisa seperti orang kesurupan. Tingkat kewarasannya menurun.

Karena orang orang disini lumayan membuatku terpana.

Kemarin aku terkejut baru saja melihat makhluk bulu yang sedang rebahan. Kakiku tak sengaja menyenggolnya. Sontak bulu kudukku berdiri kaget.

Makhluk ini kan..



“APA INI!? kita punya anjing!?”

“Itu kucing kak! Gede emang! Punya kak Ais!” teriak Thorn dari halaman, mengerti keterkejutanku pada makhluk sebesar ini, maksudku.. Besarnya hampir satu meter, panjangnya entah berapa. Sekilas seperti anjing.

“Ai? Buat apa kucing sebesar ini?” tanyaku pada Ai—Maisarah, yang berjalan dari sudut ruangan. mengurus tinjanya tidak akan mudah kan?

Atau lahan kebun milik Thorn jadi kakusnya sehingga tidak ada yang keberatan?


Ini maine coon ya?

“Bantal,” sahutnya santai. Ia mengangkat kucing raksasa itu dan menggendongnya kemudian masuk kedalam kamar.

“Ayo anakku.” begitu katanya.

“....” HAH?



Rumah yang normal, syukurlah. Meski kata Gempa, kami jarang bersama seperti ini. Lebih sering terpisah—seperti Blaze yang bolak balik kontrol, kadang-kadang ia meliar tak jelas. Melihat sesuatu yang mengerikan dalam benaknya.

Atau Ai yang lebih sering berdiam diri di kampus. Jarang pulang. Tapi dia tak pernah berangkat kuliah lagi? Entahlah kenapa semangatnya down begitu saja.

Gempa bilang biarkan saja. Baiklah.. Lagipula informasi menarik tentang Ai, dia bolak-balik aksel karena kadar IQ nya yang tinggi.

Kurasa dia berhenti sekolah satu dua tahun gak masalah.

Hanya saja liat mukanya aku tahu dia anak nolep.


Syukurlah ada 2 orang yang kunilai cukup waras di rumah ini.

Gempa yang memang mengurus rumah, Duri—Rian dan Thaha—Thorn juga membantu. Mereka tidak terlalu merepotkan.



Taufan..

Taufik An-Najah.

Ia anak yang baik, begitu aku pulang, ia langsung menerjangku kuat—aku langsung terjengkang di halaman. Kudengar ia sebenarnya bisa berkomunikasi lebih normal beberapa tahun ini. Hanya saja karena kecelakaanku, ia menjadi sedikit brutal. Entahlah berapa perabot yang ia otak atik saat aku tidak ada.

amnesia | halilintar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang