- solar -

1.2K 154 25
                                    

Mungkin ini adalah pertama kalinya kak Lin menangis sejak bunda pergi.”

—amnesia—


Hujan deras membasahi seluruh kota. Aku menatap pemandangan dibawah sana. “...”

Satu kata.

Indah.




Senja dengan hujan, malam terasa lebih cepat. Aku mendongak, rambutku basah, meski begitu pandanganku tak luntur. Maksudku, aku mengenakan kacamata, tetesan air tidak menyentuh irisku.




Entahlah.

Hish.

Aku menyunggingkan senyum, langkahku perlahan memijak ruangan kosong, tubuhku terjun ke bawah dengan bebas.

Dunia sampah.




PYAR

Kacamataku pecah berkeping-keping. Mendarat lebih dulu pada lantai batu.




Sepasang tangan lebih dulu menyambarku yang terlanjur jatuh. Memegang pinggangku. Tubuhnya juga terjulur, hampir terjatuh, tapi ia menahannya.

Dengan sekali hentakan ia membanting tubuh kami berdua kembali ke atap landai, terduduk di genangan air.

Sosok yang sangat kukenali itu masih merengkuh bahuku. Aku hanya diam. Tanganku terkulai, aku tak peduli.

“Solar..” lirihnya.

Aku menatap ke arah pintu yang tadi kukunci. Bekas dobrakan. Aku menatap wajahnya. Kak Lin. Ia menatapku khawatir. Netra merahnya menunjukkan itu. Alisnya tak lagi menukik. “....”



Dia pikir apa yang dia lakukan?





“Kenapa?” desisku, hendak menyingkirkan tangannya yang kekar itu. Tapi ia justru mengeratkan rengkuhannya.

“KENAPA KAK!?” aku berteriak. Apa apaan? Dia menghancurkan niatku?! Aku mencengkram jaketnya, berusaha menarik punggungnya agar dia menjauh. Aku kalah kuat.

Yah, mana bisa sosok insomnia ini bisa ngalahin juara bertahan silat daerah? Berdiri saja aku mati-matian seluruh tenaga.




“Solar..” ia kembali berucap.

“SOLAR TAHU SOLAR GA WARAS!” aku berteriak. Mencakar punggungnya. “KARENA ITU SOLAR EMANG HARUS MATI AJA KAN!?”

“SOLAR BIKIN MALU KELUARGA!”





“AYAH! LIHAT ANAK KEBANGGAANMU INI!! ANAK EMASMU, ORANG YANG JUSTRU MENGHANCURKAN HARAPANMU!” aku tertawa, mengalahkan suara hujan. Berteriak kencang.

Airmataku menyatu dengan tetesan hujan. Aku semakin meronta, kak Lin harus melepaskanku. Untuk apa dia justru makin memelukku seperti ini.

“KAU SENANG SEKARANG AYAH!?”





Aku memukuli bahu kak Lin. Menangis tersedu-sedu. Terisak panjang. Kak Lin hanya diam, tanpa melonggarkan sedikitpun pelukannya.




“Biarin kak, biarin Solar mati aja..”

“Solar.. Nggak perlu kau tanggung sendiria—”

“LAWAK KAU KAK! HAHAHA! SEJAK DULU SOLAR EMANG NANGGUNG SEMUANYA SENDIRIAN! KALIAN KEMANA!?” aku kembali tersulut. Tertawa keras sembari airmataku yang tak berhenti mengalir. Mencengkram jaket hitam kak Lin.




“Setiap Solar berhasil, Solar selalu dituntut untuk lebih baik lagi. Selalu untuk lebih baik.”

Aku hendak mendorong kak Lin, ia sudah mengendurkan pegangannya. Menatapku dengan tatapan terkejut dan sedih.

amnesia | halilintar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang