- blaze -

1.4K 176 15
                                    

“Kakak adalah.. Orang yang.. Sejak dulu, hingga sekarang, tidak pernah berubah..”

—amnesia—

“Aku tidak berbohong!”

Argh! Berkali-kali kukatakan, kalau aku melihat lipan sebesar guling merayap di dinding sekolah. Kenapa mereka tidak percaya?

Jelas-jelas lipan itu benar-benar membuatku ketakutan hingga aku terpelanting dari kursiku tepat saat pelajaran bahasa. Kenapa mereka tidak melihat kalau lipan itu mencekik anak yang berada di pojok? Dia saja berteriak kencang.

“Kau mengigau, Barra..”



“Atau kau yang penakut? Pada bayanganmu sendiri kau akan melompat, heh?”

“hahaha siapa yang akan mempercayai pembohong sepertimu? Tidak ada—”

“Aku percaya!!”







Sontak 3 teman—sebenarnya aku tidak menganggap mereka seperti itu—yang di depanku menoleh. Melebarkan mata. Sedangkan aku terkejut menatapnya.

Itu sosok hero dalam hidupku.



Remaja dengan rambut coklat gelap dan seikat rambut putih, netra ruby yang tajam. Pupil matanya terlihat kecil. Tampak ia sedang marah sekarang.

Euh, ngeri.




“Tentu saja, kak, itu karena kak Hamid saudara Barra kan? Akui saja jika kakak sebenarnya tidak percaya—”

“Tidak! Aku benar-benar percaya padanya!!” bentak kak Alin lagi. Ia menghentakkan kakinya mendekati 3 anak sialan itu. Melipat tangan. Untuk seusia kak Alin, memang dia cukup tinggi-membuat anak anak itu mendongak. hawa-hawa mengerikan menguar.

Mereka tertawa kecil. “Kak Hamid tau? Kakak itu sangat keren, aku sangat kagum, tapi ternyata salah..”

Mereka berani sekali memancing kak Alin marah, padahal dirumah, hanya kak Tau yang berani melakukannya. Bahkan Rian dan aku saja tidak berani.




Mungkin mereka punya 9 nyawa.

“Kak Hamid tidak lain hanyalah orang bodoh yang mempercayai bualan Barra,” mereka tertawa meremehkan. Aku naik darah seketika. Mereka menghina kak Alin. Wawawawa—seluruh anggota badanku bergerak. Mencengkram bahu salah seorang mereka lalu membantingnya kencang. Lantas menginjak rusuknya. Sialan!

Rasanya tanganku mengeras, aku ingin menghajar wajah sok taunya itu.

Seumur umur hidup, aku tidak pernah marah besar kecuali hal yang menyangkut keluargaku.

Mungkin aku sering marah marah karena hal sepele, dan itu cepat reda-memang tabiatku pemarah. Itu tak bisa kuhilangkan.





Tapi, jika kalian menghina ayahku, kalian mencela ibuku, kalian menyakiti kakek nenekku, merendahkan saudara-saudaraku. Aku janji aku akan membuat kalian akan menyesal melakukannya, apapun caranya.

“Berani sekali kau mengatai kakakku!!” gigiku bergemeletuk. Entah mataku semerah apa. Tanganku terkepal.





“Blaze,” suara serak itu menyadarkanku, kak Alin. Menarikku paksa. Aku menurut. Meski dalam hati aku sudah meledak. Kenapa kakak tidak menyuruhku untuk menghajar mereka saja!?

Kalau saja kak Alin tidak melarangku, mereka akan hancur sore ini.

“Terimakasih pujiannya,” nada kak Alin terdengar dingin.



“Aku lihat kalian berani mengatakan isi pikiran kalian secara terbuka,” senyum kak Alin setelah membantu orang yang kubanting tadi berdiri.

“kalian keren,” ucapan itu.. hah!? Mereka tampak mulai tersenyum kembali. Apa apaan ini !?





amnesia | halilintar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang