“Aku sudah di rumah, tapi aku tetap tak tahu kemana aku harus pulang..”
—amnesia—
“Kak,” suara adikku memanggilku. Membuatku menolehkan kepala. Ice, yang berdiri sambil memandang gedung universitas, senja ketika kami berjalan pulang.
“Ya, Ice?” tanyaku balik. Menggerakkan motor dari parkiran menuju jalan utama. Kuakui ia memang pendiam—tapi tetap saja tidak menutup kecerdasan otaknya—tapi kali ini ia seperti terjatuh kedalam lubang yang amat dalam.
Tidak dapat keluar.
“.... apa kita sanggup bertahan jika tak ada kak Lin—”
Adikku bertanya lirih, separuh wajahnya terlihat dari tudung jaket tebal lembut yang menutupi setengah bagian atasnya. Rambutnya yang panjang mencapai tengkuk terjulur keluar. Meski aku tahu, rambutnya sangat tipis.
Matanya tak terlihat, tapi aku merasakan ia sedang berkaca-kaca. Meremat ujung jaketnya. Ia menahan suaranya agar tak terdengar sedikitpun isakannya.
Aku terdiam.
Aku tidak tahu—untuk menjawab apa—dan jawaban yang benar dari pertanyaan itu.
Rumah sakit. Aku menghela nafas. Menggenapkan tekatku. Berjalan menuju kamar kak Lin. Gugup, aku sedikit gemetar. Menghela nafas. Berkali-kali mengusap rambut.
Ini kamarnya.
Ini nama yang tertulis di kolom. Hamid Ali Nurjannah. Ya.. Itu kakakku.
Tapi aku takut, takut, aku takut tidak siap, meski aku sudah menelan fakta pahit ini, meski aku sudah mempersiapkan segala mental untuk menghadapinya, aku takut aku tidak kuat untuk tidak menangis dihadapan kak Lin.
Fakta bahwa kak Lin mendapat amnesia cukup membuat adik-adikku yang mendengarnya seketika terpukul. Tidak percaya. Menolak kenyataan, menangis. Bahkan Blaze yang sering mengadu padaku karena kemarahan kak Lin, justru ia yang menangis paling kencang mendengar kak Lin amnesia.
Meski kakak sulung kami itu memang keras, galak. Pemarah, dan berbagai keluhan dari Blaze, tetap saja, ia adalah sosok yang membimbing kami. Menguatkan langkah kami. Terus berada di belakang mengawasi kami—meski kami ingin dia terus berada di depan. Dia sendiri yang memundurkan langkah, tersenyum, mempersilahkan kami berjalan lebih dahulu.
Aku mengetuk pintu, mengucapkan salam. Membukanya, terlihat pada pandanganku, ia sedang memandang jendela. Menoleh ke arahku. Parasnya tampak lebih kurus, tatapannya sama. Tajam.
“Wa’alaikumussalam,”
“kak Lin,” aku tersenyum. Ia mengangguk. Mengenaliku.
Aku memperhatikan tumpukan album yang kemarin kuserahkan untuk kak Lin. Posisinya berubah banyak. “Kakak sudah membuka semuanya?”
Kak Lin menggeleng datar. ia jauh lebih pendiam.
“Boleh aku duduk?” aku bertanya. Sebenarnya pertanyaan aneh, tentu saja orang yang menjenguk, normal untuk duduk, tapi aku terlalu segan. Ini kakakku yang sangat kuhormati.
Kak Lin mengangguk singkat. Netranya bergulir. Kelereng merahnya mengamati setiap gerakanku dengan tajam.
Aku meraih kursi di sebelah ranjang, mendudukkan diri. Lantas meletakkan sebuah totebag.
“Album?”
“Iya.. Bosan?” Kak Lin versi sebelum amnesia, ia paling nggak suka foto-fotoan, kenang-kenangan, acara nostalgia. Baginya ah lebay. Bahkan saat wisuda, kalau nggak dipaksa, kak Lin lebih milih pulang duluan dibandingkan foto-foto seangkatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
amnesia | halilintar
FanfictionN HALILINTAR'S :: woi kalian, abang lu lost memori ━━━━━━━━━━━━┅ ❛ ini tentang halilintar dan sebuah ingatan ┅━━━━━━━━━━━━ boboiboy©monsta story©izerenn