Naruto mengendarai mobilnya dengan sangat cepat. Ketika Madara berbicara di hadapan kamera, tanpa meminta izin pada sang atasan, ia langsung pergi untuk menyelamatkan Hinata.
Persetan dengan dirinya yang pergi sendiri kali ini. Ia membawa mobil pribadi dan tidak ada pengawalan apapun dari kepolisian maupun tentara.
Laju mobil kian meningkat. Ia sudah tidak peduli akan peraturan lalu lintas.
Drtt.. Drtt..
Nama Komandan Kakashi tertera di layar ponselnya. Ia segera menerima panggilan tersebut, tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun.
"Jangan gegabah. Pasukan tentara sudah berada di depan dan kepolisian berada dibelakangmu, paham?"
"Ya."
"Jika kau sampai disana terlebih dahulu, jangan masuk tanpa didampingi pasukan tentara. Kau sama saja mati sia-sia dan tidak akan bisa menyelamatkan Hinata."
Memang benar. Secepat apapun ia berkendara, jika pasukan tentara belum sampai juga akan percuma. Logikanya masih berjalan meskipun berada di kondisi seperti ini. Masuk sendiri merupakan hal paling bodoh.
"Siap, Komandan. Kau tidak perlu khawatir. Aku masih menggunakan otakku."
Panggilan telepon pun terputus. Mata biru itu menatap jalanan dengan serius. Apapun yang terjadi, ia akan menyelamatkan cinta pertamanya.
.
.
.Darah bisa ia rasakan dengan indra pengecapnya. Entah berasal dari robekan pada mulut atau dari organ dalam karena Madara terus memukulinya dengan kuat tanpa henti.
Kesadaran Hinata semakin menipis. Ia seperti dibunuh dengan pelan-pelan.
"Jangan mati dulu kau. Aku masih belum puas menyiksamu," ujar Madara menarik rambutnya agar berdiri.
Kakinya sungguh sangat gemetar. Tapi, jika kedua kakinya itu menyerah, pasti kepalanya lah yang akan menjadi pusat kesakitan karena harus menahan beban seluruh tubuhnya.
"Seorang LC kecil sepertimu ingin mengelabuhiku?" Tanya Madara meremehkan Hinata. "Kau dibodohi oleh anggota kepolisian."
Plak!
Satu tamparan kembali hadir menyentuh pipi kirinya. Entah ini sudah tamparan keberapa, Hinata bahkan sudah tidak dapat menghitungnya.
Di tengah penyiksaan tersebut, pintu terbuka. Di sana, terdapat salah satu tangan kanan Madara, Kabuto, berdiri di daun pintu. Ia berucap, "boss, Nyonya Leonor menelpon. Ia ingin berbicara bisnis saat ini juga."
"Katakan nanti."
"Maaf, boss. Aku sudah mencobanya tapi Nyonya Leonor mengancam akan membatalkan kontrak jika tidak sekarang."
Madara berdecih. Tanpa belas kasih, ia melepas cengkraman pada rambut Hinata yang membuat wanita itu langsung terjatuh ke atas lantai.
"Dasar wanita sialan. Dia pikir siapa dirinya bisa mengancamku."
Mereka berdua pun pergi meninggalkan sang wanita sendirian di dalam ruangan.
Penglihatannya memburam. Ia terus mengerjapkan mata berharap tidak akan pingsan. Namun apa daya, usahanya itu terbuang sia-sia.
.
.
."Kak Hinata, ayo kita bermain di taman!"
Hinata kecil pun menyanggupi permintaan dari adiknya, Hanabi. Ia dan Hanabi memang sangat dekat dan kerap kali bermain bersama.
"Kita minta izin ke mama dulu ya, Hanabi?"
Hanabi terlihat bersemangat pergi ke kamar orang tuanya. Di sana, sang ibu sedang merajut baju untuk mereka gunakan di musim dingin. Bahkan, tak jarang dirinya diajari bagaimana cara merujut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ladies Companion [NARUHINA]
FanfictionFREE STORY🔥 Menjadi ladies companion adalah pekerjaan seorang Hyuuga Hinata. Jika kalian bertanya apakah ia menikmatinya, tentu saja jawabannya adalah ya. Bayangkan saja mendapatkan koleksi jam, tas, dan pakaian branded secara gratis hanya dengan m...