2. Puing Bangunan

9 0 0
                                    

Minggu yang cerah, awan pagi yang cukup terik. Seterik hati yang dirasakan pria jangkung dengan wajah tegap. Terlihat sosok Adrian, tengah menelpon seseorang kepercayaannya.

"Bagaimana, sudah kamu hancurkan rumah itu?"

"Sudah, Pak. Rumah itu telah rata dengan tanah" ucap lawan bicara di telepon.

"Jangan lupa kamu fotokan setiap sudut puing-puing rumah itu. Kirim secepatnya" Ucap pewaris Sanjaya dengan penuh dendam.

"Baik, Pak"

Tut

Sambungan terputus, tak lama ia menerima gambar rumah yang tinggal puing-puing bagunan.

Ia tersenyum jahat. Satu poin, ia memberikan satu pelajaran wanita yang kini dibenci. Tak sabar dan berfikir, hukuman apalagi yang akan ia berikan.

Perceraian ? Tidak-tidak. Jika bercerai, sama saja dirinya membiarkan wanita itu bahagia dengan laki-laki lain setelah bebas nanti. Gorcha! Ia akan menggantung status pernikahannya. Status janda pun bukan, istri pun ragu.

Ahh, rasanya ia tak sabar. Memikirkan apa lagi hukuman untuk istri jahatnya itu.

________________________

Tiga bulan ia sudah terkurung dalam penjara ini. Artinya, usia kandungan Karenia menginjak kurnag lebih empat bulan. Janin yang masih sangat kecil itu mengerti keadaan ibunya. Karen mengalami morning sickness hanya beberapa minggu saja saat awal masuk sel tahanan, setelahnya ia kuat dan sehat.

Setiap malam menjelang tidur, sosok Rina selalu membaca ayat suci sambil mengusap perut ibu hamil itu. Mungkin ini menjadi penyebab mengapa anaknya sangat pintar dan baik. Karen bahagia, ia tak pernah pernah bertemu dengan orang sebaik Rina.

Aktivitas pagi ini sama seperti kemarin, mengepel lantai dengan tangan, kemudian merapihkan pakaian narapida satu selnya.

Tiga narapidana yang sangat kejam mengetahui kondisi hamil Karen. Mereka tetap acuh tak peduli, bahkan Yanti pernah mengancam akan menendang perutnya jika ia bermalas-malasan.

Wajar mereka sangat membenci wanita hamil itu. Mereka menganggap bahwa janin itu adalah hasil perselingkuhannya dengan sang ayah mertua.

Dalam aktivitas Karen, tiba-tiba ia merasa mual, entah mengapa biasanya tak seperti ini. Ia berhenti sejenak mengepel lantai, sambil menetralisirkan rasa mual. Sekeras usaha ia tahan, mengusap perut, menutup mulut, sambil berdoa dalam hati.

Etik yang melihat Karen berhenti, menjegal kaki Karen, hampir terjungkal. Untung saja wanita hamil itu segera menyeimbangkan tubuhnya.

"He, lu jangan cari-cari alasan. Jangan karena hamil, bisa seenaknya" Ujar Etik dengan wajah marah.

"Iya maaf, bu" Ucap Karen.

Entah mengapa, Etik yang selalu dipanggil ibu oleh Karen, merasa dadanya berdesir, mengingatkan sengan mendiang putrinya.

"Ga becus. Sana, lu ke kamar mandi. Gue gak mau lantainya kotor karena muntah lu. Gue yang lanjutin sini"

Karen heran anggota napi di sel pun juga heran, hari ini ia merasa aneh. Pertama, ia mual, padahal selama dua bulan ini sudah tak mual. Kedua, mengapa Etik secara sukarela mau menggantikan tugas Karen.

Karen beranjak, pergi ke kamar mandi, memuntahkan cairan bening dari perutnya. Saking mualnya, air mata menetes membasahi pipi pucatnya.

Sampai akhirnya. Rina mengetuk pintu kamar mandi.

"Karen, kamu dipanggil." Ucap Rina, ia juga khawatir dengan keadaan Karen.

"Tahanan 1927, Karenia Lara. Ada yang ingin mengunjungi Anda" ucap petugas perempuan sel penjara.

Karen mengangguk, siapa yang tiba-tiba datang. Seingatnya ia tak punya saudara. Ayah ibunya pun tak pernah bercerita mengenai sanak kerabat. Hanya satu kemungkinan, yakni suaminya.

Dalam perjalanan menuju ruang pengunjung narapidana bersama petugas, ia melewati cermin. Sekilas ia melihat, bahwa perutnya belum nampak buncit. Ia berharap suaminya tak kan mengetahuinya. Ia takut, jika bayi ini lahir suaminya akan merebutnya. Tak membiarkan bertemu dirinya, setelah bebas dari penjara.

Pria itu mendongak. Memperhatikan wajah pucat istrinya yang tengah menggeser kursi kemudian duduk sambil menunduk. Pria jangkung itu berdiri, mendekati wajah Karen. Memegang dagu Karen untuk menatap mata tajamnya.

Ada rasa rindu bercampur takut uang Karen rasakan. Semetara Adrian menatap penuh kebencian.

"Kamu tahu ? Saya telah meruntuhkan gubuk milikmu. Setelah bebas, kamu tak memiliki tempat manapun. Saya pastikan, kamu hanya pantas menjalani dunia ini seperti neraka" Ucap Adrian penuh tekanan.

Karenia tersentak. Tak percaya apa yang diperbuat suaminya. Ralat. Ayah dari anaknya.

Butiran tetes air mata jatuh, Karenia menangis sesenggukan.

Adrian melihat itu, menepuk pipi istrinya dengan kasar, dan menyentak rahang sang istri. Menangis sambil mengigit bibirnya. Kemana ia habis ini, dimana tempat untuk anak dan dirinya bernaung.

Selang lima menit berlalu, pewaris Sanjaya itu menunggu wanita didepannya berbicara.

"Tidak cukup kah kamu menghukum ku dengan penjara? Aku bahkan sudah kehilangan masa depan disini". Ucap Karen menyayat hati.

"Tidak. Ini baru permulaan Karenia Lara. Masa depan mu, di mata saya tidak ada apa-apanya dengan kejahatan mu!" Bentak pria berahang tegas itu.

"AKU BUKA PELAKUNYA. Kamu yang selalu menutup ma...." Belum sempat ia melanjutkan.

Plak

"Sialan, jangan pernah kamu berteriak di depan saya, Pembunuh!" Marah Adrian, menekankan akhir kata.

Kemudian, laki-laki itu melempar amplop cokelat ke wajah Karena.

Brakk

Adrian meninggalkan ruangan itu dengan membanting pintu.

Karenia runtuh memeluk lutut, menenggelamkan wajahnya. Sesenggukan, meraung dalam tangisan.

Ia buka amplop cokelat itu.
Hatinya teriris. Rumah hangat penuh kenangan bersama keluarganya. Telah hancur lebur seperti hati dan masa depannya.

Petugas perempuan itu menyaksikan betapa sombongnya pewaris Sanjaya. Melihat tahanannya di tampar, lubuk hati imgin membela wanita malang itu. Dirinnya bukan siapa-siapa. Jika pun, nekat. Ia akan kehilangan pekerjaannya.

Karen keluar dari ruang pengunjung, sang petugas perempuan menuntunnya menuju sel tahanan.

"Kamu nggak papa ?" Ucap petugas perempuan.

Karen menggeleng, ia tak ingin mengucap satu patah pun. Satu kali ia mengeluarkan huruf, maka bertambah tangisannya.

"Tunggu sebentar disini"
Memasuki koridor sel tahanan. Karen disuruh duduk sejenak.

Petugas perempuan itu kembali dengan membawa obat.

"Ini obat oles untuk lukamu, jika lebam nanti. Saya tadi melihat dari kaca. Maaf, saya tidak bisa melerai" ucap wanita tersebut dengan rasa bersalah.

Karen menerima obat itu dan mengangguk pelan

"Terimakasih" ucap Karen sangat lirih.

Hingga ia tiba di sel tahanan. Narapidana di sel melihat heran dengan pipi kemerahan Karen.

"Pipi mu kenapa Karen?" Ucap khawatir Rina.

Karen hanya menggeleng sambil terisak. Etik melihatnya cukup sedih. Tapi ia menyingkirkan perasaan tersebut.

"Kayaknya kamu habis dilabrak sama ibu mertua, ya? Alias istri sah dari selingkuhanmu!" Ucap Yanti tak berperasaan.

Karen makin terisak hingga setengah jam. Pertahanannya kini runtuh. Tak dapat lagi ia bendung.

Rina yang melihatnya mencoba untuk memeluk dan menenangkan Karen.

Karen sadar mengapa pagi ini mual. Mungkin sang anak merasakannya. Bagaimana kejam ayahnya itu.
____________

Segini dulu ges yaa. Aku pusing mikir jahitan huhuhuhu. Doain ya, semoga jahitan ku lancar.

Cinta Yang LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang