5. Kunjungan Perusahaan

10 0 0
                                    

“Mas ?” ujar seorang wanita dengan lembut. Mengusap rahang tegas suaminya.

Hmm ujar sang pria sambil menutup mata, menikmati sapuan tangan rapuh sang wanitanya.

“Kalo aku hamil, mau anak Perempuan atau laki-laki ?” tanya wanita itu dengan lembut.

Pria berahang tegas itu membuka mata, menatap mata sayu nan teduh milik istrinya.

“Laki-laki atau Perempuan sama aja. Yang penting ibu dan dedeknya sehat”

“Tapi, kalo bisa anaknya tujuh” ujar Adrian menerawang ke atas dengan senyuman jahil.

“Haah, banyak banget, Mas. Kamu aja yang mengandung” Timpal istrinya.

“Biar rame, Sayang. Jadi anak Tunggal itu nggak enak. Banyak anak biar ga sepi, mau yah ?” Ujar Adrian jahil.

“Tapi nggak harus tujuh juga, Mas. Kan bisa tiga atau empat” tawar sang istri merajuk.

Adrian tersenyum lebar, menggemaskan sekali istri kecilnya ini. Merangkul pinggang ramping sang istri sambil mengecup keningnya.

Hening

Adrian membuka mata. Sial, hanya mimpi tapi terasa nyata. Apa ia merindukan sosok istrinya? Tidak mungkin. Pembunuh tetaplah perbuatan keji. Meski istri yang amat ia puja dahulu.

Tiba-tiba perutnya berbunyi. Mulutnya terasa manis. Mengusap kasar perutnya. Melirik Arloji pukul satu dini pagi. Mengapa dirinya ingin sekali makan martabak telur.
Membuka gadgetnya, ia memesan makanan itu dengan aplikasi delivery.

Tak lama kurir pesanan makanan pun datang. Cukup terdengar dari suara bel. Karena kamar utama Adrian berada di depan dekat Carport.

Rumah ini didesain oleh istrinya yang tak mau berlantai dua, akhirnya Adrian membeli dua rumah sejajar untuk meluaskan lahan rumahnya.

Pesanan martabak telur pun ia makan hingga tandas tak bersisa. Setelah habis, ia merasa gamang. Ada apa dengan dirinya, seperti perempuan saja yang ingin makan makanan aneh seperti ini. Mana Tengah malam pula.

------------

Langit cukup cerah, jalanan lebih lenggang dari biasanya. Minggu, pagi ini adalah waktu yang dinantikan Adrian sekaligus mewakili pimpinan perusahaan.

Awal acara, Adrian sambutan dengan profesional selaku pemimpin perusahaan.  Sesi selanjutnya dipegang oleh karyawan lain.

Disela-sela kegiatan, Adrian menemui Karen diruangan khusus. Tentu ia memberikan sogokan uang kepada petugas sel penjara untuk berbicara diruangan khusus ini.

Keheningan menyelimuti, hingga pertanyaan Adrian membuat istrinya tersentak.

"Apa kamu hamil ?"

Deg...

Bagaimana suaminya ini bisa tahu?

Tidak ada jawaban dari Karenia.

"Hei Jawab!"

"Tidak" ujar Karen singkat.

Adrian mendekat.

Tidak tidak. Jangan sampai suaminya tahu dan memegang perutnya dibalik baju kedodoran ini.

Menangkup dagu sang istri, ditatapnya mata teduh nan pucat.

"Yakin, Kau tak hamil, hmm ?"

Ia lepaskan belenggu tangan suaminya di dagu. Lalu menunduk.

"Kalaupun aku hamil, mau apa ?" Ujar Karen menantang.

"Kehamilan mu tidak ada dalam rencanaku, wanita bodoh."

"Tak sudi membiarkan benih saya pada rahim seorang pembunuh"

"Kalaupun terjadi. Harapan saya bayi itu mati dibawah penjara bersama mu"

Bak dihantam godam besar. Karen menegang. Lelaki yang dulunya ia kenal lembut, bertransformasi menjadi monster mengerikan.

Buliran kristal bening jatuh dari mata sayu itu, kilatan petir menerpa dadanya. Amarah terpancar pada mata dan lisan sang istri.

Mendongak. Berapi-api.

"Kamu akan menyesal mengucapkan itu, Mas!"

"Hei, hei. Kenapa kamu marah ? Sewajarnya saya mengucapkan itu"

Ucap Adrian dengan mimik menyepelekan, menganggap orang yang pernah mengisi hatinya layaknya seonggok sampah yang harus dibakar.

Karen menatap wajah suaminya penuh amarah. Hingga.

"Tolong talak aku"

Baru saja kemarin ia memikirkan status pernikahannya. Bukan lantas menjawab, Adrian tertawa keras mendominasi ruangan ini. 

"Ah yaa. Setelah kamu keluar dari sel. Saya gantungkan status mu. Istri bukan, janda pun bukan"

"Menceraikan mu, sama saja memberi kebahagiaan mu bersama orang lain."

Telak. Adrian melangkah meninggalkan istrinya berdiri mematung.

Karen luruh dengan tangisan pilu. Lututnya tak mampu menompang, mendudukan diri di atas lantai. Relung sunyi mengisi hati. Gemertak gigi bertanda emosi.

Seandainya ia tidak bertemu Adrian. Seandainya ia tak menolong mobil mogok. Seandainya ia menolak ajakan pendekatan dengan lelaki itu.

Nyatanya nasi sudah menjadi bubur. Hidup dengan orang bergelimang harta tak lantas membuatnya bahagia seperti yang diimpikan orang.

Karen kembali menyusuri lorong menuju kamar sel nya. Berjalan sendiri tanpa pengawasan petugas. Mungkin mereka sibuk dengan acara.

Hingga ia memasuki kamar sel nya. Menatap mereka yang sepertinya sedang senang.

"Kemana saja lo ?". Etik beratanya.

"Eh, lu ga dapet hadiah dari acara kunjungan tadi. Isinya kebutuhan diri selama tiga bulan. Gila, kaya bener". Yanti menimpali.

"Dengar-dengar, acara tadi milik perusahaan suami lo. Tapi lo ga dapet apa-apa yah. Kasian" ucap Rasti ikut-ikutan.

Sementara Rina menatap Karen penuh iba.

Sedih hati. Karen iri melihat kawan sel nya mendapatkan jatah santunan. Sementara dirinya harus menelan pahitnya makian.

Tidak ada yang memberinya kebutuhan diri selama di sel. Mengingat alat mandi dan alat cucinya mau habis. Itu pun harus beli cukup mahal dari harga umumnya kepada pihak petugas.

Selama ini Karen, melakukan pekerjaan tambahan, bersih - bersih di kantor petugas setiap hari. Seperti menyikat kamar mandi, menyapu dan mengepel lantai, merapihkan tata ruang petugas. Seluas 150 meter persegi yang disekat-sekat dinding.

Ia dibayar 20 ribu perharinya. Sementara kebutuhan diri selama di sel terus meningkat. Belum lagi, alat mandinya berkurang drastis karena sering dipakai Yanti.

Ingin mengeluh, tapi ia harus bersyukur. Bu Nani, petugas waktu lalu yang memberikan obat telah menawarkan pekerjaan itu.

Tentu. Ia harus berjuang demi bayinya. Mengusap perutnya yang bersemayam janin. Berbisik pelan, sambil menitihkan air mata.

Gak apa ya, Nak. Kamu gak disayang Ayah. Bunda selalu memperjuangkan, mu. Meski taruhan nyawa.

Terimakasih, nak. Sudah kuat dan tidak rewel selama kita berjuang.

Cinta Yang LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang