6. Ternyata Bos Besar

8 0 0
                                    

Flashback satu tahun yang lalu.

Jumat adalah hari yang dinantikan para pekerja, karena esok adalah weekend. Kendaraan pun pasti ramai, jika memasuki sore, melebihi hari biasanya.

Karenia melangkah, melewati lobi perusahaan tempat ia bekerja. Cukup besar dengan 10 lantai gaya bagunan modern berkaca.

Saking asiknya menyambut weekend.

Buukhh

Pundaknya di tabrak dengan dada tegap seorang pria dari arah sebrang. Tasnya jatuh. Ia lupa menutup resleting tas, barangnya berjatuhan.

Pria yang menabraknya pun berucap tak enak.

"Maaf, saya sedang buru-buru"

Aduh. Jam mahal milik orang kaya yang ditemui minggu lalu, ikut jatuh.

Buru-buru Karenia mendahulukan jam mahal itu, dibanding dompetnya sendiri. Mengusap kehati-hatian layar bening bulat. Jika rusak, bisa bahaya.

Syukurlah, jamnya tidak apa-apa. Sampai suara bariton mengejutkan.

"Kamu?"

"Kamu, Karen, kan?"

Ucap lelaki itu, tak lain Adrian dengan wajah sumringah.

Karenia mendongak, melihat wajah pria itu. Ah itu sang pemilik jam tangan.

Namun, mata Karen beralih pada pin nametag pada jas.

'Adrian Darma Sanjaya'

Astaga, ternyata bos nya sendiri. Mati lah Karen. Tahu begitu, ia tak seharusnya menerima jaminan itu. Bahkan lima ratus ribu pun, ambil saja. Yang penting tidak bersenggolan dengan bosnya.

Karen menunduk, sebagai rasa hormat dan penyesalan. Mengeluarkan kata maaf.

"Maaf, Pak Adrian. Saya tidak tahu jika kemarin itu bapak. Saya kembalikan jam ini."

Karen menyerahkan jam rolex milik pria itu. Adrian membalas.

"Ah ya. Terimakasih Karen. Telah menjaga jam saya"

"Kebetulan saya lagi tidak ada cash. Boleh saya minta nomor mu? Nanti saya transfer" modus Adrian.

"Tidak usah, Pak. Anggap saja saya sedekah"

Sedekah ??

Ups

Karen menepuk pelan mulutnya. Tak sopan sekali mengatakan sedekah. Memangnya dia ini miskin, apa? Memborong bensin satu SPBU pun pasti mampu.

Adrian tersenyum geli. Perempuan ini keceplosan.

"Maaf, pak Adrian. Maksud saya. Saya ikhlas, Pak. Ingin menolong saja"

"Kalau kamu ikhlas, mengapa kamu menerima jam ini ?" Goda Adrian menaikkan sebelah alisnya.

Jangan lupakan pepatah Adrian. Pertemuan kedua harus pendekatan.

Karen menunduk. Diam tak bergerak. Meremas jarinya.

Ah sial. Ia ingat ada rapat selama satu jam kedepan.

"Saya, sedang buru-buru ada pertemuan. Saya minta kamu tunggu di lobi. 1 jam lagi saya datang"

"Tidak ada penolakan, Karen"

Perintah Adrian menggoda kegugupannya. Mengambil tangan Karen. Meletakkan jam tangannya di atas telapak lembut wanita itu.

"Tap....."

"Satu jam saja, Karen. Saya janji"

Belum usai menjawab. Adrian telah berlalu tanpa memberi kesempatan nego.

Karen bergeming. Apa iya? Karena kejadian itu ia terancam dipecat.

Tidak boleh nethink, Karen. Ingatnya.

Satu jam wanita itu menunggu. Adrian tak kunjung datang. Waktu sudah menunjukkan awal malam.

Lebih 5 menit, tak datang juga.
Menit ke 10 masi setia menunggu. 20 menit. 30 menit.

Genap. Ia menunggu satu jam setengah. Hingga suara derap pantofel kilau.

Adrian menyapa. Kemudian Karen mengembalikan jam tangannya. Adrian ingin membayar. Uang cash sudah ia dapatkan dari ayahnya saat selesai meeting. Meski mendapat tatapan aneh. Seolah mengatakan.

CEO pinjem seratus. Agar pewaris tidak putus.

Tapi Karen menolak dengan sopan. Hingga.

"Kamu pasti lapar, menunggu lama. Sebagai gantinya saya ajak kamu makan malam"

Adrian mengajak Karen ke sebuah restoran dekat kantor. Awalnya, Karen menolak lagi. Tapi paksaan sang bos. Ia mengalah.

Memasuki restauran mewah, karen ragu juga takut. Ia tidak pernah masuk ke restoran mewah sebelumnya. Uang gajiannya selalu ditabung.

Adrian memesan makanan pada pelayan resto. Karenia di tanya, 'ingin pesan apa'. Berfikir sebentar.

"Samakan saja, dengan bapak" jawab Karen dengan sopan.

Kalau ada kotak saran. Karenia akan mengisi kritik. Tolong sertakan istilah lokal dalam daftar menu restoran Anda.

Makanan datang. Adrian memakan dengan wajah sumringah. Sementara Karen, penuh dengan wajah sungkan.

Untung saja pesanan Adrian ini cukup mudah dimakan dan tidak aneh-aneh.

Mereka menyelesaikan makanan dengan tandas. Tersisa minuman. Karen tengah asik menyeruput. Tiba-tiba.

"Hari minggu, kamu biasanya kemana?"

Karen bingung menjawab.

"Di rumah saja, Pak"

"Jangan panggil saya bapak. Ini diluar kantor, Karen"

Karen menatap wajah pria itu dengan raut sungkan.

"Rasanya, tidak sopan, Pak Adrian"

"Adrian. Panggil saya Adrian. Saya tak mau tahu"
Ujar Adrian mendominasi.

"Mas Adrian, mungkin lebih sopan"
Ujar Karen tersenyum lembut.

Mas ?

Rasanya. Saya tidak sabar mengajakmu ke pelaminan.

"Hari minggu, kita jalan yuk"

Uhuk
Uhuk

Karen tersedak. Adrian membuka botol mineral bersegel di atas meja. Menyodorkan ke Karen.

"Kamu, dirumah saja kan ? Saya ajak kamu jalan - jalan. Mungkin ke Mall atau kemana"

Karenia mengangguk ragu. Ingin menolak tapi ia sungkan.

Hingga pertemuan berikutnya. Keduanya saling dekat satu sama lain.

Sampai akhirnya Adrian melamar Karen, membawa gadis itu ke hadapan orang tuanya.
Syukurnya, mereka menerima Karen dengan baik.

Adrian menjanjikan pernikahan yang bahagia hingga akhir hayat. Memberikan rasa kasih sayang dan cintanya kepada sang istri.

Karenia pun berjanji dalam dirinya. Berusaha menjadi sosok istri yang baik serta akan setia dengan Adrian.

Setia kepada Adrian dan keluarga yang tulus itu.

Indah, bukan ? Seperti novel-novel ber-genre romance. Sang gadis miskin dijemput pangeran berkuda putih, membawanya ke istana lalu hidup bahagia dibawah gelimang harta.

Tapi, siapa sangka. Hari naas itu terjadi. Tepat dihari kematian ayah mertuanya. Karenia Lara menjadi tersangka.

Adrian sangat terpukul atas kehilangan ayah kebanggaannya. Dendam pun muncul. Amarah menguasai. Penjara pun tak cukup baginya.

_________________

Ayook dong di vote. Biar semanguy


Cinta Yang LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang