Chapter 1 : Kehancuran Pendidikan Indonesia

33 4 0
                                    

Jakarta Timur, Selasa, 7 Oktober 2014
Malam hari

Terlihat anak sekolah sedang melakukan tawuran di jalan raya. Mereka saling melawan satu sama lain dengan sajam handalan mereka seperti celurit, golok, dan sabit. Dua ketua geng itu juga saling bertarung dengan pedang golok dan pedang katana. Ketua geng pertama menangkis dengan mudah tebasan golok itu dari ketua geng kedua dengan katana. Dia bisa membaca pergerakan musuh dengan sangat mudah makanya banyak anak sekolah yang mau berguru dengannya.

Ketua geng pertama itu menebas serangannya berkali-kali dengan cepat pada musuh. Ketua geng kedua itu berlumuran darah dan kesakitan karena telah melawan seorang sepuh petarung. Lalu dia marah kepada ketua geng yang dia lawan itu karena tak terima dirinya terkalahkan begitu saja. Namun ketua geng pertama itu tidak peduli, dia menganggap ketua geng yang dia lawan hanyalah sebuah mainan yang dapat dia rusak dengan mudah. Suara sirine mobil polisi mulai terdengar di kuping para pelajar tawuran itu. Mereka cepat-cepat bergegas untuk kabur tapi ketua geng yang kalah itu mengamuk dan ingin bertarung lagi.

"Ngapain loe kabur?! Gua belum selesai berantem sama loe!"

"Lu goblok yah? Mau masuk penjara duluan, hah? Mau cepet-cepet keluar dari sekolah?!" Tegas ketua geng pertama.

"Gua gak peduli sama urusan sekolah! Sekolah gak bikin loe cepet kaya! Mendingan gua jadi begal daripada dipaksa sekolah terus kayak pengangguran berkedok formal!" Protes ketua geng kedua.

Ada seorang guru yang sedang berjalan sehabis membeli jajanan di minimarket lalu mendengar suara yang tidak asing dari anak yang ribut itu. Terlihat seperti murid yang pernah dia ajar di sekolah, ia pun segera mengintip diam-diam.

"Auh ah! Gara-gara lu, polisinya udah mau mampir! Cepet woy, kabur!!" Kesalnya ketua geng pertama dan anggotanya yang telat untuk kabur.

Guru itu bernama Javier. Javier tidak habis pikir ternyata murid berprestasi yang selama ini dia ajar ternyata melakukan tawuran. Dia menaiki motor membuntuti polisi. Pelajar tawuran itu menaiki motornya untuk kabur dari kejaran polisi. Ketua dari geng pertama itu dengan cepat mengambil jalan gang yang aman.

Sampai di lampu merah, dia tak sengaja menabrak seorang nenek yang sedang menyebrang. Alhasil, mereka terjatuh dan ketua itu tiba-tiba ketakutan dan panik. Ketua itu meminta maaf kepada nenek dan memberi seluruh uangnya kepada sang nenek untuk biaya pengobatannya. Setelah itu dia segera pergi berlari tak menentu arah. Polisi dan Javier datang menolong nenek itu yang terjatuh. Javier terkejut karena muridnya itu menabrak nenek Javier itu sendiri. Seketika membuat Javier marah dan ingin membalaskan dendam pada murid itu kalau suatu saat neneknya sudah kehilangan nyawanya.

Sampai di jembatan tengah jalan raya, ketua itu kehilangan kendali dan pikirannya. Yang hanya ada di isi kepalanya hanyalah melakukan bunuh diri. Dia sudah capek menjalani hidupnya lagi, tak sanggup lagi menahan beban hidup keluarganya. Kalau dia bunuh diri pun, adakah keluarganya yang mempedulikan dirinya? Sepertinya tidak ada. Akhirnya dia mencoba menaiki palang jembatan dan berdiri. Alangkah indahnya dia membayangkan ketenangan hidup tanpa beban sambil menghembuskan nafas terakhirnya sebelum meloncat. "Maaf kalau aku telah menyakiti kalian semua." Ucapnya sembari mengepakkan tangannya dan kaki kanannya mulai melangkah ke depan untuk menjatuhkan dirinya. Mulailah terucap kata-kata terakhir di mulutnya.

 Mulailah terucap kata-kata terakhir di mulutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chandrakanta LimboTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang