#PROLOG#

177 47 43
                                    

Welcome....

~ Happy reading~

*

*

*

Karna takut kehilangan seseorang aku kehilangan diriku sendiri.


...

Kaki kecil itu terus menggayuh pedal sepeda fixienya dengan cepat, menghiraukan sekeliling, tangannya menggenggam erat stang sepeda, pakaiannya basah karena tetesan air yang jatuh dari langit, seakan Tuhan tau anak itu membutuhkan sesuatu untuk menyembunyikan tangisan nya.

" Menjauh kamu dari saya! "

" Tidak ada yang mengharapkan mu disini! "

" kamu adalah malapetaka bagi keluarga
ini! "

" ANAK BIADAB! KUTUKAN! "

Anak itu semakin mempercepat laju sepedanya, bibirnya mengatup rapat, netra nya sesekali terpejam kala cercaan - cercaan kotor itu kembali menyeruak masuk memenuhi kepala, tidak lagi terbesit oleh nya untuk mengurangi kecepatan, persetan dengan jalanan licin, belokan tajam dan bahaya lain nya, tatapan anak itu kosong, pikirannya berkecamuk hebat di dalam sana. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkan, air matanya pun tersamarkan oleh hujan, keadaannya saat ini kacau.

" Brukkk! "

" Aaaaaaaa "

Anak lelaki itu terus melaju kencang di jalanan yang licin, sampai dengan tidak sadar ban sepeda yang dikendarai nya menabrak bongkahan batu setelah melewati tikungan tajam sebelumnya, ukuran batu itu tidak terlalu besar, namun keberadaannya sangat mengganggu siapa saja, seperti diletakkan secara sengaja bongkahan batu itu tertata rapi di tengah jalan.

efek dari benturan yang terjadi sukses membuat si anak terlonjak hilang kendali, tubuh nya terpental melewati trotoar yang menjadi pembatas antara jalanan dengan hutan belantara di bawah sana, wajah anak itu pias, bibir merah mudanya mulai terlihat pucat, darah segar mengalir deras dari satu sisi sikunya, nyawanya dipertaruhkan.

hidupnya bergantung pada pecahan batu tajam yang menjadi pegangan nya saat ini, Tidak Begitu baik untuk keadaannya bahkan terbilang sangat buruk, pegangannya bisa kapan saja terlepas bersama energi tubuhnya yang semakin berkurang drastis, hujan juga membuat tebing itu menjadi lebih licin, di bawah sana hutan gelap nan sunyi menanti kehadiran tubuh si anak yang melayang di atasnya, siap menelannya kapan saja.

Ntahlah.... Dia tidak tau hewan buas apa saja di dalam sana, jasadnya bisa saja kehilangan nyawa saat membentur batu-batu besar nan tajam yang tersusun di sisi tebing, atau lenyap menjadi santapan hewan buas yang lapar, dirinya tidak bisa memilih.

Tangan mungilnya sudah tidak kuat menggenggam pegangan lagi, luka di sikunya terasa amat perih, kepalanya juga mulai terasa pusing, menunggu pertolongan datang dengan sendirinya itu tidak mungkin, berteriak meminta bantuan juga pasti sia-sia, tidak ada seorang manusia pun kecuali dirinya saat ini, anak laki-laki itu mulai kehilangan harapan, baiklah,,, jika ini menjadi keinginan sesorang yang sangat berharga di hidupnya dia akan mengalah demi sosok itu.

Kesadarannya mulai di renggut secara paksa, tangannya sudah sangat lemah, di akhir sisa-sisa tenaganya dia kembali mengingat paras seorang yang sangat di cintainya, memori-memori indah masa kecilnya bersama sosok itu akan terus melekat di hati anak itu hingga jasadnya hancur luluh lantak di bawah sana.

"Mama... " bibirnya bergetar menyebutkan kata itu untuk terakhir kalinya dengan suara lirih, di susul netranya yang perlahan menutup, seuntai senyum menggantikan isak tangis yang kian mereda, raganya mulai menikmati rasa sakit yang mendera, sungguh akhir yang menyedihkan.

Genggaman nya perlahan mulai mengendur, senyumannya juga kembali memudar namun netra indah itu masih tertutup dan akan selamanya begitu setelah ini.

"kepada semesta..Terima kasih untuk waktu sebelas tahunnya." hatinya sesak ketika mengatakan itu, namun wajahnya tetap setenang malam yang menyimpan beribu luka "Badai pergi.."


To be continued

*

 BAADAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang