6

938 65 3
                                    

Matahari mulai terbenam, sang Bulan mulai menggantikan. Tak terasa 1 bulan telah berlalu.

Hidup Arga tenang² saja tanpa ada gangguan dari mantan keluarganya. Untuk informasi tentang hama dikeluarganya itu sudah ia terima beberapa minggu yang lalu dari Vano. Ia cukup puas melihat semua latar belakang si Fauna.

Dan disinilah dia sekarang, di dalam kamar bergelumun di dalam selimut. Tubuhnya benar-benar lelah. Pokoknya 5 L deh. Lemah, letih, lelah, lesuh, lapar. Hayooo siapa yang berharap diucapin lop yuuu, ahaha.

Iya, Arga lapar. Ia malas bergerak karena memang tubuhnya lelah. Bukannya gak punya uang ya. Duit Arga tuh banyak tapi dianya aja yang mager.

Ting...

Arga melirik sekilas benda pipih yang ia letakkan di atas nakas. Lalu kembali menutup matanya.

Notif itu berisikan pesan 'nantikan aku'. Arga sudah mendapat notif itu beberapa kali sebelumnya. Ahh, itu membuatnya muak. Ia bisa saja mencari info tentang nomor tak di kenal itu tapi sekali lagi dia tu 'mager'.

Ia bangun dari acara rebahannya dan mulai melangkahkan kakinya beranjak meninggalkan tempat ternyaman itu. Dengan langkah malas ia menuruni satu persatu anak tangga. Menuju dapur untuk melihat isi kulkas. Siapa tau ada snack gitu kan.

Belum sampai ia di dapur, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang.

Tok tok tok...

Arga berjalan menuju pintu depan untuk melihat siapakah orang yang mengusik ketenangannya ini. Mana udah mau gelap, orang mana yang mau bertamu di hari yang hampir gelap ini?.

Cklek

Pintu terbuka menampilkan seonggok manusia dengan wajah sembab dan hidung yang memerah. Anehnya ia membawa tas sandang yang besar dan terlihat berat. Apa anak ini diusir? Atau kabur dari rumahnya?.
Arga menatap aneh makhluk didepannya lalu berniat menutup pintu.

"Bang..." lirihnya membuat Arga menghentikan pergerakannya.

"Gw boleh numpang disini dulu gak bang?" Tanyanya pelan, suara tuyul itu sedikit bergetar menahan tangisnya.

"Ini bukan tempat pengungsian" balas Arga malas. Ia melirik penampilan Randa dari ujung rambut sampai ujung kaki... berantakan. Itu kesan yang dapat Arga simpulkan.

Tanpa menunggu balasan dari si Randa, Arga kembali masuk kedalam tanpa menutup pintunya. "Masuk, tutup pintunya" titah Arga. Randa mendongakkan kepalanya lalu tersenyum kikuk kemudian berlalu masuk kedalam.

...

"Kenapa?" Arga menatap anak itu kesal. Pasalnya ia tak jadi makan karena makanan yang ada di kulkas sudah busuk dan tidak ada snack sama sekali di dalamnya. Entah kenapa melihat wajah monyet Randa membuatnya semakin jengkel. Di tambah lagi Randa yang menginap di rumahnya.

Haiss...

"Gelud tadi" cicit Randa pelan. Takut dia tuh, dia sama sekali tak menatap manik tajam Arga. Randa semakin menundukkan kepalanya kala AC gratis mulai datang. Auranya sangat mengintimidasi

"Siapa?" Tanya Arga dingin. Penampilan Randa memang benar-benar kacau. Rambut kayak abis di jambak, di pelipis matanya terlihat sobekan kecil di tambah lagi pakaiannya yang kusut. Kaya gembel pikir Arga.

"Ulva" balas Randa seadanya. Arga meraup wajahnya kasar. Tak habis pikir dengan Randa yang selalu mencari masalah dengan adik nya itu.

Yahh, Ulva gerandanyia dereshta. Adik bungsunya yang sama-sama barbar kayak Hara. Memang 11 12 udah tuh mereka bedua. Pantes aja si Randa jadi kayak gelandangan gini pikir Arga.

ARENA [Brothership]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang