02. Rama Alvaro Putra

215 11 0
                                    


Hari itu hujan deras menyertai kelahiran Rama. Bayi yang tidak berdosa itu disalah-salahan karena lahir lebih awal dari perkiraan. Ayahnya mengalami kecelakaan ketika ingin mendatanginya ke Rumah Sakit, syukurnya beliau tak mengalami luka yang parah, hanya saja, Putra Sulungnya sempat melakukan operasi di bagian kepalanya. Untung saja operasi berjalan amat lancar, dan tak ada keluhan setelahnya. Namun, justru keluhan harus serta merta dikatakan sebagai ucapan alih-alih selamat datang ke dunia yang kejam ini untuk Rama.

Dia lahir prematur, sang Ibu melahirkan secara sesar. Iya, Nyonya Alvaro terjatuh saat berada di kamar mandi pagi tadi, sehingga beliau diharuskan melahirkan tepat pada saat itu juga. Ditambah lagi, beliau yang tak keluar asi, membuat Rama semakin tak diperhatikan.

Orang tuanya yang sibuk bekerja pun, sepulangnya tak pernah Rama jumpai, karena mereka pulang begitu larut. Paginya pun hanya bertegur sapa di meja makan, tanpa peduli menanyai keadaan sekolah maupun dirinya sama sekali.

Rama haus akan kasih sayang sungguh!

Rama sejak kecil diasuh oleh pelayannya, bahkan ia berbagi asi dengan anak dari pelayan tersebut. Iya, anak dari pelayan tersebut tak lain dan tak bukan adalah Airi Niskala Putri.

"Apa-apaan ini?! Kamu ada masalah apa huh?! Apa kamu nggak kasian ama Papah dan Mamah yang sibuk kerja, terus kamu suguhin surat dari sekolahan?! Sebenernya kamu kurang apalagi sih sampai-sampai buat onar di sekolah?!"

Plak!

Di usianya yang menginjak tiga belas tahun kala itu, Rama berubah total. Dia bukanlah Rama Alvaro Putra yang dulu. Yang nurut. Yang rajin. Yang penyabar. Yang pandai. Usianya ketiga belas tahun dan seterusnya sampai saat ini : tujuh belas tahun, dia adalah Rama yang tidak tahu tata tertib, sopan santun serta ugal-ugalan.

"Rama cuman pengen Mamah sama Papah perhatiin aku juga. Aku anak kalian, kan ...,"

Plak!

Permintaannya saat itu hanya dibalas tamparan yang kesekian kalinya, dan tentunya diceramahi supaya bisa seperti kakaknya, yang kini telah menjadi pengusaha sukses di usia muda.

Hampir setiap harinya, Rama bertengkar dengan ayahnya, karena terpergok pulang lewat tengah malam. Rama yang tidak kapok, dan juga ayahnya yang tidak mau mendengar penjelasan Rama barangkali sepatah kata pun. Ibunya pun hanya bisa menyindir Rama, bukannya melindungi.

"Kamu apakan anak teman papah, huh?!" Teriak Jodi dari lantai dua, setelah Rama baru saja membuka pintu utama rumahnya. Rama menghela napas berat, dia hanya melirik ayahnya sekilas, lalu berjalan menuju kamarnya yang memang di lantai satu, tanpa memedulikan ayahnya yang sudah seperti Singa yang sudah siap menerkam mangsanya.

Merasa diabaikan, Jodi pun turun. Berjalan penuh murka, yang tanpa ba bi bu menendang pintu kamar Rama, dimana si pemilik kamar baru saja merebahkan dirinya di atas ranjang. Jodi berdecih, melihat Rama yang bahkan belum berganti pakaian, namun sudah ingin tidur saja. "Sopan santun kamu emang udah lenyap, ya! Bagus! Bagus!" Sinis Jodi, namun diabaikan Rama. Dia malah berganti posisi tidur membelakangi Jodi. "Lagian Rama nggak pernah diajarin sopan santun sama papah, kan." Gerutu Rama membuat Jodi semakin murka. Jodi membuka sabuk celananya, dan tanpa basa basi lagi, dia mencambuki Rama tanpa ampun.

Rama memekik keras sehingga ia bangkit dari posisinya, tubuhnya yang lelah membuatnya luruh ke lantai. "P-pah. Sakit!" Pekiknya yang tak dipedulikan Jodi. Suara cambukan yang begitu nyaring, membuat istri dan Putra sulungnya terbangun, dan turut turun. Menyaksikan penyiksaan yang dilakukan Jodi tengah malam ini. Panji si Putra sulung ingin merelai perbuatan Jodi, namun ditahan oleh ibunya, "biarin dulu. Ini termasuk pelajaran buat kamu juga, supaya jangan sampe kamu kayak si Rama."

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Rama terbatuk-batuk, bahkan napasnya terdengar begitu tersengal. Jodi yang sudah seperti hilang akan kesadarannya pun, langsung menarik kerah belakang baju Rama, menyeretnya untuk ikut masuk ke dalam kamar mandi, membuat Rama yang masih belum bisa mengatur napasnya semakin sesak. Sesampainya di kamar mandi, Rama tak diberi jeda, Jodi menenggelamkan kepala Rama ke dalam bathtup yang penuh akan air. Menarik dan mencelupkannya tanpa ampun. Dilakukannya sudah cukup lama, Rama yang kewalahan pun akhirnya tak sadarkan diri. Jodi menghentikan aksinya. "Lain kali, jangan permaluin papah lagi!" Bentaknya lalu pergi meninggalkan Rama yang kini tergeletak di lantai kamar mandi.

Panji masuk ke dalam kamar mandi setelah memastikan ayah dan ibunya kembali naik ke lantai dua. Dia mendekati Rama yang tak berkutik sedikitpun. "Astagfirullah," Panji sampai menyebut saking terkejutnya melihat luka Rama yang sudah ada dimana-mana. "Ma, bangun. Ganti baju dulu terus pindah ke ranjang," titahnya yang tak digubris. Panji pun merubah posisi tubuh Rama menjadi terlentang--deh!  Panji mulai panik sesaat melihat bibir Rama yang membiru, diperiksanya pernapasan Rama, yang lagi-lagi membuatnya makin terkejut sampai membuatnya melotot. "Rama jangan bercanda!" Bentak Panji sembari tangannya yang kini memeriksa suhu tubub Rama yang mendingin.

Tes ....

Tak kuasa Panji menangis lalu berteriak sekencang mungkin. "Papah! Mamah! Rama udah nggak ada napas!"

***

Airi serta kedua orang tuanya kalang kabut mendapat kabar Rama yang dilarikan ke Rumah Sakit. Ia akhirnya berlari, meninggalkan kedua orang tuanya yang berjalan tergopoh di belakang. Airi bahkan menangis sepanjang perjalanan. Sesampainya di UGD, Airi mendapati Panji yang terduduk di ruang tunggu, sementara orang tuanya, mereka dipanggil ke ruangan dokter untuk menjelaskan keadaan Rama. "Kak Panji." Panggil Airi membuyarkan kepanikan Panji yang masih menjalar. Bahkan kuku ibu jari kanannya sudah habis Panji gerogoti. "Gimana Rama, Kak?" Tanya Airi sembari mengusap air matanya.

Tap!

Panji memegangi kedua bahu Airi dan menatapnya lekat. "Lo tau kan kalo Rama sakit selama ini?"

Deg!

Kali ini Airi yang terkejut, spontan ia langsung menepis kedua tangan Panji. "Serius lo baru tau?!"

Keduanya sama terkejut.

"Gue kira lo tau selama ini Rama sakit."

Panji menggelengkan kepalanya keras dengan mimik penyesalan yang luar biasa. "G-gue nggak tau. Selama ini gue kira Rama baik-baik ajah. Dia nggak pernah ngeluh apa pun."

Hati Airi sakit bukan main, air matanya kembali luruh. Dia mengalihkan pandangannya. Menatap pintu UGD yang tertutup rapat, hatinya makin dicabik-cabik ketika pintu yang tadinya tertutup rapat itu terbuka, menampilkan beberapa perawat dan seorang Dokter yang tengah mendorong ranjang pasien, dimana pasien itu sudah ditutupi oleh kain putih. "R-rama ...."

Rumah untuk pulang || JIN-LISA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang