05. Alasan

118 11 0
                                    

"Abisin buburnya!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Abisin buburnya!"

Rama hanya bisa menurut. Baginya saat ini, diam adalah hal yang paling baik. Airi sangat menakutkan kalau sudah murka.

"Abisin juga minumnya!"

Rama hanya menganggukan kepalanya takut dengan pandangannya yang selalu ia tundukkan

"Buahnya juga. Pokoknya nggak boleh ada sisa!"

Rama kembali mengangguk.

Wajah Airi memerah. Bukan karena marah atau pun apa?!

Sejak tiga hari yang lalu, dia tidak henti-hentinya menangisi Rama yang tak sadarkan diri. Ketambahan dia juga yang baru tahu, kalau lelakinya ini tengah sakit parah. Dan yang membuatnya paling marah, dia bahkan menyembunyikan fakta ini dari semua orang tanpa terkecuali.

Airi merasa kecewa.

Sungguh!

Airi pikir, kalau dirinya istimewa.

"Ri ..., lo nggak bilang--"

"Nggak tenang ajah. Gue bilang ke Ibu ama Ayah juga, kalo kita lagi camping." Potongnya, dan Rama kembali bungkam.

Dirasa sudah tak bisa menelan lagi, Rama pun mendorong sendok yang akan Airi sodorkan. Rama menggelengkan kepalanya, isyarat dia sudah tidak sanggup lagi. "Jangan manja! Lo tuh harus sembuh, jadi ayo makan lagi!" Kesal Airi, yang sungguh bukanya ia ingin memaksa. Hanya saja, dia masih kesal perihal penyakit Rama yang dirahasiakan darinya. Detik itu juga tubuh Rama reflek menyamping, dan memuntahkan semua yang tadi ia telan sambil terbatuk-batuk. Suara menginya bahkan sudah menggelar kemana-mana.

Airi terkejut bukan main. Rasa bersalah nan khawatir tercampur aduk. Dia pun menekan tombol darurat yang tak lama, pun perawat dan dokter berdatangan.

Rama secepatnya dibaringkan lalu diperiksa sedemikian rupa. Airi mau tidak mau menjauh. Dan tak terasa, air matanya sudah jatuh lagi saja. Rama dipasangi nasal oksigen di hidungnya, cairan infusnya disuntikkan obat penenang, dan mereka membicarakan hal-hal yang tak dipahami Airi. Cukup lama berlangsung, Rama pun akhirnya tertidur. Dokter dan perawat pun sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Airi kembali mendekat, lalu ia posisikan terduduk di kursi dekat ranjang Rama. Ia ambil tangan Rama yang tak berimpus, lalu ia kecup punggung tangannya cukup lama. "Jangan buat gue takut sih, Ma. Gue nggak bisa kalo nggak ada elo," isaknya.

"Gue belum mati, Ri. Tenang ajah,"

Airi terkesiap.

Rumah untuk pulang || JIN-LISA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang