Hal pertama yang Eric lihat ketika membuka mata adalah wajah damai Hyunjae saat terlelap. Pemuda manis itu mengerjap pelan, cahaya temaram menembus kaca guna menyapa wajah rupawan milik Hyunjae. Tidak. Mereka tidak satu ranjang, kelihatannya pemuda yang lebih tua tersebut menarik kursi lebih dekat supaya mereka sebelahan.
Dari jarak setipis ini Eric menyadari bila Hyunjae memang setampan seperti yang orang-orang elukan. Kulitnya seputih susu, alisnya terbentuk sempurna bersama sepasang mata indahnya yang jernih. Bulu matanya lentik sampai-sampai Eric membayangkan pemuda di hadapannya ini sebagai perempuan.
Sudah pasti akan sangat cantik, bukan?
Orang lain harus tahu bila Hyunjae tersenyum lebar, pemuda itu terlihat menggemaskan. Maniknya memancarkan kilauan layaknya permata dengan kekehan hangat yang mengalun merdu. Namun sayang, semenjak meninggalnya sang bunda dua tahun lalu, Hyunjae perlahan melupakan sisinya yang seperti itu.
Mengalaskan kepala dengan satu lipatan tangannya, tangan Eric terulur untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahi sampai mata Hyunjae. Pemuda itu tersenyum simpul, terkekeh geli ketika Hyunjae meracau tak jelas dalam tidurnya.
Bohong besar bila Eric bilang ia sepenuhnya membenci pemuda serupa matahari ini. Nyatanya ia masih dan akan terus jatuh menyelami netra hangat yang selalu berpendar rindu memandangnya. Eric juga tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari jika Hyunjae melakukan banyak cara agar mereka sekurangnya melakukan konservasi dari hati ke hati.
Sulit bagi Eric untuk menutup mata begitu saja bila tatkala ia melihat Hyunjae, sebab realita selalu menghantam dirinya. Seolah berkata pahit, "Pemuda itu seseorang yang seharusnya kamu hormati, bukan kamu cintai."
Eric tiba-tiba saja rindu pergi melalang buana setelah pulang sekolah dan menghabiskan sore menyantap makanan di alun-alun kota. Rindu sekali saat Hyunjae mulai melemparkan godaan guna melihat semburat merah muda pada pipinya. Rindu dengan tindakan-tindakan kecil namun membuat Eric merasa spesial.
Hatinya terus menuju Hyunjae sebanyak apapun usaha yang sudah si manis lakukan untuk melupakan sang kakak kelas. Seakan-akan hanya ada Hyunjae laki-laki di dunia ini. Sebanyak Hyunjae ingin memberi, Eric juga ingin membalasnya akan tetapi kenyataan terus menjadi dinding penghalang.
Mungkin cuma Eric yang belum mampu menerima kenyataan, sementara diam-diam tanpa si manis ketahui Hyunjae juga ikut merasakan perih.
"Kak, kamu tau gak, sih?" Eric membuka mulutnya, kekehan hambar mengudara lirih. "Setiap aku nangis, aku selalu inget kakak. Kakak 'kan pernah bilang, 'Er, kalau kamu nangis inget kakak aja, ya? Kakak emang bukan jin lampu tapi seenggaknya kakak bisa bikin mood kamu membaik'. Sayangnya setiap inget kak Jae, aku ngerasa... sakit dan kangen disaat yang bersamaan." Pemuda manis itu menarik napas, penglihatannya mulai mengabur sebab air mata sudah menumpuk di pelupuk.
"Kak, kamu inget gak waktu kita makan seblak di dekat perempatan lampu merah? Kak Jae gegayaan banget makan level tertinggi sampai akhirnya bolak-balik WC, padahal aku cuman iseng bercandain kalau orang yang gak bisa makan pedas itu cemen. Sumpah! Muka kakak melas banget, haha. Aku ketawa mulu kalau ingetnya. Lain kali jangan mau tersakiti cuma untuk ngebuat aku seneng. Jangan, ya, kak?"
Eric semata-mata cuma mampu seperti ini, mengeluarkan isi hatinya pada orang yang tertidur nyenyak di sampingnya. Dadanya perlahan sesak, genangan air matanya jatuh satu persatu akan tetapi Eric masih mencoba tersenyum. Tangan satunya yang terpasang selang infus bergerak menyusuri wajah damai Hyunjae dengan perlahan.
"Kakak jangan kayak gitu lagi. Jangan stuck di aku. Jangan mikirin aku terus. Jangan nunggu aku. Jangan ngeliatin aku dengan tatapan sendu itu, kak. Astaga—aku ikutan sakit ngeliatnya. Aku selalu pengen lari ke arah kak Jae tapi nggak bisa. Otak aku nahan aku supaya aku berhenti berharap lebih. Kak Jae... aku nggak mau kakak ngerasain pahitnya penantian dalam harapan. Kakak itu cinta pertama aku. Kakak yang ngajarin apa itu rasanya berbunga-bunga pas kakak bilang kalau kamu suka aku. Semua perlakuan istimewa yang kakak kasih ke aku bikin aku melambungkan harapan terlalu tinggi. Sampai aku lupa, setiap cinta ada rasa sakit dan sialnya aku nggak bisa memaklumi yang satu ini," papar Eric kelewat berat, mati-matian Eric menahan isakan tangisnya. Menahan pahitnya dalam sebuah hubungan abu mereka.
"Kakak juga ngajarin aku rasa sakit. Seharusnya pas aku minjem semua novel romansa kak Cani, aku bisa lebih bijak menyikapi rasa patah hati kayak gini. Tapi faktanya aku kesusahan. Aku kesulitan buat nerima kalau aku sama kak Jae sekarang udah gak bisa jadi sepasang kekasih lagi."
Pandangan pemuda manis itu turun, isakannya mencicit lirih agar Hyunjae tak bangun dari tidurnya. Denyutan panas dari pergelangan kaki akibat luka sukses teralih dengan rasa cekikan di leher, Eric kesulitan mengais oksigen dengan hidung memerah seperti itu.
"Kak, aku mau nyerah."
Napas Eric makin memberat dengan tangan masih bermain-main pada garis rahang yang lebih tua.
"Aku nggak ngelakuin apa-apa tapi rasanya capek banget. Aku... aku terlalu sayang sama kakak, tapi kata kak Juyeon sama Sunwoo hubungan kita udah nggak ada harapan lagi. Kak Jae, aku—eh?"
Tubuh Eric membeku seiring bola matanya yang membulat sempurna saat sepasang lengan menelusup masuk guna memeluknya. Hyunjae—yang tanpa Eric sadari sudah beranjak dari kursi dan kini merebahkan diri tepat di sebelahnya—beringsut mendekat dan membiarkan wajahnya menelusuri perpotongan leher si manis. Hyunjae dengar semuanya dengan baik. Pelukannya semakin menguat seolah Eric akan kabur begitu ia longgarkan sedikit saja.
"Kak—"
"Dari dulu sampai sekarang, cuman ada satu tujuan, Er. Cuma Eric satu-satunya orang yang bisa ngebuat kakak berubah drastis. Cuma Eric yang bikin kakak kangen dan gila disaat yang bersamaan karena cuma bisa liat dia tapi nggak bisa digapai. Cuma Eric, Er, cuma kamu. Nggak bisa dan gak akan pernah ada yang lain," jelas Hyunjae, dahinya menumpu pada bahu si manis sebelum menghirup dalam-dalam aroma khas milik Eric.
Hyunjae menyatukan tangannya di balik punggung Eric dan beralih mengecup rahang si manis dengan lembut. "Eric, please, don't give up. Aku beneran gak tahu harus apa kalau kamu beneran milih menyerah. Me too, kamu juga cinta pertama kakak yang mau kakak pertahanin sampai akhir. Jadi tolong, jangan menyerah." Pemuda tersebut semakin menipiskan jarak antara mereka, tangannya memeluk pinggang Eric kelewat posesif.
"Jangan juga dengerin kata orang lain tentang hubungan kita, sebab nggak ada yang pasti di dunia ini. Siapa tahu mama sama ayah bakal setuju kita tetap melanjutkan kisah yang sempat tertunda ini?" Hyunjae melonggarkan pelukannya, mensejalurkan pandangan antara keduanya. "Hubungan kita masih ada harapan, Eric. Pegang kata-kata kakak, kalau kita pasti bisa kembali lagi seperti dulu. Jadi, jangan nyerah dulu, ya?"
"Kak, tapi—"
Hyunjae langsung mengecup bibir pucat Eric begitu dirasa pemuda manis itu hendak melontarkan sanggahan. "Nggak ada tapi-tapian, ya, Sayang. Kamu cukup cepat sembuh, keluar dari rumah sakit, dan nurut sama apa yang kakak bilang. Oke?"
Eric meragu. Hyunjae hafal dan tahu betul arti dari tatapan yang terkasihnya itu berikan. Namun, alih-alih semakin meyakinkan si manis, Hyunjae lebih memilih untuk kembali memajukan wajahnya. Kedua mata Eric melebar. Sebab kali ini bukan kecupan sekilas seperti tadi yang ia terima, melainkan ciuman lembut dengan waktu lebih lama.
Tangan Eric meremas kemeja yang Hyunjae kenakan kala dirasa ciuman keduanya semakin dalam dan intim. Pemuda manis itu mulai kehabisan nafas, terbukti dari tepukan yang Hyunjae terima pada bahunya berkali-kali.
Lantas, begitu yang lebih tua menjauhkan diri kembali, Eric segera mengambil nafas dalam-dalam sebelum berucap,
"Iya, kakak sayang. Ayo kita perjuangkan kisah kita."
*****
18 Desember, 2023well... hello?
KAMU SEDANG MEMBACA
about us | tbz.
FanfictionTentang kita, kumpulan dari beberapa individu yang masih terlampau labil. oneshoot collection, © tinybs, 2020