Eric terjaga lagi untuk kesekian kalinya. Tidur panjang menuju fajarnya tidak kesampaian, sepertinya harus ia tunda dahulu. Tangannya beralih mencengkram dadanya yang terbalut kaus tipis putih, dengan perasaan gundah Eric mengerang.
Rasanya sesak.
Terlilit.
Terhimpit, saling berdesakan dalam dadanya. Bahkan untuk mengambil nafas saja, Eric kesulitan. Setitik cairan bening menetes, lalu menyusul aliran layaknya sungai kecil menuruni kedua pipi pucatnya.
Ia memasukkan jemarinya ke tenggorokan, hendak mengeluarkan sesuatu yang bersarang di tubuhnya, lebih tepat di paru-parunya, tumbuh dan kian hari semakin tumbuh. Eric memuntahkan sesuatu di dadanya yang membuat dirinya seakan ditempa besi pelana.
Kelopak mawar putih keluar dari mulutnya, beserta darah segar menghiasi kelopak tersebut. Ia terbatuk sekali lagi, lagi, dan lagi. Kemudian makin banyak bunga yang keluar dari rongga mulutnya, bersarang di paru-parunya.
Setangkai bunga utuh, berukuran kecil, bernamakan baby breath ikut keluar setelahnya. Eric tersenyum lemah, bersamaan dengan air matanya mengering.
Rasanya ingin mati.
—
Eric Sohn, pemuda penyuka sereal itu terlihat tengah menyirami kebun bunga di depan rumahnya begitu seorang pemuda lainnya melintas. Eric tidak sadar jika orang itu sudah menghentikan kayuhan sepedanya, menggerakkan tungkai memasuki toko bunga disebelah rumah Eric.
"Selamat pagi, Eric," sapa pemuda itu ramah yang membuat pandangan pemuda Sohn itu teralih.
Kedua pipi pucat Eric memerah, tanpa sadar ia mengalihkan pandangan akibat tak kuat untuk terus bertatap muka dengan pemilik marga Lee itu. "Pagi juga, kak Juyeon. Ingin memesan bunga kesukaan kakak?" balas Eric sembari menghalau perasaan senangnya karena barusaja disapa sang pujaan hati.
Pemuda itu, Juyeon terlihat mengguratkan senyum manisnya. "Tentu saja, sebuket baby breath untuk kesayanganku."
Dada Eric kembali terasa sesak. Mendengar suara Juyeon memang membuatnya damai, tapi begitu sang Lee menyebutkan kata 'kesayangan' tentu Eric sadar itu bukan untuknya. Ia mencengkram kausnya, merasakan perasaan sesak pada paru-parunya.
"Se–sebentar, ya, kak." Eric segera berbalik, memasuki rumah dengan taman bunga mengelilinginya.
Pemuda itu beralih menuju kamar mandi, kembali memuntahkan beberapa kelopak putih beserta darah segar dari tubuhnya. Lantas ia cepat-cepat membasuh wajahnya, tak ingin membuat sang pujaan menunggu terlalu lama di luar.
Dengan sedikit tertatih, Eric menggerakkan tungkainya mendekati Juyeon, di tangannya sudah terdapat sebuket bunga pesanan Juyeon. Masih enggan mempertemukan manik berlensa miliknya dengan manik hitam legam milik Juyeon, Eric mengulurkan tangannya.
"Ini, kak. Masih segar, seperti hubungan kakak dengan kak Hyunjae." Eric berujar pahit, meski nafasnya kini mulai susah.
Juyeon tersenyum semakin lebar, lantas setelah ia membayar dan menerima bunga tersebut, tangan besarnya menepuk pucuk kepala Eric. Sebelum akhirnya berucap terimakasih dengan nada lembut, seperti biasanya. Lantas tubuh tegapnya berbalik, keluar dari toko bunga tersebut. Meninggalkan sang empunya toko seorang diri yang menyentuh dadanya.
Meski Juyeon memandang Hyunjae, melihat ke arah lain daripada tempatnya yang senantiasa sama. Namun Eric rasa, taman bunga di dadanya malah semakin mekar dengan indahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
about us | tbz.
FanfictionTentang kita, kumpulan dari beberapa individu yang masih terlampau labil. oneshoot collection, © tinybs, 2020