12

25 19 2
                                    

"Hidup adalah pertarungan, dan keberanian adalah senjata kita untuk menghadapi kenyataan."

ִ ֹ ─── 𐘃 ─── ۫ ۪

Sambil beristirahat di dalam hutan yang lebat, para prajurit Pasukan Khusus tetap waspada. Mata mereka terus memantau sekeliling, siap merespons setiap ancaman yang mungkin muncul. Suara langkah kaki, suara angin, dan desiran daun terdengar.

"Matilda! Emilia!" sapa Eve dengan senyum lebarnya, saat melihat mereka berdua berjalan mendekatinya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Matilda pada Eve dengan ekspresi khawatir.

"Tentu saja, aku hanya sedikit cedera," jawab Eve.

"Bagaimana dengan kalian kalian berdua?" lanjutnya.

"Kami baik-baik saja. Sama sepertimu, hanya sedikit terluka," balas Emilia.

Pada saat yang sama, beberapa prajurit mulai memperbaiki peralatan dan senjata mereka yang rusak selama pertempuran sebelumnya. Suasana hutan memberikan nuansa ketenangan.

Saat Nicho sedang berkumpul dengan Arthur, Nathan, dan John, dia menyadari ini adalah saat-saat yang dapat dia gunakan untuk berterimakasih pada senior yang telah menyelamatkannya tadi.

"Teman-teman, aku akan kembali kesini sebentar lagi," pamitnya sebelum berjalan menjauh dari mereka bertiga dan mencari senior itu.

"Ada-ada saja, memangnya apa yang akan dia lakukan?" kata Arthur.

"Entahlah," sahut John.

Setelah beberapa menit berjalan di antara para prajurit yang sedang beristirahat, Nicho menemukan seseorang yang mirip dengan senior yang menyelamatkannya.

"Tak salah lagi. Tinggi, berambut coklat gelap, dan ... cukup tampan," batinnya.

Nicho mendekati lelaki yang sedang berdiri dengan tangan menyilang di bawah dada dan sedang bersandar pada batang pohon.

Nicho berada di depan lelaki itu dan sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. "Hai?"

"Ada apa, anggota baru?"

"Terima kasih telah menyelamatkanku," balas Nicho.

Awalnya, senior itu bingung, untuk apa Nicho berterimakasih? Ternyata, setelah dia mengingat wajah Nicho, dia tahu Nicho adalah anggota baru yang dia selamatkan tadi. "Tidak masalah. Siapa namamu?"

"Nicho."

Senior itu mengulurkan tangan. "Bastien."

Nicho menjabat tangannya.

"Lain kali jika ada monster itu jangan takut lagi sampai membeku ditempat seperti tadi, dasar penakut," canda Bastien sebelum terkekeh pelan.

"Aku bukan penakut, tahu!" jelas Nicho, berusaha melindungi harga dirinya.

"Baiklah, lalu, tadi mengapa kamu membeku ditempat dan tidak melakukan apa-apa? Harusnya kamu melompat dan menusuk matanya," ujar Bastien sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.

Nicho tersenyum gugup. "Ah ... aku hanya ... sedang bingung," jawabnya.

"Apakah kamu benar-benar bingung? Itu hanya alasan, bukan?"

Tiba-tiba, seseorang menyela obrolan mereka. "Hey Nicho, hati-hati, ya!" potong Marcel.

Marcel berjalan mendekati Nicho dan berbisik di telinganya. "Dia suka laki-laki. Siapa tahu nanti kamu diminta menjadi kekasihnya"

Nicho terkejut dengan opini Marcel. "A-apa?"

"Hey itu tidak benar! Marcel hanya mengarang cerita," cibir Bastien. Tangannya melayang ke atah Marcel seakan hendak memukulnya.

"Terserah, aku hanya mengingatkanmu, Nicho. Aku pergi dulu," pamit Marcel.

Marcel berjalan menjauh dari Nicho dan Bastien. Dia menuju ke tempat dimana teman-temannya yang berada di barisan garda depan berkumpul. Tak lama, dia sampai ke tempat itu, beberapa temannya sedang duduk di tanah sambil mengobati luka mereka.

"Yo! Semuanya baik-baik saja?" tanya Marcel.

"Kami merasa lebih baik pada saat ini. Namun, tubuhku masih terasa sakit, dasar monster sialan," jawab Ruth.

"Wajar jika tubuhmu merasa sakit. Luka mu cukup banyak," ucap Marcel sambil menatap bagian tubuh Ruth yang diperban.

Di sisi lain hutan, Mirko dan Frederick sedang mengobrol. Namun, tidak seperti prajurit lain yang membicarakan topik ringan, mereka membahas hal yang cukup penting.

Mereka sedang berdiri berhadap-hadapan.

"Apa maksud semua ini sebenarnya? Kawasan penyihir menjadi hancur. Ini semua aneh, kan?" ujar Mirko.

"Aneh, sangat aneh. Aku merasa ada yang janggal," jawab Frederick.

"Apa arti dari semua ini sebenarnya? Kita harus mengungkap kebenaran."

Tiba-tiba, Bayangan monster muncul dari balik pepohonan yang lebat, menggetarkan ketenangan hutan. Para prajurit yang sedang beristirahat langsung berdiri tegak, menghadapi ancaman. Suara gemuruh dan langkah kaki berat monster membuat detak jantung mereka berdebar-debar.

"Semuanya! Bersiap!" perintah Mirko.

Mereka segera bersiap untuk melawan, siap menghadapi ancaman yang kembali menguji keberanian mereka di dalam hutan yang gelap dan misterius.

Monster itu meloncat keluar dari semak-semak dan hendak menyerang Frederick, meraung dengan gigi tajam dan cakar yang mengancam.

Dalam sekejap, Matilda dan Emilia beraksi dengan lincahnya. Pedang Matilda bersinar saat melintasi udara, menyapu bagian samping tubuh monster dengan keahlian yang memukau. Serentak, panggilan Matilda memandu Eve, "EVE! SERANG MATANYA!" jeritnya.

Eve berlari ke depan monster itu, meloncat dengan lincah, pedangnya menyambar udara, dan dengan satu tusukan yang akurat, salah satu mata monster berhasil ditusuk. Frederick turut berkontribusi, menyempurnakan serangan dengan menusuk mata lainnya. Sehingga, monster itu terguling. Setelah itu, mereka berdua mendarat dengan sempurna di tanah.

Kegiatan ini memunculkan suara gemuruh dari monster yang terjatuh. Para prajurit lainnya segera memanfaatkan kesempatan ini dan menyerang bagian tubuh monster yang terbuka. Serangan pedang terarah dengan presisi ke titik-titik lemah monster tersebut.

"Kita harus kembali, sebelum ada monster lainnya yang menyerang," ujar Mirko.

ִ ֹ ─── 𐘃 ─── ۫ ۪

Prajurit-pajurit yang telah melalui pertempuran itu bersiap untuk kembali ke dalam tembok. Mata mereka penuh dengan kelelahan dan luka-luka yang dialami selama ekspedisi, tetapi juga dipenuhi dengan semangat dan keberanian.

Ketika prajurit-pajurit kembali ke dalam tembok, terlihat perbedaan kondisi di antara mereka. Beberapa yang masih cukup kuat menunggangi kuda dengan gagah, sementara yang mengalami luka-luka yang cukup parah harus menaiki gerobak yang ditarik kuda, diawaki oleh rekan prajurit yang masih mampu bertempur. Meskipun fisik mereka terkoyak-koyak, semangat untuk melindungi Adarlan tetap membara di dalam hati mereka.

Perasaan Mirko sebagai pemimpin Pasukan Khusus, sangat bangga dan senang. Bagaimana tidak? Dalam ekspedisi ini, tidak ada satupun nyawa yang hilang. Mirko benar-benar bersyukur tentang hal ini. Dia merasa telah memenuhi tanggung jawan sebagai pemimpin yang menjaga prajuritnya.

Warga-warga di tepi tembok berkumpul, membentuk lorong untuk prajurit-prajurit yang kembali dari ekspedisi. Mereka memberi hormat dengan tatapan tulus yang penuh terima kasih, merayakan kepahlawanan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh pasukan tersebut.

Dalam sorakan warga, prajurit-pajurit itu melangkah pulang dengan kepala tegak, membawa pengalaman dan keberanian dari ekspedisi mereka. Di antara rasa syukur warga, terasa kehangatan persatuan yang tumbuh dalam perjuangan mereka.

Terlihat sekelompok anak kecil yang di tengah kerumunan.

"Mereka hebat ya!"

"Mereka adalah pahlawan sesungguhnya, tahu!"

"Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi pahlawan seperti mereka."

Dendam Eve Pada Penyihir [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang