20

25 16 3
                                    

"Setiap luka adalah tanda keberanian. Biarkan cerita kita menjadi pelajaran bahwa bahkan dalam kegelapan, cahaya keberanian tak akan padam."

ִ ֹ ─── 𐘃 ─── ۫ ۪

Di ruangan kamar tidur yang terlihat kuno, seorang gadis kecil dan wanita tua duduk bersama di atas kasur. Wanita tua dengan kerut di wajahnya dan mata yang penuh pengalaman mulai menceritakan ramalan yang mengerikan, suaranya meminjam nuansa seram dari suasana kamar yang penuh dengan barang-barang kuno.

"Ceritakan sebuah ramalan lagi! Nenek!" seru gadis kecil itu sambil memasang wajah penuh harapan.

"Kali ini ramalan yang mengerikan, Yve," jawab wanita tua itu.

"Nenek membaca ini dari salah satu buku ilegal. Ini terjadi pada tahun 911. Nanti, akan ada makhluk mengerikan yang akan menyerang umat manusia yang berada di dalam tembok Pulau Avalon."

Yve mendengarkan dengan mata yang membesar, terpaku pada kata-kata yang menggambarkan takdir yang suram. Atmosfer kamar terasa terisi dengan kehadiran ramalan yang menggantung di udara, menciptakan ketegangan di ruangan yang seakan menyimpan rahasia zaman.

"Mengapa itu bisa terjadi, Nek?" tanya Yve.

Hening.

Arthur tiba-tiba mendapati dirinya berada di tempat yang hanya didominasi oleh warna putih, tanpa ada yang lain. Seakan-akan ia terlempar ke dalam dunia tak berujung yang penuh dengan kecerahan putih yang bersih. Langkahnya terdengar seperti gema di tempat yang sunyi, dan bayangan dirinya menciptakan kontras mencolok di latar belakang yang tak berujung ini. Keadaan yang tidak dikenal dan kesunyian menciptakan perasaan kebingungan di hatinya, sementara ia mencoba memahami tempat yang misterius ini.

Dari keheningan warna putih yang memenuhi tempat itu, muncul seorang wanita misterius. Langkahnya lembut dan tanpa suara, seolah-olah ia tiba dari dimensi yang berbeda. Sorot matanya penuh dengan kebijaksanaan dan pengetahuan, seolah-olah membaca segala sesuatu tentang Arthur.

Dengan lembut, wanita itu mulai berbicara, suaranya seolah menyatu dengan keheningan. "Arthur?"

"Ibu ...," gumam Arthur sambil melangkah mendekati wanita itu.

"Ibu hanya ingin memberitahu kebenaran kepadamu."

"Kamu sudah dewasa, ya?" ucap Yve dengan nada yang lembut.

"Monster yang dianggap musuh oleh umat manusia, kalian salah. Musuh umat manusia di Adarlan bukan mereka."

Yve menarik nafas panjang. "Arthur ... datanglah ke satu-satunya gunung yang berada di pulau Avalon."

"U-untuk apa?" tanya Arthur gugup.

"Kamu akan menemukan kebenaran. Naiklah ke puncak gunung itu, lalu kamu akan menemukan sebuah buku."

Kebingungan menguasai dirinya. Arthur bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Yve maksud?

"IBU!" Arthur berteriak, lalu terbangun dari tidurnya dengan nafas yang cukup berat. Dia melihat sekelilingnya, dia masih berada di dalam tenda yang sederhana dan lusuh itu, kamp itu memang jauh dari kata mewah.

"Ibu ... apa maksudmu yang sebenarnya?" gumam Arthur sambil mencoba bangkit dari tidurnya dan duduk.

Arthur merangkak keluar dari tenda. Dia melihat Embun pagi menyapa bumi dengan lembut, mengubah pemandangan yang sebelumnya gelap menjadi lukisan yang penuh keajaiban. Titik-titik embun menari di atas rerumputan dan dedaunan, menyala oleh sentuhan pertama matahari yang muncul dari balik cakrawala. Suasana tenang membungkus alam dalam keheningan, hanya dipecahkan oleh nyanyian burung-burung kecil yang berbisik-bisik antara pepohonan.

Angin pagi membawa aroma segar dari tanah basah dan daun-daun yang menghijau. Suasana yang damai merayakan permulaan hari, memberikan kesempatan bagi alam untuk bernapas sejenak sebelum kisah hidup kembali berlanjut. Langit biru yang tenang menjadi latar belakang bagi siluet pohon-pohon yang bergoyang pelan, membentuk bayangan yang lembut di permukaan tanah yang masih berembun.

Sinar matahari pagi menyusup di antara cabang-cabang pohon, menciptakan permainan cahaya yang memukau. Embun-embun yang tersisa di daun-daun seperti berlian yang berkilauan, menghiasi alam dengan keindahan yang sederhana namun memukau. Dalam ketenangan pagi yang masih damai, alam memberikan penghargaan pada setiap detailnya, dan dunia terasa seperti tempat yang indah untuk sejenak merenung dan menghargai keajaiban alam yang tidak terbatas.

Arthur berdiri di luar tendanya. Dia melihat ke arah John dan Nicho yang sedang berkumpul dengan beberapa anggota yang menjadi atasan Pasukan Khusus, yaitu Bastien, Fyodor, Marcel, dan Vincent. Arthur berjalan pelan menuju ke tempat dimana mereka berdiri dan berkumpul.

"Hai, Arthur," sapa John dengan sedikit senyuman yang menampakkan giginya

"Hai semuanya. Aku meminta maaf jika memotong obrolan kalian. Aku hanya ingin meminjam John sebentar saja. Boleh, kan?" tanya Arthur.

"Tentu, tidak apa-apa," jawab Bastien.

"John, ayo!" ajak Arthur.

"Baiklah."

Arthur berbalik dan berjalan menjauh dari kumpulan mereka, berharap John akan segera mengikutinya.

John segera mengejar Arthur. "Ada apa?"

"Aku ingin memberi tahu sesuatu."

Sampailah mereka di area kamp yang sepi, jauh dari para anggota yang sedang berkumpul. Mereka berdua berdiri di sana. John semakin merasa penasaran.

"Cepat beri tahu aku!" seru John dengan wajahnya yang penuh semangat.

"Jangan katakan ini dengan siapa-siapa, ya?" kata Arthur.

"Aku berjanji."

Arthur segera menceritakan hal yang dialami dirinya sebelum bangun tidur. Namun, John hanya menganggap itu mimpi Arthur.

"Itu mimpi, mungkin kamu sedang rindu dengan ibumu?" timpalnya.

"Bukan, John. Dengarkan aku dulu," imbuh Arthur.

"Keturunan ras penyihir itu bisa mewarisi ingatan leluhur mereka. Aku mewarisi ingatan ibuku. Ibuku adalah seorang penyihir, John! Ini bisa menjadi jalan untuk umat manusia di Adarlan mencari kemenangan!"

Tunggu, Arthur adalah keturunan penyihir? Fakta apa ini? John meragukannya. Matanya melebar ketika mendengar ucapan tak terduga dari Arthur. Kata-kata yang keluar dari mulut Arthur membuatnya terdiam sejenak, ekspresinya mencerminkan kejutan yang mendalam. Wajahnya yang awalnya penuh keyakinan berubah menjadi tanda tanya besar. Suasana di sekitarnya terasa seperti berhenti sejenak, memberikan ruang bagi kejutan dan kebingungan yang menyelimuti John.

"Kau ... tidak bercanda?" tanya John.

"K-kau? Kau keturunan penyihir?" John bertanya lagi, masih tidak percaya.

"Ya. Aku keturunan penyihir," jelas Arthur, dari ekspresi Arthur, dia terlihat serius dan tidak ada kebohongan sama sekali.

"Apa?" Suara tajam yang familiar di telinga Arthur dan John muncul. Ya, itu suara Frederick. Sontak, Arthur dan John memutar badan mereka kebelakang, dan melihat Frederick. Kedatangan Frederick yang tiba-tiba, membuat Arthur menelan ludahnya.

"Ka-kapten?!" seru John saat dirinya menengok ke belakang dan menatap Frederick.

"Arthur, ulangi kata-katamu!" perintah Frederick sambil memasang raut muka yang cukup mengerikan bagi Arthur dan John.

Arthur menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkannya. "Aku keturunan ras penyihir," ucapnya.

Frederick berjalan mendekati Arthur, hingga mereka berdua berdiri berhadapan. "Katakan sekali lagi."

"Aku keturunan penyihir."

"Penyihir adalah makhluk yang keji dihadapan umat manusia," cibir Frederick.

Frederick melepaskan pukulan yang keras ke wajah temannya setelah mendengarkan hal yang menyulut emosinya. Suasana seketika berubah menjadi ketegangan, dan ekspresi wajahnya mencerminkan kemarahan yang mendalam.

"KAPTEN!" pekik John, dia ingin bergerak menghentikan perilaku Frederick.

Dendam Eve Pada Penyihir [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang