25

23 13 1
                                    

"Selama kita terus bertarung, kita tidak akan kalah."

ִ ֹ ─── 𐘃 ─── ۫ ۪

Bastien tidak bisa menahan rasa bingungnya lagi. Dia benar-benar bingung, sampai-sampai tubuhnya bergetar dan cengkeramannya pada pedangnya cukup melonggar.

Akhirnya, beberapa anggota yang berada di barisan inti segera mengambil tindakan sebelum monster itu terlalu dekat dengan Arthur. Mereka segera menuju ke arah monster berukuran 5 meter itu dan mencoba menyerang setiap sudut.

Terdengar suara hentakan yang tergesa-gesa dan sangat cepat dari belakang barisan inti, itu merupakan langkah dari kuda milik Eve dan John yang hendak menyusul formasi.

"JANGAN LAWAN MONSTER ITU! MENJAUHLAH!" teriak Eve dari kejauhan. Eve mencoba memperingatkan beberapa anggota agar mereka tidak terjebak dalam bahaya.

Satu-persatu kematian para anggota pelindung belakang karena monster itu telah disaksikan oleh Eve dan John, hal ini membuat Eve mengkhawatirkan anggota barisan inti yang mencoba menyerang.

Para anggota barisan inti yang menyerang monster itu, segera menoleh ke arah suara.

"Itu dia, dua anak dari barisan pelindung belakang! Untuk apa dia menyuruh kita untuk menjauhi monsternya?" tanya Bastien pada Fyodor yang berada di sisinya, mereka bekerja sama menyerang kaki belakang monster.

"Entahlah, tapi kurasa mereka lebih tahu tentang monster ini, mereka pasti telah menghadapinya, dan bisa saja barisan pelindung belakang hanya tersisa mereka berdua saja!" jawab Fyodor sambil terus berlari mengikuti jejak monster itu dan mencoba mengiris kakinya sebisa mungkin.

"MENJAUHLAH!" pekik John dengan suara kerasnya. Mereka berdua hampir mendekati barisan inti.

Suara tegas yang tiba-tiba menyambar, membuat situasi menjadi semakin menegangkan. "FORMASI DIBUBARKAN! LAWANLAH MONSTER ABNORMAL YANG MENGEJAR! GARDA DEPAN AKAN TETAP MEMIMPIN," jerit Mirko.

"Arthur, ikut aku," ujar Frederick dengan suara kerasnya yang cukup tenang.

"Baik!"

Dengan ini, Mirko, Frederick dan Arthur segera bergabung dengan barisan garda depan, sementara sayap kanan, sayap kiri, inti, dan pelindung belakang diharapkan untuk segera menahan monsternya, dan barisan yang berada di garda depan memasuki area pegunungan yang dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi.

"Sial! Kenapa kapten menyuruh kita melawannya? Jika seperti ini kita akan mati satu-persatu pastinya!" gerutu Eve dengan keringat yang menetes deras dari dahinya, jelas merasa panik karena situasi ini.

"Sudahlah, Eve. Turuti saja perintahnya. Lagipula, tugas kita memang seperti ini, bukan? Mempersembahkan nyawa untuk umat manusia adalah tugas kita."

"Y-ya ... kau benar, John. Jadi, ayo!"

Mereka berdua menuju ke arah monster itu dengan perasaan yang campur aduk, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.

Namun, monster itu tetap mengejar barisan garda depan dengan hentakan keras yang membuat tanah di sekitar pegunungan menjadi bergetar. Sementara, para anggota yang ditugaskan untuk menahan monsternya, mulai tertinggal di belakang.

Arthur melihat ke belakang, melihat bagaimana monster itu yang terus mengejar barisan mereka. Bahkan, mereka hampir terinjak, monster itu sudah berada di depan matam

"Tingkatkan kecepatan!" perintah Frederick.

"Regu Thomas dan Jean yang berada di garda depan! Segera mundur dan hadang monster itu!"

"Baik!" jawab anggota regu mereka dengan tegas. Lalu, segera memutar balikkan kudanya. Sekarang total prajurit yang berada di garda depan hanya terdapat 6 biji.

Ini sulit, terlalu sulit. Regu Thomas dan Jean memanfaatkan pepohonan dan ranting disekitar mereka untuk bergerak. Mereka mencoba bekerja sama, tetapi monster itu lebih kuat dari yang mereka kira. Teriakan dari regu Thomas dan Jean menggema di area pegunungan yang dipenuhi pohon ini.

Wanita cantik dengan rambut hitam pendek dari regu Thomas, mati karena diinjak. Lelaki tinggi dengan tangan yang kekar, mati karena dia digigit dan tubuhnya terjatuh terbelah menjadi dua, tanah dibawah potongan tubuhnya segera menjadi kolam darah. Pria dengan rambut yang hampir botak, dia turun dari ranting dan mencoba menusuk mata monster itu, tetapi monster menggelengkan kepala dengan keras, membuat pria itu mati karena terpental ke arah pohon. Tentunya masih banyak nyawa yang telah hilang karena serangan monster yang dianggap abnormal itu.

Arthur melihat ke belakang, monster itu sudah hampir mengejar mereka. Walaupun semua regu Thomas dan Jean mati dalam hitungan menit, beberapa prajurit lainnya datang mengejar dari belakang secara beruntun, mencoba menahan monster itu.

"Jika kita tidak membantu mereka, mereka semua akan mati!" seru Arthur.

"Arthur! Lihat ke depan!" perintah Ruth.

"Pertahankan kecepatan!" lanjutnya.

"Kenapa? Kenapa kita tidak bereaksi? Lalu, Siapa yang bisa membantu mencegah monster itu?!" imbuh Arthur.

Namun, tetap saja, akhirnya akan selalu sama, mati. Bala bantuan dari belakang terus berdatangan, tetapi mereka akan berakhir dengan cara yang sama, mati.

Monster itu, tak terbendung dan tanpa ampun, melancarkan serangan mematikan. Satu-persatu, mereka jatuh ke tanah, terinjak oleh kaki besar atau ditelan oleh mulut besar monster yang mengerikan. Suara tangisan dan rintihan keputusasaan mencekam di tengah kepanikan. Para prajurit itu, yang sebelumnya penuh semangat, kini menemui akhir tragis mereka.

Arthur mengalami kebingungan dan ketakutan yang mendalam. Matanya yang memandang ke sekeliling penuh kecemasan, mencoba memahami apa yang terjadi di sekitarnya.

Dalam situasi yang menakutkan ini, kebingungan menciptakan gundah dan kekacauan di dalam pikiran Arthur. Rona pucat di wajahnya dan keringat dingin yang mengalir menunjukkan betapa besar dampak ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Saat Arthur melihat ke ekspresi senior lainnya, wajah mereka cukup tegas, namun menyisihkan sedikit ketakutan yang masih tersisa. Hanya Mirko dan Frederick yang terlihat tenang dan profesional dalam situasi ini.

Lagi dan lagi, semakin banyak anggota yang menyusul monster itu dan menahannya. Dua pria turun dari ranting yang tinggi, berencana akan turun dan langsung menusuk mata monster. Namun, tentu saja dengan akhir yang sama, mati.

"Ada korban lagi! Seharusnya mereka masih hidup!" seru Arthur saat dia melihat dua pria yang sama-sama mati karena dimakan oleh monster itu.

"Arthur! Cukup fokus untuk maju saja!" perintah Ruth dengan suara yang kasar, merasa kesal dengan sifat keras kepala Arthur.

"Apakau mau mau kita mengabaikan pertempuran teman kita dan membiarkan mereka mati?!" pekik Arthur dengan emosi yang sudah meluap saat mereka terus maju menggunakan kuda dengan kecepatan tinggi untuk menghindari monster yang mengejar.

"Ya! Benar! Ikuti perintah kapten!" jawab Ruth dengan spontan.

"Aku tidak mengerti kenapa kita harus melakukan ini, bahkan tanpa di beri alasan yang jelas!" timpal Arthur.

"Karena kapten merasa tidak perlu menjelaskan pada kita. Cukup diam dan ikuti perintah. Ini saja kau tidak mengerti, dasar amatir!" cibir salah satu pria dengan rambut pirang yang berada di belakang Arthur.

Arthur menggertakkan giginya, lalu mengangkat pedangnya dan hendak memutar balik kudanya untuk membantu para prajurit yang masih bertarung mati-matian dibelakang.

"ARTHUR!" geram Ruth.

"Lakukan saja jika kau ingin. Kau pilih percaya pada dirimu, atau padaku, dan Pasukan Khusus? Pilihlah keputusan yang tidak membuat mu menyesal!" ujar Frederick dengan suata tajamnya.

"Percayalah pada kami, Arthur!" sahut Ruth.

Dendam Eve Pada Penyihir [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang