Bisa makan, Bisa tidur, Belum cukup.

1 0 0
                                    

Nikmatnya jongkok di depan paviliun, rokok di kotak masih sisa dua batang lagi, maka kuhembuskan pelan-pelan asapnya. Gawai di kantong memutar lagu lama, kepalaku berdendang kecil mengikuti alunan nada bersama kakiku yang keram. Karena ditusuk kerikil yang menembus ke sandal jepit ku.

Bau mi instan dari kejauhan yang begitu familiar rasanya, ditempatku saat malam pun semua asap terasa sama hawanya. Ada yang sepanas knalpot tapi ada juga yang seharum camel ungu. Percaya tidak percaya aku tidak begitu kedinginan malam itu.

Aku bangun dari posisiku, keras kakiku mulai menjalar ditambah dengan pening kepala yang tetiba menyerang. Sembari dijalan pulang aku melihat keluarga yang begitu cemara, tapi hanya cemberut yang bisa kuberikan kepada mereka. Terus sampai rumah, ibadah sebentar dan tidur berganti hari.

Sepanjang pagi yang kupikirkan, hanyalah penyakit akut yang selalu menghantuiku selama ini. Tak bisa dibawa ke dokter dan tak mempan untuk disiram rohani, entah pribadiku kaku atau aku memang benci semua fakta pahit tentang diriku.

Penyakit ku adalah kurang bersyukur.

Aku kembali duduk di tempat biasa kali ini tidak terlalu malam, bersama senja yang ikut temaram. Hari itu aku patah hati, patah hati tentang hidup, patah batin karena tak pernah cukup.

Walau ku tahu keberadaanku pantas tapi apalah semua ini jika yang kulakukan hanya mengeluh di kemudian nanti.

Melamun sejenak.

Aku hanya manusia duniawi. Aku ikhlas belum cukup tuk memberi.

Aku hanya manusia duniawi. Aku ikhlas masih bisa bakar rokok dan makan nasi.

Bait Bait BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang