Wawancara dengan Putra Petir

1 0 0
                                    

Tak sabar ku dibuatnya, hari yang sudah lama kunantikan sebagai seorang jurnalis kawakan di salah satu media terbesar. Aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu sekaligus juga mewawancara seorang pahlawan super yang sangat fenomenal. Putra petir julukannya orang dengan kekuatan gledek yang digadang-gadang datang dari desa kecil di Banyuwangi. Kini namanya mengharumkan negara dengan menjadi pahlawan paling keren di muka bumi.

Wajahnya sangat familiar untuk ditemukan di bungkus sereal, iklan tata rias bahkan sampai punya film sendiri. Salah satu manusia juga yang paling ku kagumi dalam hidup, dalam satu acara bincang- bincang tengah malam di televisi dia nampak sangat berwibawa.

Tampan bak actor Hollywood dengan aksen jawa, gagah dengan lambing petir di dadanya dan juga tak lupa walau dengan semua karisma seperti itu dia lebih memilih memberantas kejahatan dibanding membintangi film dengan aktris cantik manapun.

Jadwal ku petang ini adalah me-wawancara seorang superhero kebanggaan kita semua, tapi dia belum kunjung datang walau sudah satu setengah jam. Kupikir, maklum namanya juga pahlawan pasti sibuk membela kebenaran. Aku masih sabar menunggu hingga petang berubah menjadi mendung dan menghadirkan gerimis rintik.

Serasa semua optimis ku hilang bersama hujan. Putra petir tak akan pernah datang, walau sempat sesekali aku berpikir bahwa dia akan datang di tengah derasnya hujan melalui kilat seperti dewa yunani. Tapi semua ekspektasiku runyam ditelan becek, dengan sedikit kecewa aku menyuruh semua crew untuk berkemas dan pulang.

Di jalan pulang aku melihat kembali papan billboard, yang dengan cerah menampakkan Putra petir menggenggam minuman bersoda. Sebelum aku sampai ke apartemen, aku mampir sebentar untuk membeli soda agar setidaknya bisa menghilangkan rasa kecewa ku.

Tepat di ruang makan, di dalam apartemen ku di lantai empat belas. Sesosok bayangan berdiri disana, tadinya kusangka maling hingga akhirnya aku menyalakan lampu. Wajahnya begitu persis dengan yang ada di billboard tapi dia basah kuyup. Tidak hanya basah kuyup tapi juga berdarah-darah.

Putra petir terlihat sangat kalut, baju ikoniknya (biru dengan lambing petir putih di dada) berlumurkan darah. Dia hanya diam mematung meskipun sudah tahu akan keberadaanku, dia masih menatap telapak tangannya yang bersimbah darah manusia.

"Kau masuk lewat mana?" Tanya ku kepada putra petir.

Dia tidak menjawab, hanya menunjuk pecahan kaca dibalkon tepat disebelah kamarku.

"Apa yang terjadi?" Tanya ku lagi, penasaran.

"Aku membunuh seorang bocah" balas Putra petir. Pertama kali dia mengucapkan sesuatu dan kalimat itu yang keluar dari mulutnya, dan setelah itu sontak halilintar menyambar diluar ruangan seperti mengiringi perkataanya barusan.

Aku terkejut tapi masih tak percaya.

"Biar ku buatkan teh dulu ya" ucap ku untuk menghampas keheningan dari kalimat tidak masuk akalnya tadi.

"Tidak usah, ini hanya sebentar" Putra petir duduk tanpa dipersilahkan, begitu juga aku yang turut duduk sambil mengopernya soda bergambarkan wajahnya.

Saat soda itu ada di hadapannya, ia hanya tertawa kecil.

"Ayo kita mulai wawancara, sebelumnya aku minta maaf karena sudah terlambat dan menghancurkan kaca rumahmu." Putra Petir berkata demikian, seakan dua hal itu yang sekarang mengkhawatirkan ku.

Aku membuang seluruh catatan pertanyaanku, dan langsung bertanya kepadanya berdasarkan perasaanku.

"Apa maksud perkataan mu barusan ?, membunuh bocah, jangan bilang itu adalah sebuah lelucon yang tidak bisa kau pakai di televise." Tanya ku.

"Tidak, itu betulan." Balasnya dingin.

"Dan semua darah di bajumu itu?"

"Ini darahnya."

Alis matanya mengerut terlihat sedih, dibalik topeng hitam yang menutup kelopak matanya. Putra Petir terlihat bingung sekaligus takut. Dia melepas topeng itu. Baru kali ini aku bisa melihatnya dengan jelas.

Wajah seorang pahlawan yang selama ini ku idolakan ternyata tak jauh beda dengan seorang mahasiswa akhirnya, dibalik semua karisma itu dia cuma pemuda yang mempunyai kekuatan kilat.

"Apa yang bisa menjadi arti dari keadilan?." Tanya Putra Petir singkat.

Aku menggelengkan kepalaku, tidak tahu apa yang ia maksud.

"Beberapa hari lalu, aku bepatroli seperti biasa. Lewat tengah malam melihat Jakarta dari ketinggian memastikan semuanya baik saja, sampai aku mengintip di sebuah jendela rumah kecil. ada ayah yang menghajar anaknya sampai pingsan"

Aku termenung menyimaknya, dia kembali melanjutkan ceritanya setelah menenggak soda.

"Aku melakukan apa yang kupikir adil dan benar, esoknya aku datang dan membunuh bajingan itu sebelum anaknya pulang sekolah. Kucekik mati dia di depan teras rumahnya, sampai sekarang aku masih menyangka bahwa itu adalah hal yang benar. Hingga tiba-tiba disaat aku berpatroli, anak kecil yang ayahnya mati diteras datang kepadaku dan berteriak 'kembalikan ayahku!'."

"Kenapa harus bertindak sampai sejauh itu, hingga membunuhnya, padahal bisa dilaporan ke polisi?"

"Ribuan kali aku sudah bertemu bajingan macam itu, jika diserahkan ke hukum ia tidak akan dipenjara begitu lama. Dan saat keluar ia akan melakukannya lagi, aku jamin itu. Tapi kenapa?, apa aku salah?"

"Sejujurnya kau salah dengan membunuhnya, pahlawan tidak seharusnya melakukan itu."

"Lantas?, aku harus melihat bocah itu babak belur hingga dewasa?. Aku membuat hukum ku sendiri untuk menghapus sampah serupa itu. Kebanding pahlawan aku lebih mirip hakim dengan hukum paling lancip di dunia."

"Anak itu, kau bilang kau juga membunuhnya?"

"Itu tidak terjadi seperti itu. Hari ini kulihat dia mati di makam yang sama dengan ayahnya, yang paling parah ia membuatku menyaksikan itu semua dengan mata kepalaku"

"Apa yang terjadi?"

"Anak itu menembak dirinya sendiri."

Tak lama kemudian Putra Petir melemparkan sebuah kalung kepadaku, bukan sekedar kalung tapi itu adalah Tamagotchi, semacam peliharaan virtual yang bisa dibawa kemana-mana.

"Anak itu selalu bermain dengan itu" ucap lagi Putra Petir.

Tamagotchi itu sudah mati.

Putra Petir berdiri dari kursi tempat ia duduk.

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?." Tanyaku padanya.

"Untuk sekarang aku belum pantas menjadi apa apa, saat aku sudah menemukan jawaban yang benar dan apa yang salah mungkin aku akan kembali. Tapi untuk sekarang aku belum pantas memakai lambang petir ini."

"Kau ingin pergi dari sini, kemana ?"

"Kau tak perlu tahu, yang kau harus lakukan sekarang adalah keluarkan semua isi wawancara ini. Tidak boleh ada yang di-edit ataupun dipotong. Keluarkan sebagaimana mestinya."

"Tapi A-"

Sebelum aku sempat mengucapkan kalimat itu, dia melaju bagai kilat keluar dari apartemenku. Tak kusangka aku adalah orang terakhir yang meliput berita tentang pahlawan super.

Butuh satu tahun mengumpulkan nyaliku untuk merilis semua dialog yang terjadi di ruang makan ku malam itu, dan banyak yang terjadi juga selama setahun. Dunia digemparkan dengan hilangnya sosok pahlawan dan tidak ada yang tahu bagaimana dia pensiun selain aku.

Lambing petirnya sudah tidak sebenderang dulu. Personanya pun perlahan pudar ditelan oleh sesuatu yang baru, dan maka disaat aku merilis wawancaranya setahun kemudian pun semua orang tidak ada yang begitu peduli.

Masyarakat sekarang lebih heboh kepada berita penyanyi kelas kakap yang selingkuh lalu operasi plastik di jerman.

Bait Bait BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang