Siapa Itu?

20 7 4
                                    

"Suami dan istri, dooong!" Matanya terlihat berbunga-bunga. Polisi wanita itu tertawa kecil sebelum akhirnya melempar tatapan geli padaku. Semua ini karena ucapan Hara, orang-orang jadi ilfeel dan bercemooh. Sampai sini, seolah dapat satu pelajaran lagi, tentang betapa memalukannya berdekatan dengan dia. Bulu kuduk jadi berdiri saking menjijikkan kalimat itu di telinga. Apakah putus cinta menyisakan trauma sehingga ada rasa jijik jika berdekatan laki-laki?

Tidak mungkin, kesalahannya terletak pada Hara Samana yang terlalu tampan dan kurang waras ini. "Istri, sampai kapan kita di sini? Hara lapar." Mengeluh, wajah memelas.

Ingin rasanya meremas wajah itu sampai hancur lebur. "Bu, mau komplain!" tuturku. "Kami di sini udah dua jam lebih, kenapa gak dikasih makan?!" Suara ini meninggi secara mendadak saat Hara berdiri, menggenggam palang besi sisi kanan dan kiri. Apa yang akan ia lakukan? Pasti setiap detik hanya bisa

Membuat masalah. Dua orang di luar sana tidak peduli sedikit pun, sibuk dengan obrolan mereka. Menyebalkan. "Hara sudah tidak tahan lagi." Padahal di kafe dia sudah makan lumayan banyak, sekarang malah kelaparan lagi.

Tiba-tiba, hal aneh terjadi untuk ke sekian kali. Setiap bersama Hara, selalu dihadang berbagai masalah. Kini, kami diamankan ke ruangan lain untuk diinterogasi oleh komandan. Bagaimana mereka tidak menganggap seorang Hara berbahaya? Dia baru saja membengkokkan jeruji besi dengan tangan kosong.

Terlebih lagi ada bagian yang meleleh. Ini mengerikan.

Pria itu memilin ujung tongkat yang biasa digunakan untuk memukul pelaku kejahatan sampai buka mulut tentang otak dari semua ulah. Tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang ini, jadi kemungkinan akan pulang dengan kondisi mulus. Pupus sudah harapan tadi, belum habis dua detik aku berpikir dalam hati. Petugas berbadan kekar ini menghantamkan benda keras tersebut pada meja.

Diriku sampai terhenyak, takut. Otomatis membayangkan, apa yang akan terjadi apabila tongkat besi itu diarahkan ke kepala ini, pasti sakit sekali.

Tatapannya tajam. "Kalian dari kota mana?"

"Di Bantul, Pak." Sudahlah, untuk apa takut, aku tidak salah apa-apa. "Nama saya Fanny Claeine, tinggal di perumahan NA dan orangtua saya sedang bekerja ke luar kota, coba saja hubungi kalau bisa."

Nomor mereka tidak pernah aktif jika sedang sibuk. Tetapi aku tahu, Papa dan Mama tak kenal kata 'senggang', hanya kerja dan kerja, lalu bertengkar.

Membuat malas.

Dia melirik Hara seraya membenarkan topi hitam yang menutupi kepala botaknya. "Dia temanmu?"

Aku menggeleng. Hara juga. "Tapi istri/Gak kenal." Kami berucap bersamaan.

"Istri kenapa?!" sela laki-laki di sebelahku dengan raut tak percaya, berekspresi seakan aku telah mengambil semua aset perusahaan dan hidupnya. Mendapat masalah sepanjang hari, memunculkan rasa muak.

"Saya gak kenal. Udahlah, Pak, bentar lagi hari libur habis, mau siap-siap ujian. Bapak mau tanggung jawab kalo saya gak lulus terus jadi pengangguran seumur hidup, emang Bapak bisa ngasih saya uang bulanan?" Mulutku, kalau sudah bicara tidak bisa dikontrol.

Senyum getir terlihat di bibir petugas keamanan, jelas sekali dia menahan emosi. Hening beberapa menit, sebelum akhirnya mendengkus sarkas, tampak menghubungi seseorang dengan telepon kantor. Saat ini hatiku tengah kacau ... apalagi gatal di area tangan belum berakhir. Tak peduli siapa, kalau mencari masalah akan kuladeni dengan senang hati.

"Oke." Menaruh kembali ke tempatnya berasal, lalu kemudian, menatap kami secara bergantian.

"Kamu, ada yang menjemputmu."

Diri ini langsung beranjak dari duduk, menggapai kenop pintu. "Lain kali, jaga etika bicaramu pada yang lebih tua," kata polisi itu, tersenyum dengan kening berkerut, dia marah, tentu saja. Aku sudah terbiasa dicap tidak tahu diri maupun sopan santun.

Jadi Istri AlienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang