Kepergok

8 4 0
                                    

Tak kusangka Hara bisa berkata seperti ini, tetapi membela diri tidak salah juga—karena dicela.

“Istri. Ayo, ikut Hara!” Aku yang baru saja memungut seragam tadi pun merasa terkaget-kaget karena mendadak diajak lari untuk yang ke sekian kalinya, meninggalkan Dylan sendirian. Sempat terlihat lelaki itu bengong, sedikit syok.

Sebentar, Hara akan membawaku ke mana?

Langkah seribu berhenti ketika selesai turun dari lantai atas. Tali di jaket pink bermotif kelinci ini ditariknya sehingga mengerucut dan menutupi hampir seluruh wajahku, dia memperingatkan kalau kami telah berada di zona merah, orang kurang waras ini pun melanjutkan acara lari-larian. Tentu saja aku ikut serta karena dipaksa, tetapi sepertinya ada hal mengganjal yang terjadi di sekolah. Itu perasaanku saja, mungkin. Jika rasa tidak nyaman ini berhubungan dengan sekolah, apa yang harus dilakukan?

“Hara, kenapa tiba-tiba kabur?” Dia menghela napas pelan, kejadian baru saja diperjelas kemudian. Katanya, Zerofy yang menyuruh untuk membawaku pulang. Tanpa alasan yang lebih jelas. Wajah lugu Hara berhasil membuatku percaya atas perkataannya. Karena sudah berada di luar daerah sekolah, artinya aku telah resmi membolos.

Usai melepas jaket, aku menggumpalkannya bersama bekas seragam dan rok abu-abu, lalu menyodorkan pada Hara. Sebenarnya jaket berbahan super lembut itu miliknya, bukan aku. Karena tadi pagi dingin, aku terpaksa mengenakan benda tersebut, meski pun sangat bertentangan dengan gaya berpakaianku.

“Udah terlanjur keluar, lebih baik jalan-jalan dulu.” Meninggalkan laki-laki itu. Tentu saja dia langsung menyamakan langkah kami agar tidak tertinggal.

“Istri, benda ini boleh Hara gunakan?” tanyanya menenteng jaket, sehingga gumpalan seragam tadi jatuh ke bata-bata jalanan.

“Ish, iya! Jangan dijatuhin juga kali!” Aku menjitak ujung kepalanya dan memungut kembali, lalu buang ke bak sampah.

“Waaa! Hara mau ini!” Matanya berbinar-binar menatapku. Aku pun melirik hal yang dimaksud dan menggeleng tak percaya. Tanpa basa-basi lebih lanjut aku didorong menuju salah satu toko dari sekian banyak yang tersusun di sisi taman.

Balon, gulali.

Jadi, aku yang sedang jalan-jalan guna merefleksikan otak atau membawa anak kecil jalan-jalan? Yeah, lebih cocok pilihan kedua. Pengasuh anak ketika orangtuanya tengah bekerja ke luar kota, alias pengasuh laki-laki dewasa kurang waras sementara temannya pergi. Sayangnya, gajiku tidak pasti.

“Oh, apakah ini kencan?”  Mengatakan dengan wajah sepolos itu, hal yang tidak pernah terlintas di pikiranku satu kali pun.

“Apa lo bilang? Jelas bukan!” sentakku kesal.

Dia manyun seketika, mencibir, “Bukannya kita sepasang kekasih?” Itu berhasil membuat perutku terasa melilit. Hendak muntah seketika.

“Se-sejak kapan ada pernyataan kalau kita kekasih, Hara?!” Aku emosi.

“Apakah salah berkencan dengan Istri? Bukannya manusia suka itu ... dan bahagia?” Masih menunduk dengan bibir mengerucut. Dia memainkan tali balon gas, terlihat sekali kabur dari tatapan mataku.

Diri ini pun mulai penasaran. “Siapa yang ngajarin lo? Emangnya lo tau apa itu kencan?” Pandangan remeh sudah kuberikan, semoga dia cepat sadar tentang hubungan kami. Namun, ini bukan salah siapa pun, melainkan aku sendiri. Dari penjelasannya, dia tengah terpapar dampak buruk percintaan di televisi. Lalu, aku menjadi korban sekaligus tersangka atas tingkahnya.

“Lain kali, lo gak boleh nonton tanpa pengawasan dari gue, paham?” Dalam hati aku berdoa, semoga Hara masih belum menonton hingga ke tingkat lebih jauh. Berusaha berpikir positif bahwa dia hanya sempat menonton sinetron remaja. Bahaya kalau yang kubayangkan terjadi, membuat bergidik ngeri saja.

Jadi Istri AlienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang