Hara Kesurupan?

4 4 0
                                    

“Nek, Fanny main ke rumah Nadira!”

Dari sini aku berteriak dengan tangan cekatan mengikat tali sepatu. Sebelum wanita itu keluar, aku harus pergi dari sini.

Nah, selesai.

Dengan langkah terburu-buru, aku beranjak menuruni tangga teras yang licin karena dibasahi air hujan sejak beberapa menit yang lalu. Perlahan dan ... ya! Kaki kecil ini sudah berpijak pada rerumputan. Tubuh mungilku membuat langkah berlari terasa ringan. Sayangnya, baru beberapa meter, Nenek akhirnya keluar dan meneriakiku. Namun, aku hanyalah bocah delapan tahun yang dalam otaknya hanya bermain dan tidak akan peduli pada panggilan itu.

Gemericik air terdengar setiap genangan terinjak. Gumpalan awan abu-abu masih menghiasi langit, belum tuntas menurunkan muatan airnya ke bumi, padahal kami—aku dan Nadira—sudah membuat janji melihat rasi bintang ketika malam tiba. Aku terus melangkah. Tinggal beberapa meter lagi akan tiba di tempat tujuan.

“Gagal, deh, lihat bintangnya,” gumamku lesu sambil menengok kanan dan kiri. Langkahku terhenti ketika melihat seorang pria jangkung di dekat danau. “Pamannya tinggi banget. Kira-kira aku kalo besar tinggi nggak, ya?” tanyaku pada diri sendiri sambil memegangi puncak kepalaku.

Pria itu menengok ke arahku. Dengan cepat aku berpaling dan lantas menambah kecepatan dalam berjalan. Gawat, dia mengikutiku. Jangan-jangan itu penjahat yang katanya suka menculik anak-anak, pikirku mulai merasa gelisah.

“Dingin. Bawa saya ke tempat yang hangat.”

Apa?

“l-istri ... dingin.”

Tadi itu mimpikah? Sejak kapan Hara di sini dengan posisi memelukku? Aku susah bergerak. Pelan aku memukul-mukul punggungnya, berharap segera bebas dari beban berat ini. Kenapa di saat seperti ini malah teringat nenek? Beliau selalu memelukku apabila aku kedinginan.

“Sini,” ajakku.

Secepat kereta KTX, dia menguburkan wajahnya di ceruk leherku. Napasnya terasa dingin. Setelah bersentuhan dengan Hara, fokusku terpacu pada satu hal, yaitu membantu menghangatkan tubuhnya. Tidak ada lagi pikiran lain. Benar-benar sangat dingin, sampai aku bergidik, tetapi tetap berusaha bertahan. Keadaan Hara sangat mengkhawatirkan saat ini,

Entahlah, aku panik dibuatnya. Sejak kapan perasaan takut ini memenuhi akal pikiran?

“Sa-sakit ....” Hara bergelut dengan selimut. Aku lantas terkaget-kaget ketika tubuhnya terlilit kain tebal tersebut dan jatuh ke lantai. Persis orang kerasukan, dia berguling ke sana ke mari dan tampak kesakitan.

Aku tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa memandang dari kejauhan sambil mengambil memasang badan waspada apabila tiba-tiba dia menyerang. Apakah ini berbahaya atau tidak? Memangnya aku peduli? Yang terpenting, aku tetap di tempat. Bagaimanapun Hara, aku tidak tega meninggalkannya sendirian. Andai aku mengerti tentang makhluk sejenis Hara, memahami seluk beluknya, dia tidak akan merasakan sakit hingga berguling-guling seperti itu, tetapi apa boleh buat?

Tiba-tiba laki-laki yang awalnya membuat ribut seisi rumah itu terdiam. Tidak bergerak sedikit pun. Naluriku mengatakan, pergi dari sini!

Dengan sisa tenaga yang bercampur pusing, aku berlari keluar kamar. Sesampainya di ruang tamu, suara barang pecah berkeping-keping menghentikan langkahku. Suara itu berasal dari kamar. Kalau tidak salah, suara itu terdengar seperti suara kaca pecah.

Jangan-jangan Hara keluar melalui jendela? Aku harus pergi. Bagaimana jika lelaki itu tanpa sadar melukai dirinya sendiri?

Ah, tidak! Tidak boleh!

Aku segera menjauhkan pikiran resah. Mungkin saja dia kerasukan dan ingin pulang ke habitatnya, jadi aku tidak perlu khawatir.

Namun, bagaimana jika dia terluka?

Jadi Istri AlienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang