Ketulusannya

6 2 0
                                    

“Ah, tadi itu enak. Yang itu juga, ah, tidak ... lebih enak yang di sana.”

Benar-benar mengganggu.

“Istri? Hello?” Mengetuk pintu kamar mandi kemudian, kembali bergumam hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti menghitung jumlah makanan yang dia santap tadi. Suara bisingnya mengacaukan ketenangan, memanggil-manggilku dan jikalau tidak dijawab dia akan berteriak sembari menggedor pintu. Ah, perutku terlalu mulas, sehingga tidak bisa memarahi laki-laki itu, hanya sanggup bergeming.

“Istri kenapa lama sekali? Menangis lagi? Istri buka pintu-nya!” Kalau wajahnya tak menggemaskan, sifat itu sangat-sangat menyeramkan, seperti obsesi.

“Enggak! Gue bilang lagi buang air besar masih aja!” Laki-laki itu mentang-mentang tidak pernah merasakan sakit perut.

“Maaf,” lirihnya.

Saking terganggunya, aku sampai kehilangan niat untuk duduk di toilet. Lihat laki-laki aneh itu, dia memegang pipiku dan menghela napas lega. Gigiku mengatup kuat dengan pikiran tertuju untuk membunuh Hara secara brutal. Beberapa kali singgah ke toilet umum yang ada di jalan, sehingga baru sampai di rumah jam dua belas. Banyak pula taksi kami tumpangi. Singkatnya, malam ini aku dan Hara pesta gonta-ganti taksi.

“Istri baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya ingin menyentuhku, tetapi segera kutepis. Makhluk yang menyebalkan. Andai aku bertenaga, kali ini tidak akan melemahkan hati untuknya.

“Tidur ....” Aku melewatinya yang berdiri di tengah jalan, berusaha menutupi rasa sakit. Lekas tubuh ini berbaring di ranjang tanpa seprei, karena seperti yang kita ketahui, rapinya tempat tidur itu percuma kalau Hara yang berebah. Sesuai perkiraan, diriku tidak akan bisa terlelap selama masih sesakit ini. Harusnya pergi ke klinik.

Keringat keluar dari pori-pori tubuh sehingga membasahi pakaian, mengucur di keningku. Kalau saja bukan ayam geprek yang disantap, tidak akan seperti ini. Tiba-tiba, teringat ada balsem di kotak P3K, tetapi aku lupa menaruh benda tersebut di mana setelah mengambil koyo malam itu.

Pasti ada di suatu tempat.

“Mana Hara?” gumamku dengan sisa tenaga berjalan ke dekat lemari. Saking lemasnya sampai tidak sadar laki-laki itu tidak ada. Kalian pasti pernah merasakan melilit sampai ke ujung jemari kaki dan tangan, itu puncak dari sakitnya. Di saat itulah tidak bisa berbuat apa -apa lagi, hanya tersandar dan menyesuaikan posisi duduk senyaman mungkin.

Aku harus memanggil bantuan, tetapi benda yang digunakan sebagai alat komunikasi jarak jauh ada di ransel, ujung sana. Sudahlah, aku tahu tenaga ini tidak cukup lagi bahkan untuk melangkah sedikit saja. Tidak pernah aku membenci kesendirian sebesar ini, tapi sejak mengenal Hara dan selalu ditemaninya ... aku sangat ketakutan.

Benar, itu yang mengganggu selama ini. Akhirnya aku mengerti mengapa air mata jatuh ketika mengingat bahwa Hara akan segera pergi.

“Istri!” Terdengar sarkas, berlari ke arahku.

“Hara, gue—” Suaraku parau, entah keluar atau tidak dari mulut ini. Mendadak dia mengangkat tubuhku dan membawa ke ranjang. Panik, laki-laki aneh itu kebingungan dan menumpahkan seluruh isi plastik di sisiku. Melihat satu persatu dan tetap kesal karena tak paham apa pun.

Dengan menatapnya dari sini saja aku tahu obat-obatan di tangannya tersebut bukan yang biasa kukonsumsi.

“Y-yang ... ini ....” Mengambil salah satu obat pereda nyeri, dengan cepat Hara menuangkan air dari teko ke gelas dan membantuku duduk. Pelan dan lembut dia memperlakukanku. Sesudah obat tertelan, kembali berbaring. Area punggung sampai ke pinggang nyeri sekali.

“Ha-Hara benar-benar ... hahh ... takut.” Napas terengah-engah sambil menatapku penuh kekhawatiran, dia terduduk di lantai, bersandar pada sisi ranjang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jadi Istri AlienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang