Lelaki Dari Langit

63 13 10
                                    

Tahun 2020.

Napas terengah-engah, tanganku mengepal kuat pada tali penyangga jembatan, tak sanggup berdiri tegak. Sekarang, wajah ini pasti persis tersengat lebah, bengkak. Jadi sadar, kenapa tadi harus menangisi laki-laki sejenis Radit? Bodoh, itu tepat untukku.

"Radit, gue benci lo!" Berteriak sekeras-kerasnya, tak ada orang di sini.

Siapa yang mau pergi ke Jembatan Sesek tengah malam begini? Kulihat sendal jepit branded-ku putus, persis hubungan kami. Setelah berlari dari Lendah ke Bantul, keramnya baru terasa sekarang. Lelah berteriak, suara tercekat habis. Ini bukan novel, bukan pula film, tapi kenapa langit seolah menangisi penderitaanku. Drama sekali.

Mendung menandakan sebentar lagi akan turun hujan, tidak ada niat untuk pulang sedikitpun. Karena siapa yang akan menunggu kepulanganku? Papa dan Mama kerja di luar kota ... sebagai anak tunggal, tentu aku sendirian.

Dulu, aku memiliki tempat bersandar, Radit. Sekarang siapa yang akan menelepon dan menanyakan apakah aku sudah berada di rumah? Hidupku hampa.

Dibesarkan oleh Nenek, beliau pergi untuk selamanya 4 tahun yang lalu. Orangtua sibuk dan cuek. Siapa yang mengharapkan kehadiranku di dunia ini? Mendongak, tatap sendu langit malam yang dipenuhi awan hitam. "Kenapa gue cuman dijadiin bahan taruhan?" gumamku, seolah-olah ada orang itu di dekat sini, kenangan manis masa-masa bersamanya melintas di kepala.

Tiba-tiba, sesuatu terang-benderang muncul di atas sana. Persis bintang. Namun, lekas pikiran ini sadar bukan bintang, mana ada benda tersebut saat awan mendung memenuhi langit. Lalu, meteor? Ha, bisa saja otakku sudah eror. Aku pun terbelalak, bukan khayalan, cahaya itu benar-benar semakin mendekat! Kaki tidak bisa diajak kompromi, terpaku di tempat. Lidah kelu. Apa ini? Aku akan mati tertimpa meteor, secepat inikah kematian menghampiri?

Selang beberapa detik aku menutup mata dengan erat, dentuman keras terdengar, diiringi debu dan kerikil-kerikil keras menelisik kulit serta indra pernapasan. Gendang telinga sakit. Jembatan gantung ini pun bergoyang, aku yakin tanah bagaikan dilanda gempa barusan.

Perlahan suara itu mereda, udara pun kembali normal. Yang anehnya, kenapa mendadak sekitarku sepi sekali? Apa aku sudah mati? Di detik berikutnya, napas hangat menerpa wajahku. Perlahan-lahan membuka kelopak mata, bagaimanapun kenyataannya harus dihadapi, bukan?

Tubuhku tersentak kuat. "Eh?!" Seseorang yang cantik dan tampan secara bersamaan, aih, bagaimana cara mendeskripsikan wajahnya? Aku semakin membeku, menyadari orang itu melayang di atas, seperti terbang tanpa alat bantu apalagi sayap. Alhasil, saking kagetnya aku terduduk lemas. Tampak sekeliling sini masih dipenuhi kepulan debu, tapi di tempatku tidak ada!

Karena ada benda aneh kebiruan menghalangi? Bentuknya besar dan bulat, balon? Aku semacam masuk ke dalam benda transparan bersama orang itu. Tak lewat berapa menit, dia jatuh menimpa tubuhku begitu saja. Berat sekali, sampai bernapas pun pengap-pengap. Badan makhluk aneh ini lebih besar dariku, tentu saja. Dia laki-laki rupanya!

"Woy! Bangun!" Aku berteriak tepat di telinganya. Kemudian, memikirkan cara menyingkirkannya, sebab tak ada respon, berharap setelah itu semuanya akan beres. Sialnya, tidak ada celah untuk bergerak, tangan dan kaki tertindih. Meneriakinya berkali-kali, tetap saja ia bergeming diam. Seketika rasa takut menggerayangi akal sehat. "Lo masih hidup, 'kan? Masa iya gue ditindih mayat tengah malam begini? Gimana nasib gue besok?!"

Pikiran kalut. "Ish, buruk banget, sih nasib gue." Hanya bisa mengoceh dengan sisa tenaga. Ada lenguhan lirih. Tidak salah dengar, dia bersuara barusan. Mumpung seperti ini, biar kubantu menarik kembali jiwanya. "BANGUN, WOY!" Baiklah, baru pertama kali aku berteriak sekeras tadi, lebih keras dari suara Nadira dan toa. Kalau dia tidak bangun saja, berarti tuli.

Jadi Istri AlienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang