Menurutku lagu itu tuh enak banget diputar sambil read chapter ini. Tapi ini pendapatku sebagai ARMY, ya, kalo kalian ada lagu lain yang biasa nemenin baca, boleh spill di komen.
| Happy reading |
•
•
•“Mana, sih, si Bontot? Lama amat.” Sambil melihat jam di pergelangan tangan. Bunyi pintu dikunci mengecohkan pandangan.
Teruntuk Hara yang selalu menebar pesona tanpa sadar, jangan buat jantungku meledak. Bahkan caranya berlenggang ke mari, sangat menawan dengan kondisi rambut terurai. Tega sekali dia membuatku berdebar terus-menerus. “Sini lo!” Perintahku langsung dituruti.
Pagi-pagi kami keluar, tanpa sempat mandi. Hara pasti merasa merdeka saat ini.
“Nah, mana ikat rambut lo?” tanyaku mengacungkan tangan kanan ke depan setelah menggenggam sebagian helai surai hitam milik Hara di tangan satunya. Dia memberikan benda lentur berwarna hitam. Karena terbiasa mengurus rambut panjangku, hanya sekedar mengikat miliknya sangatlah mudah. Selesai, dia pun berbalik dan menatap buntalan di kepala ini, rambut yang telah dicepol. Hara takjub sambil menyentuhnya.
“Hara juga mau begitu!” Menunjuk ke kepalaku.
Aku segera tersenyum miris. “Ya, tunggu punya lo panjang baru bisa diginiin.” Lalu dibuat heran dengan ekspresi kecewa di wajah Hara. Dia selalu saja menginginkan hal aneh-aneh. Sambil bergumam tak suka laki-laki berambut bagai wanita, aku mendahuluinya. Tentu saja segera dihampiri, kami menyamakan langkah dan menyisir jalanan.
Setibanya di halte, aku menyambang angkot. Ini pertama kalinya Hara menaiki mobil angkutan umum sejenis ini, sayangnya aku melupakan hal penting—dia histeris di bus–dan sudah terlanjur naik. Hasilnya. Tidak berteriak seperti waktu itu, tetapi wajahnya sangat tegang, berpegangan erat pada tali ranselku. Kasihan.
Sempat ingin mengundurkan jadwal karena perasaan tak enak datang sejak terbangun dari mimpi tadi subuh. Beberapa hari terakhir, bunga tidur yang tidak indah selalu menghiasi malamku, menyisakan trauma di pagi hari. Jika seperti kemarin-kemarin, masih bisa diatasi. Namun, ini lebih mengerikan.
“Neng, udah sampe.”
Melihat Hara gemetaran, aku meraih tangan itu dan menggenggamnya. Penumpang lain turun, lalu giliran kami berdua, menyisakan beberapa orang dengan rute lebih jauh. Seusai membayar, menghela napas panjang ketika melihat gerbang pasar sudah di depan mata.
“Katanya kita akan ke temp–” Belum selesai dia bicara, aku langsung menarik tangannya. Berjalan menuju sebuah toko yang ada di tempat ini, melawati kerumunan pembeli. Tidak peduli saling mengenal atau dekat, aku tidak akan menyapa lebih dulu, karena terkadang rasanya sakit jika tidak dihiraukan.
Toko pangkas rambut langganan Papa dahulu sekali—sekarang entah di mana beliau potong rambut–masih buka hingga kini. Orang yang jaga juga tidak berganti. Pria berambut putih keseluruhan, kurasa masih ada hitamnya sedikit. Kulit beliau sudah keriput, berapa tahun aku tidak ke mari?
“Bapak.”
Mendengar panggilan ini, pekerjaan melipat kain terhenti, beliau menoleh ke arahku dan Hara secara silih berganti. Kemudian, fokus ke wajah ini.
“Anak Si Merah ...?”
Aku tersenyum, meski pun begitu lama, masih ingat dengan wajahku rupanya. Senang, tentu saja, meski tak kumengerti mengapa sebutan tersebut ditujukan untukku. Di sini salah satu kenangan indah dengan Papa pernah tercipta, mengingatnya membuatku gagal untuk membenci Papa yang sekarang bahkan tak pernah mau bicara denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Istri Alien
FantasyBukan bidadari jatuh dari Surga, melainkan alien. Makhluk luar angkasa yang diketahui hanya mitos. Hara Samana, alias Z-999, tanpa ijin mengklaim diriku sebagai 'Istri' dan bertingkah bodoh setiap hari. Namun, siapa sangka di balik senyum polosnya y...