𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ𝑘𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎?

579 62 2
                                    

Agatha sendirian duduk di kursinya, dia menatap bangku-bangku sahabatnya yang masih kosong, tumben sekali Rinai yang rajin tidak datang padahal hari sudah sangat siang. Rega yang selalu menjadi ekor Rinai juga belum keliatan, kalau Saga, dia tidak heran jika cowok itu belum datang, terkadang cowok itu datang di waktu istirahat.

Aghata meraih ponselnya, dia men-scroll sosial medianya, sampai akhirnya Rega masuk ke kelas sambil membanting pintu.

Cewek itu tersentak, dia menatap heran ke arah sahabatnya itu.

"MANA SAGA?"

Seisi kelas kompak menoleh ke arah Agahta, cewek itu bangkit dari duduknya lantas menghampiri Rega, "Re, lo kenapa?"

"MANA SAGA? COWOK SIALAN ITU HARUS TANGGUNG JAWAB!"

"Tanggung jawab apa Re?"

Agahta semakin kebingungan dengan sikap Rega, semua siswa memusatkan pandangan ke arah mereka.

"Saga lecehin Rinai Ga! Mama Melinda yang bilang sendiri ke gue! Cowok sialan itu sengaja balas dendam dan nularin HIV-nya ke Rinai," tutur Rega dengan menggebu-gebu, wajahnya memerah, dengan urat yang kian menonjol di lehernya.

Agahta mematung mendengar ucapan Rega, semua ini terlalu tiba-tiba, dia yakin semuanya baik-baik saja semalam, kenapa jadi seperti ini?

"Re, tenang Re! Lo harus dengerin penjelasan Saga dulu, lo nggak bisa dengerin dari satu pihak doang."

Rega menatap tajam ke arah Agahta, tangannya mendorong bahu cewek itu sampai Aghata menabrak meja di belakangnya.

"Lo mau belain Saga? Lo nggak percaya sama sahabat lo sendiri?"

"Nggak gitu Re! Tapi kita juga nggak bisa gegabah kayak gini! Lo juga nggak seharusnya nyebarin rahasia Saga di kelas ini!" ucap Agahta dengan suara pelan agar tak begitu terdengar oleh teman-temannya yang lain

"BIARIN SEMUA ORANG TAU! COWOK BANGSAT ITU HARUS DAPET PELAJARAN!" teriak Rega sekali lagi.

"Re, berenti! Bisa nggak lo diem dulu, sampe masalah ini bener-bener jelas? Nggak seharusnya lo kayak gini! Saga pasti punya penjelasan, dengerin dia dulu!"

Rega terdiam cukup lama mendengar ucapan Agahta, matanya menatap kecewa ke arah sahabatnya itu, "Penghianat lo Ga," ucap Rega sebelum pergi keluar dari kelas. Dia mengusap air matanya yang menetes. Dia tidak percaya, Aghata lebih memihak kepada Saga yang telah menodai gadisnya.

Agahta meraih ponselnya dan langsung menelpon Saga. Bisikan tak mengenakkan mulai terdengar di kelas itu.

"Aga! Yang dibilang Rega itu bener?"

"Saga beneran perkosa Rinai?"

"Aga, cerita dong! Kok bisa Saga gitu?"

"DIEM LO SEMUA!" teriak Aghata, cewek itu berdecak sebal ketika ponselnya tak kunjung diangkat Saga. Dia beralih menelpon Rinai, namun tetap saja, ponsel sahabatnya itu tidak aktif.

***

Saga membuka matanya seketika, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling gudang cahaya sore matahari menerobos masuk lewat jendela gudang. Cowok itu menunduk menatap tubuhnya yang masih terikat di tiang gudang. Samar-samar dia mendengar Rinai kembali berteriak.

Cowok itu menoleh menatap pintu gudang. Melinda pasti tidak akan tinggal diam melihat putrinya seperti itu. Wanita itu pasti akan melakukan sesuatu kepada Saga nanti. Cowok itu berusaha melepas ikatannya, dia harus segera keluar dari sini sebelum Melinda datang dan membunuhnya. Setidaknya dia tidak dalam keadaan terikat jika sewaktu-waktu Melinda datang kesini.

Saga melirik cermin bekas di belakangnya, cowok itu membenturkan sikunya berkali-kali ke cermin sampai pecah. Dia  meraih pecahan cermin itu dan berusaha memutus tali dengan pecahannya.

Saga bangkit dari duduknya, dia meraih kursi bekas dan melemparkan benda itu ke jendela. Kaca jendela pecah seketika, dia membersihkan bekas pecahannya sebelum meloncat keluar dari jendela yang cukup tinggi itu.

****

Aghata terdiam di dalam bis, cewek itu sudah mengunjungi Rinai sepulang sekolah, namun dia tidak bisa menemui cewek itu. Papa Rinai mengatakan bahwa cewek itu kini trauma sampai tak mau membuka pintunya barang sedikitpun.

Agahta menyandarkan kepalanya ke jendela bis, dia menatap rintik hujan yang mulai menetes dari langit. Awan hitam mulai berkumpul seakan siap untuk mengeluarkan seluruh isi nya.

Agahta menghela napas pelan, dia sama sekali tidak bisa menemukan titik terang dari masalah ini. Dia tidak tau harus percaya kepada siapa, bahkan sampai detik ini  Saga tidak bisa dihubungi.

Bagaimana pun caranya, dia harus segera meluruskan semuanya.

Bis berhenti tepat di halte, Agahta segera keluar dari bis, cewek itu berlari kecil sambil melindungi wajahnya dari tetes air hujan yang semakin deras.

Sesaat langkahnya memelan, cewek itu mengerutkan kening menatap seseorang yang kini menunduk di depan gerbang rumahnya.

"Saga?" panggilnya pelan.

Saga mendongak, dia menatap kosong ke arah Agahta, "Sorry, gue numpang duduk disini."

Agahta menatap Saga yang tampak berantakan, cowok itu masih mengenakan seragam sekolah, kening cowok itu mengeluarkan darah, sudut bibirnya pun terlihat sedikit sobek.

"Saga ...." gumam Agahta, hatinya terasa sakit melihat keadaan Saga sore itu, "Masuk, luka lo harus di obati ...."

Saga terdiam cukup lama, sebelum akhirnya cowok itu berdiri, Agahta tersenyum kecil, dia membuka pintu gerbang rumahnya disusul Saga di belakangnya.

***

Saga duduk di depan teras rumah Agahta, cowok itu menolak untuk masuk karena tidak ada siapapun di rumah itu kecuali mereka berdua. Saga menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.

Agahta tidak tega melihatnya begitu. Cewek itu duduk di sebelah Saga setelah mengambil kotak P3K dan makanan di dalam rumah,"Coba gue liat ...." ucap Aghata, dia menyingkirkan helai rambut Saga yang menutupi luka di kening cowok itu.

Dengan pelan dia mengusapkan kapas yang ditetesi obat merah ke kening Saga. Cowok itu meringis pelan, biasanya Saga akan langsung tantrum jika Agahta sembarangan mengobati lukanya. Namun kali ini berbeda. Seperti bukan Saga yang biasanya. Ribuan luka seakan menumpuk di kedua mata cowok itu.

Aghata lanjut mengompres lebam di sudut bibir cowok itu. Saga lagi-lagi hanya terdiam. Tak ada protes menyebalkan seperti biasanya.

Aghata ingin menanyakan kabar yang didengarnya tadi pagi, namun sepertinya ini bukan waktu yang pas, "Eh nih gue buat telur goreng tadi. Lo makan dulu ya?"

Saga melirik sepiring nasi dengan telur goreng di atasnya, cowok itu tersenyum kecil lantas mengangguk. Dia meraihnya itu lalu memakannya dengan lahap. Kebetulan sekali cowok itu belum makan seharian.

"Eh, gue ke dalem dulu ya bentar!" Agahta bangkit dari duduknya lantas masuk kembali ke dalam rumah.

Saga mengangguk, sesaat suara notifikasi ponsel terdengar dari dalam sakunya. Dia meraih benda pipih itu lalu melihat pesan yang baru saja masuk.

Ribuan pesan beruntun masuk ke ponselnya. Pesan-pesan berupa hujatan dan umpatan atas berita yang tersebar tadi pagi.

Mati aja Lo.

Gila. Anak berandal emang beda.

Takut banget ih, di kejar Saga.

Kalo gue jadi dia mah mendingan bunuh diri aja.

Malu-maluin sekolah. Najis.

Ga guna banget idup.

Kapan mati?  Di cariin malaikat tuh Ga!

Saga meneguk ludah dengan susah payah. Ratusan pesan itu terus masuk tanpa henti, bahkan dari orang yang tidak dikenalnya. Kedua tangannya bergetar hebat dengan jantung yang kian berdetak kencang.

Temui saya besok di sekolah.

Saga menghela napas kasar ketika melihat pesan dari kepala sekolahnya itu.

Dia menunduk. Cowok itu mengacak rambutnya frustasi lantas tertawa kecil.

Aghata terdiam menatap Saga. Dia tidak tau, siapa yang harus dia percaya saat ini.

Welcome Home, Saga! [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang