𝐻𝑎𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛

866 90 16
                                    

Cowok dengan rambut berantakan itu menutup pintu kamar dengan keras, tangannya menggenggam erat secarik kertas dari rumah sakit, dia meneguk ludah dengan susah payah. Dengan gemetar dia membuat kertas itu perlahan. Kertas yang ditunggunya cukup lama. Kertas yang dia dapat dari serangkaian tes yang dia jalani.

Positif HIV.

Saga menjatuhkan tubuhnya ke lantai, tatapannya kosong dengan setetes air mata yang mulai menuruni pipinya.

"Ini ... Ini ... Nggak ... Gue ... Gue nggak mungkin positif ... Gue ..." Saga tertawa kecil tanpa menghentikan tetesan air mata yang kini semakin deras. "ARGHHHH! NGGAK MUNGKIN!"

Saga menjambak rambut dengan keras, dia berteriak kencang, walau tak satupun orang mendengar, kenyataan ini, membuatnya benar-benar ingin pergi ... Sayangnya rumah tak selalu ada di sisinya. sesak di dadanya semakin kentara, pun dengan kedua tangan yang kian bergetar.

"Bodoh! Bodoh! Goblok! Bangsat! Cowok paling goblok!" umpat Saga sambil memukuli kepala dengan kedua tangannya. Cowok itu bangkit dan meninju cermin yang tertempel di dinding. Aliran darah mulai menetes dari sela jarinya.

Tuhan, saya menyesal. Bisakah waktu kembali terulang?

Dia menatap wajahnya di dalam cermin yang kini retak. Hatinya bergejolak ingin mengumpati sosok di dalam cermin itu, "Kenapa lo nggak mati dari dulu sih? Kenapa lo harus hidup sampe sekarang? Kenapa?" lirihnya dengan sorot mata sendu. Dia menyesal. Perbuatan yang dia kira sebuah pelarian malah menjadi jurang yang begitu mengerikan.

Dengan penuh harap, dia meraih ponselnya, mencoba menghubungi Sang ayah yang kini entah dimana. Berkali-kali dia menelpon ayahnya. Sayang sambungan itu tak perna diterima. Begitupun dengan sang bunda. Nihil jika berharap wanita itu mau menerima panggilan telepon darinya.

"Apa kalian bakalan khawatir kalo gue mati?" gumamnya sambil tertawa kecil, tawanya semakin keras terdengar di seluruh penjuru kamar. Tawa yang menyayat hati.

"Gue ... Gue udah cukup ngerepotin ... Kalian bakalan hancur kalo tau gue punya penyakit ini ... Kayaknya gue emang harus mati ..." Dia terkekeh pelan.

Saga berbalik dan keluar dari kamar, dia berjalan lunglai menuju garasi, seisi rumah nampak gelap, sang ayah tak kunjung pulang, dia pun juga enggan menghidupkan lampu untuk penerangan.

Saga menghidupkan motornya lalu melajukan benda itu menjauh dari rumahnya, dinginnya angin dan gelapnya malam tak juga membuatnya gentar. Dia tersenyum kecil dengan air mata yang terus mengalir.

Dia terus melaju cepat tanpa memperdulikan pengendara lain yang tampak kesal dengan nya.

"Saga, kamu sama ayah nggak papa kan?"

Saga kecil mendongak menatap heran ke arah bundanya, laki-laki kecil itu mengangguk polos walau tak begitu mengerti apa maksud bundanya. Sang bunda tersenyum lalu mengelus lembut rambut putranya.

"Bunda, Saga pengen main ke Dufan kayak temen-temen ... Cuma Saga yang nggak pernah kesana."

Sang bunda hanya terdiam mendengar ucapannya dulu. Dari sorot mata wanita itu, sang bunda tampak tak tertarik, "Bunda lagi sibuk, ajak ayah aja ya nanti."

Saga mengangguk dengan antusias, saat itu dia masih belum mengerti betapa bencinya sang bunda pada ayah. Dia belum mengerti betapa tak inginnya sang bunda pergi keluar bersamanya. Dia belum mengerti betapa malunya sang bunda menganggapnya sebagai putranya.

"Ayah, besok Saga ambil rapot ... ayah datang ya ..."

"Ajak bunda. Ayah sibuk."

Saga menepikan motornya di sebuah club, dia menatap satu persatu orang yang keluar-masuk tempat itu.

Mereka hanya orang-orang yang butuh bercerita. Sebagian yang lain  butuh harta untuk berfoya-foya atau hanya sekedar ingin menyambung hidup. Semua punya alasannya masing-masing.

Sayangnya stigma tetaplah stigma. Pandangan seseorang terhadap mereka sukar untuk diubah.

Saga masuk ke dalam club dan memesan salah satu minuman alkohol disana. Suara berisik musik dan hentakan kaki menjadi satu dalam telinganya. Dia tak memperdulikan beberapa wanita yang tampak tertarik melihatnya.

Saga menatap kosong ke depan, cowok itu keluar dari club dengan pikiran kacau. Dia melajukan motornya kembali membelah jalanan kota.

Motor itu berhenti di sebuah gedung tua. Saga berjalan pelan memasuki gedung itu. Diraihnya sebuah tali tambang bekas di pojok ruangan. Saga tersenyum miris menatap tali itu. Tak disangka akhir hidupnya jadi seperti ini.

***

"Dek, sama nitip martabak ya? Kakak ngidam martabak nih."

Aghata menghela napas pelan mengingat ucapan kakaknya di telepon tadi, Devan. Kakaknya itu memang sangat lebay ketika sakit.

"Ngidam dari mana nya coba? Emang dia transgender?" ucap Aghata sambil menunggu martabak pesanannya selesai dibungkus.

Sesaat matanya tak sengaja melihat seseorang sempoyongan keluar dari sebuah club. Aghata menyipitkan mata, menatap jauh ke arah club' di ujung jalan itu. Dia membulatkan mata ketika melihat jelas siapa orang itu.

Saga?

Aghata bangkit dari kursi, dia melihat Saga yang kini melajukan motornya entah kemana, cewek itu langsung berlari ke pinggir jalan memberhentikan taxi yang lewat. Dia masuk ke dalam taxi tanpa memperdulikan tukang martabak yang memanggil-manggil nya.

Pikirannya tertuju pada Saga, dia takut cowok itu berbuat yang aneh-aneh karena mabuk.

"Pak, berenti disini," ucap Agatha ketika melihat motor Saga yang kini terparkir di depan gedung tua. Entah kenapa perasaanya tidak enak melihat Saga.

"Dia ngapain disini? Ehem-ehem sama cewek kah?"

Aghata tidak mengerti kenapa dia mengikuti Saga, padahal dia tidak perlu se-khawatir ini pada cowok itu. Aghata terus melangkah mencari Saga, sampai akhirnya dia menemukan cowok itu berdiri di atas kursi dengan tali tambang di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Agatha langsung berlari dan menendang kursi yang dinaiki Saga. Cowok itupun langsung jatuh tersungkur.

"SAGA!" teriaknya.

Saga meringis pelan lalu menoleh menatap heran ke arah Aghata.

"LO UDAH GILA YA?" teriaknya lagi sambil memukul bahu Saga dengan keras.

"Lo ngapain disini?,

"GUE YANG HARUSNYA NANYA GITU! LO NGAPAIN DISINI HA? MAU BUNUH DIRI? LO PIKIR PAHALA LO UDAH SEGUNUNG? EMANG LO PIKIR LO LANGSUNG MASUK SURGA GITU SETELAH MATI?"

Saga mengerjapkan mata mendengar celotehan Aghata yang begitu memekakkan telinga. Mereka terdiam beberapa saat, hanya helaan napas berat yang terdengar dia antara mereka.

"Jangan mati dulu ...." gumam Aghata sambil berusaha menetralkan jantungnya yang berpacu cepat. Telat sedikit saja, mungkin tali itu sudah meliliti leher Saga.

"Jangan mati sebelum bahagia ... Banyak hal yang belum lo lakuin ... Tolong jangan mati dulu ..."

Saga menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya yang kian menumpuk di kelopak mata. Dadanya sesak luar biasa, dia ingin meluapkan semua hal yang dirasakannya, namun sayangnya dia tidak bisa.

"Walaupun sulit, gue mohon ... Bertahan sebentar lagi."

Air mata Saga mulai luruh, kedua bahu cowok itu mulai bergetar, dia tidak pernah menangis di depan orang lain seperti ini, dia tidak pernah terlihat sedih di depan siapapun selain orang tuannya.

Tangan Agatha menepuk pelan pundak Saga, "Nggak papa nangis, luapin aja semuanya Ga. Lo nggak harus keliatan kuat terus ..."

Air mata Saga semakin deras mengalir, ingin rasanya dia memeluk cewek di hadapannya ini. Namun dia sadar, Agatha bukanlah miliknya, Agatha sudah memiliki pendamping yang mungkin jauh lebih baik darinya.

Tuhan, kenapa harus dia yang saya cintai?

Welcome Home, Saga! [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang