𝑆𝑎𝑔𝑎, 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔

611 73 5
                                    

Rega mendekati Saga dan mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Saga membulatkan mata. Dengan cepat dia menahan benda berkilat tajam itu. Dia menendang perut Rega.

Pisau itu terjatuh. Saga meraih pisau itu. Rega lekas bangkit. Kedua matanya memerah menahan perih yang terus memuncak dari hatinya.

Dia berlari dan berusaha memukul Saga. Satu-dua kali pukulan itu tepat sasaran. Membuat Saga sedikit kewalahan menghindari serangan itu. Cowok itu tak ingin menyakiti Rega sedikitpun.

Rega melempar kursi bekas ke arah Saga. Cowok itu terjatuh seiring dengan debu yang kian bertebaran. Rega menendang tubuh Saga berkali-kali. Melampiaskan emosi yang dia tahan selama ini.

Saga menjegal kaki Rega dan mencengkram kerah baju cowok itu, "SIALAN LO!" teriak Saga sambil berusaha menahan pergerakan sahabatnya itu. Tangannya terkepal, hendak memukul Rega.

Buset! Lo bisa nangis juga ternyata? Gue kira lo bisanya tantrum doang! Hahahaha!

Enggak-enggak gue canda! Semangat ya! Kita ada buat lo!

Lo hebat banget bisa bertahan sendirian sampe detik ini!

We are proud of you, Saga

Saga menurunkan tangannya. Dia tidak bisa memukul Rega.
"Gue nggak tau apa-apa ... Gue nggak pernah ngelakuin hal itu ...." Kedua tangan Saga bergetar hebat. Air matanya menggenang. Sungguh. Dia lelah dengan hidupnya sekarang, "Kenapa lo nggak mau dengerin gue? Kenapa? Kenapa semua orang nggak percaya gue? KENAPA?"

"Please ... Dengerin gue ... Gue nggak salah ...."

Rega terdiam beberapa saat. Separah apapun tangis Saga. Hatinya takkan pernah mencair kembali, Saga telah merenggut paksa kebahagiaannya.

Rega meraih batu bata lantas memukul kepala Saga dengan benda itu. Saga berteriak kencang lantas melepaskan cengkramannya.

Rega menarik kerah Saga dan membenturkan tubuh cowok itu ke tumpukan batu bata di sudut gang. Saga meringis. Kepalanya terasa basah karena darah.

Rega mendekati Saga lantas mencekik leher cowok itu dengan sebelah tangannya. Air matanya menetes. Hatinya kelewat hancur. Dia tak bisa lagi menahan diri. Rinai adalah semestanya. Dan kini semestanya hancur tak tersisa. Sebelah tangannya menggenggam batu dan membenturkan benda itu ke kening sahabatnya.

Dia seakan tuli dengan teriakan kesakitan Saga. Dia mengulangi hal yang sama sampai Saga tak lagi bisa bersuara.

Rega terdiam. Deru napasnya terdengar tak beraturan. Cowok itu bangkit. Hatinya tetap tak tenang. Tak ada rasa lega sedikitpun atas dendam yang sudah dilakukannya. Dia beranjak pergi namun tangan Saga menahan kakinya.

Saga menatapnya pilu. Tatapan yang begitu hancur. Seakan meminta pertolongan. Cowok itu seakan ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa. Rega mati-matian menahan rasa belas kasihnya. Dia menyingkirkan tangan Saga lantas benar-benar pergi dari tempat itu.

Saga menatap Rega yang kini mulai menghilang. Pandangannya memburam. Terlalu sulit untuk sekedar bergerak. Tubuhnya seakan mati rasa. Perih yang teramat sangat menguasai kepalanya. Darah terus mengucur tanpa henti. Pendengarannya kian menghilang. Tak ada suara apapun yang bisa dia dengar. Sunyi yang menyesakkan menguasai dirinya.

Tuhan, saya tidak ingin mati sekarang ... Saya masih ingin bahagia ....

Tuhan, saya ingin benar-benar hidup, bukan hanya sekedar bertahan hidup.

Saga menatap lambang semicolon di pergelangan tangannya. Air matanya menetes. Sakit. Semuanya menyakitkan. Dalam sepi yang semakin parah itu, kedua matanya perlahan terpejam rapat. Menyisakan gelap yang kian pekat.

***

"Kenapa kamu memalsukan surat rumah sakit anak saya?" ucap Bunda ketika suaminya baru saja pulang dari rumah sakit. Hendri adalah seorang dokter yang bertanggung jawab atas tes HIV yang dilakukan  Saga beberapa minggu yang lalu. Dia sengaja memalsukan hasilnya. Dia sengaja mengatakan bahwa Saga positif HIV. Padahal semua itu tak benar. Jarum suntik yang  digunakan Saga bukan jarum suntik yang digunakan Galang.

Hendri hanya terdiam dengan raut wajah datar. Dia meletakkan jas putihnya begitu saja tanpa memperdulikan istrinya.

"Jawab saya! Pertanggungjawaban semua perbuatan bejat kamu itu!" sentak bunda sambil menarik kasar lengan suaminya.

"Kalau saja anak kamu itu tidak membully Bobby semua ini tidak akan terjadi. Berapa tahun dia membuat putra saya menderita, hm? Dia merusak mental putra saya. Dan saya harus menghancurkan mentalnya juga," Hendri mencengkram pundak istrinya, "Orang tua mana yang rela anaknya dilukai? Persetan walaupun dia putra kandung kamu. Saya tidak peduli."

Bunda menampar wajah suaminya. Air matanya menggenang. Tanpa dihancurkan pun, mental Saga sudah cukup terluka. Dia selalu melihat pertengkaran hebat orang tuanya. Dia harus melihat ayahnya yang selalu mabuk. Dia juga harus melihat orang tuanya berpisah.

"Kamu benar. Orang tua mana yang rela anaknya dilukai. Saya pun begitu. Kali ini saya akan membela putra saya. Mulai saat ini jangan pernah larang saya bertemu Saga."

Bunda beranjak pergi, dia membuka pintu kamar dengan kasar.

"Keluar dari sini berarti keluar selamanya dari rumah saya."

"Baik. Kita pisah. Silahkan langsung urus saja surat perceraian nya."

"PERNIKAHAN ITU BUKAN MAIN-MAIN!"

Bunda menoleh, tatapannya terlihat semakin tajam, "Kalau menikah hanya membuat putra saya menderita, lebih baik kita pisah saja. Kamu tidak pantas menjadi ayah baru Saga. Begitupun saya, saya tidak mau lagi menjadi ibu untuk anak kamu."

***

Ayah melihat istrinya dari kejauhan. Melinda tampak termenung sambil menatap jendela. Sudah seminggu lebih Saga tidak ada kabar. Entah kemana anak laki-lakinya itu pergi.

Ayah beranjak menuju kamar Saga. Kamar yang tak pernah lagi dia kunjungi sejak lama. Tangannya membuka pelan pintu itu. Kamar ini cukup rapi untuk kamar seorang laki-laki. Ayah melangkah masuk ke dalam. Di dinding kamar tertempel foto keluarga yang di ambil beberapa tahun silam foto yang masih terlihat rapi dengan bingkai yang masih utuh.

Dalam foto itu, ayah, bunda dan Saga ada di sana. Saga tampak tersenyum lebar. Rautnya sangat bahagia. Ayah beralih menatap foto-foto Saga yang lain. Semakin besar, senyum itu semakin sirna. Tak ada lagi senyum kecil yang manis.

Kemana senyum itu pergi?

Ayah begitu gagal melindungi senyum itu.

Ayah menoleh ke arah cermin yang retak. Dia mengerutkan kening melihat cermin di pojok kamar itu. Di sela retakan cermin ada bekas darah yang mengering. Di sekitar cermin ada pecahan kaca. Ayah meraih salah satu pecahan itu, ada bekas darah juga disana.

Apa mungkin Saga melukai dirinya sendiri?

Ayah semakin penasaran. Dia membuka laci-laci di kamar putranya. Ada beberapa batang rokok, korek dan kertas yang di remas. Dia membuka kertas lusuh itu. Kertas kecil bergambar keluarga yang bergandeng tangan. Dengan senyum yang manis. Terdapat bekas tetesan air dan coretan bertuliskan 'Pulang'.

Saga merindukan rumah yang benar-benar bisa dia sebut rumah. Rumah untuk pulang. Rumah untuk sekedar bersandar.

Ayah menghela napas pelan, hatinya berdesir perih. Malam itu dia menatap bulan dari jendela kamar putranya. Ada rasa bersalah yang mulai muncul di hatinya. Dia ingin melihat putranya itu lagi. Dia ingin melihat senyum itu lagi. Dia ingin melihat Saga tersenyum ke arahnya seperti dulu.

"Saga, pulang."

Welcome Home, Saga! [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang