𝐿𝑢𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑦𝑎𝑟 𝐿𝑢𝑘𝑎.

540 67 7
                                    

Payung hitam itu terbuka di sekitar pemakaman. Rintik air hujan yang dikira samar kini semakin deras tanpa terasa. Aghata terdiam menatap makam yang baru saja di buat itu. Tanah yang basah dan wangi bunga yang masih terdengar. Menjadi aroma paling menyesakkan. Tak terasa sudah seminggu lebih sahabatnya itu terbaring di tempat ini. Sendirian.

Rega bersandar di samping makam sambil terus meneteskan air mata. Pandangannya terlihat kosong. Berkali-kali Agahta mengajaknya pergi. Namun seakan tuli, Rega sama sekali tak beranjak sedikit pun dari tempat semula.

"Gue kasian sama dia, gimana keadaan dia sekarang? Pasti dingin di sana ... Kalo gelap gimana? Lo pernah mikir nggak sekarang dia lagi apa? Siapa yang bisa tanggung jawab tas semua ini ...." racau nya sendiri. Aghata tak menjawab, dia memalingkan wajah berusaha menyembunyikan bulir air yang menumpuk di matanya.

Hasil otopsi masih akan keluar beberapa hari lagi. Cukup lama sampai semuanya tak sabar. Bukan hanya pihak keluarga. Sebagian orang yang mengikuti berita ini pun penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Rinai.

Aghata menepuk pelan bahu Rega. Berusaha menguatkan. Hari itu, seandainya Agahta tau, Rega mencengkram kuat tanah ditangannya. Seandainya Aghata tau, tatapan Rega yang kian menajam. Seandainya Agahta tau, apa yang kini ada di pikiran Rega.

Mungkin hari itu tidak akan datang. Mungkin Agahta masih bisa mencegahnya.

Mungkin ....

***

Saga duduk sendiri di kursi taman pinggir jalan. Tatapannya tertuju ke depan. Menatap kendaraan yang melaju entah kemana. Saga menghela napas pelan, dia beralih menatap ponsel yang sudah lama dia matikan. Semuanya seakan mengisolasinya dalam kegelapan dan kesendirian.

Mengandalkan tabungan yang dimilikinya, dia harus menyewa kosan kecil untuk ditinggali sementara. Entah sementara atau selamanya dia juga tidak tau.

Cowok itu terdiam beberapa saat sebelum  berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu.

Dalam malam yang kian mencekam itu, Saga berjalan seorang diri dengan tatapan kosong. Dia menunduk menatap kaleng kosong di hadapannya. Dengan malas dia menendang benda itu hingga menyentuh ujung sepatu seseorang.

Saga mendongak, dia mengerutkan kening menatap seseorang yang kini menatapnya tajam.

***
Bunda duduk di ruang tamu sambil menikmati segelas teh. Seperti biasa. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Teh. Majalah dan acara TV kesukaannya, adalah hal yang begitu menenangkan.  Namun tidak dengan malam ini.

Hatinya resah bukan main. Entah apa penyebabnya. Dia meletakkan secangkir teh yang baru di seduhnya. Di ambang pintu terlihat seorang pembantu yang mengintip nyonyanya. Seakan ada hal yang ingin dia katakan namun tak kunjung bisa dia ucapkan.

Bunda menghela napas kasar ketika  menyadari hal itu, dia melirik tajam ke arah pembantu yang sedari tadi menguntit nya.

"Kamu cuma mau melotoin saya sampe malem?"

Pembantu itu tertegun, dia menunduk dalam-dalam. Tangannya berada di belakang punggung. Menyembunyikan sesuatu yang tampak seperti kotak.

Bunda menatap curiga ke arah pembantu itu. Wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya itu mengeluarkan sebuah kotak kado lusuh dengan secarik kertas yang tak kalah lusuhnya.

"Saya ingin memberikan ini sejak lama ...." ucap si pembantu dengan nada sepelan mungkin, "Saya disuruh tuan untuk membuangnya, namun saya tidak pernah bisa ... Rasanya saya akan sangat berdosa jika membuangnya ...."

Bunda mengerutkan kening. Tangannya meraih kedua benda itu. Di pita kado tertulis 'Untuk Bunda'. Wanita itu tertegun. Dia lantas bangkit dari duduknya dan langsung beranjak ke dalam kamar.

Dia mengunci kamar dari dalam. Berharap suaminya tidak cepat pulang. Dia meletakkan kedua benda itu ke atas meja rias. Dibukanya perlahan ikatan pita yang melilit kado itu.

Hatinya menghangat, melihat sepasang high heels berwarna merah yang terbungkus rapi dengan plastik seadanya. Di sisi kotak terselip sebuah surat kecil, dia meraih surat itu.

Bunda. Ini Saga.

Selamat ulang tahun yaa. Maaf Saga cuma bisa kasi ini, mungkin Bunda bisa beli yang lebih mahal ... Tapi Bunda harus tau, ini spesial dari Saga ...

Maaf soal kemarin ... Maaf Saga nggak seharusnya bilang ke mereka kalo Saga putranya Bunda ... Bunda pasti malu banget ya punya anak kayak Saga. Saga cuma bisa malu-maluin Bunda.

Bunda terdiam. Saat itu dia paham, surat ini di tulis setelah insiden di ruang kepala sekolah beberapa bulan yang lalu

Saga jahat banget ke Bobby ... Tapi Bunda tau nggak kenapa Saga begitu? Saga iri sama dia ... Saga pengen jadi kayak dia, pinter, punya Papa yang bisa nurutin semua keinginan dia... Dia juga bisa deket sama Bunda ... Sumpah ... Saga pengen kayak gitu ... Saga pengen orang tua.

Kalimat terakhir yang ditulis Saga, sekaan menjadi panah tertajam dari semua kalimat ... Saga memang mempunyai ayah dan bunda. Namun dia tak lagi memiliki orang tua.

Saga sering nyesel lahir ke dunia ... Tapi itu nggak lama ... Karena Saga yakin masih punya harapan ... Harapan buat bisa deket sama ayah sama bunda.

Kalo disuruh milih sih ... Bunda sama ayah lebih baik gini aja. Pisah. Bunda sama kebahagian bunda. Ayah sama bahagianya sendiri. Tapi Saga pengen tetep deket sama kalian walau kalian udah nggak bareng lagi... Maaf kalo suratnya cuma isi curhatannya Saga ... Saga bingung Bun ... Kayaknya udah jauh banget kesesatnya.

Kayaknya udah gelap banget masa depan Saga ... Kayaknya emang nggak ada harapan buat  impian Saga.

Saga hancur banget. Tapi nggak bisa cerita sama siapa-siapa.

Saga cuma pengen dipeluk bunda ... Pengen ditanyain kabar sama Bunda ... Pengen dipanggil namanya sama Bunda ... Jujur Saga udah lupa kapan terakhir kali ngerasain itu.

Bunda, telvon Saga ya? Suatu hari nanti ... Saga catetin nomer Saga di belakang surat ya? Saga janji nggak akan ganti nomer.

Saga sayang Bunda.

Air mata bunda menetes. Bukan dia benci pada Saga. Bukan dia benci pada putranya itu. Hanya saja ego lebih banyak mengambil alih dirinya. Ego memaksanya untuk pura-pura membenci anak dari lelaki yang dibencinya. Ego memaksanya meninggalkan Saga untuk menunjukkan betapa tak inginnya dia pada suami lamanya dulu.

Dalam hatinya yang paling dalam. Dia sangat merindukan putranya. Dia ingin menyapa sang putra ketika melihatnya di sekolah dulu. Dia ingin memeluknya, menepuk pelan pundaknya. Dia ingin. Sangat ingin. Namun tidak bisa. Suami barunya amat sangat membenci Saga. Tak ingin Bunda menyentuh bahkan berbicara sedikitpun pada Saga.

Bunda beralih meraih secarik surat berukuran besar yang diberikan pembantunya tadi.

Bunda tertegun. Jantungnya berdetak kencang. Surat itu adalah surat rumah sakit, yang menunjukkan bahwa putranya negatif HIV.

***

Rega. Matanya yang penuh kilat amarah itu menatap tajam ke arah Saga yang baru saja tersungkur di gang buntu itu. Cowok itu meringis kecil ketika sikunya tergores hingga mengeluarkan darah.

Rega mengeluarkan sebilah pisau dari dalam sakunya, "Gue juga nggak pernah mau ngelakuin ini. Tapi ... Nyawa dibayar nyawa. Luka akan setimpal jika dibayar sama."

"Re--"

Welcome Home, Saga! [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang