𝑌𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑡𝑖

1K 99 3
                                    

Aghata mendongak, menatap takut ke arah pria di hadapannya. Keringat dingin membasahi keningnya. Pria itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan mengarahkannya pada kepada cewek itu.

Aghata memejam. Namun bukan benda tajam yang menusuk tubuhnya, tapi sebuah pelukan dari seseorang disampingnya.

Agatha membuka mata, dia tersentak ketika mendapati Aksa, orang yang disayanginya malah mendapat tusukan dari pedang milik si pria.

Agatha membulatkan mata ketika melihat ujung pedang yang kini menembus perut kekasihnya. Darah hangat mulai menyembur keluar diantara pelukan terakhir itu.

Pria itu mencabut pedangnya seiring dengan suara sirine polisi di luar rumah.

"Aksa ... Bertahan Sa!!"

"AKSAAA!"

Aghata membuka matanya dengan cepat, napasnya tersengal. Air matanya mengalir membasahi sarung bantalnya. Cewek itu lekas bangkit dari tidur. Kedua tangannya bergetar hebat.

Seandainya dia tidak pergi ke tempat itu. Seandainya dia tidak bertemu dengan pria itu. Seandainya dia diam saja. Seandainya dia menuruti perintah Aksa.

Seandainya ....

Seandainya ....

Seandainya ....

Agatha kini hanya bisa menyesali semua tindakan gegabah nya. Kata seandainya pun tidak akan bisa lagi merubah kenyataan. Orang yang dia cintai harus mati demi melindungi dirinya.

Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya Aksa masih hidup dan ada di sampingnya hingga kini. Penyesalan yang luar biasa menyeruak di hatinya.

Seharusnya dia tidak pergi ke tempat itu sendirian. Aksa sudah terlalu lama menderita. Seharusnya Aghata membuatnya bahagia. Bukan seperti sekarang.

Suara-suara di pikirannya terus menyalahkan dirinya. Suara itu tidak mau berhenti setiap malam. Begitu menyiksa sampai dia ingin menyusul Aksa.

Aghata rela pindah sekolah. Meninggalkan kenangan bersama Aksa yang masih membekas di tempat itu. Dia juga tidak mau lagi di panggil Delta.

Rasanya begitu sakit mendengar laki-laki lain memanggilnya Delta. Seakan suara Aksa terus terdengar di telinganya.

Cukup Aksa saja.

Cewek itu berteriak kencang, air matanya terus mengalir menuruni pipinya. Dia memukul kedua telinganya sendiri berharap suara-suara itu berhenti. Suara-suara yang menyuruhnya membunuh diri sendiri.

Agatha melempar bantal-bantalnya ke lantai. Raut wajahnya terlihat putus asa. Malam-malamnya begitu menakutkan. Dia takut habis di tangan sendiri. Dia takut tidak bisa mengendalikan diri.

Kacau. Semuanya tidak berjalan seperti yang dia inginkan.

Suara tusukan, hangatnya darah dan wajah kesakitan Aksa masih terngiang jelas di pikirannya. Dan disaat seperti ini tidak ada yang bisa dia andalkan. Tidak ada orang di rumah ini selain dirinya.

Mamanya yang gila kerja membuat wanita itu selalu pulang larut. Begitupun sang kakak yang kini kuliah di luar kota. Disaat seperti ini dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri.

Tangan Aghata naik menjambak rambutnya sendiri. Setiap helai yang terlepas membuat hatinya sedikit lega.

Tak ada yang benar-benar jujur di dunia ini. Bahkan orang yang terlihat baik-baik saja, nyatanya menyimpan luka yang begitu menganga.

Dia hanya ingin meluapkan semua ini. Dia ingin di dengar, sayangnya dia tidak punya siapapun untuk itu. Semuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Welcome Home, Saga! [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang