Sheva menguatkan dirinya sendiri, memang salahnya yang masih menunggu, Sheva terlalu menutup mata dengan segala asumsi yang diciptakan olehnya sendiri, bahwa Januar akan kembali padanya dan semua akan baik-baik saja.
"Lo bener... Gua yang masih terjebak masa lalu, itu alesannya kenapa gua menghindar terus dari pertama kali gua liat lo lagi"
"Kita bisa temenan lagi Va, gua ngga bisa kalo lo ngehindar terus gini, gua ngga terima"
Sheva tersenyum singkat, hatinya semakin sakit setelah mendengar perkataan egois yang baru saja Januar ucapkan. Kalau Januar tidak terima Sheva menghindar, lantas bagaimana Sheva bisa sembuh dan keluar dari perasaannya ini? Bukankah Januar begitu kejam kalau dia tetap mau seolah tak ada masalah dan bebas berada disekitar Sheva tanpa Sheva bisa menghindar, sedangkan perasan Sheva saat ini harus dia hilangkan secepatnya?
"Lo tau egois ngga Nu?..."
"Lo yang pergi Nu..."
"Lo yang ngilang, terus sekarang tiba-tiba lo muncul di hadapan gua..."
"Sekarang gua tanya, lo masih bisa buat kita kembali kayak dulu? Hubungan kita Nu yang gua maksud..."
"Lo ngga bisa kan! Terus kenapa lo masih terus-menerus muncul dihadapan gua? Gimana caranya gua bisa lupain lo?"
Sheva menangis. Pertahanannya hancur, Sheva sudah mencoba sekuat tenaga untuk tidak terlihat seperti wanita yang menyedihkan, tapi kalau dihadapan Januar-orang yang masih ia cintai- Sheva tidak bisa. Sheva mengakui dirinya begitu lemah, merengek seperti sekarang ini dihadapan Januar, yang Sheva tahu perasaanya sudah berubah.
Pagi yang Sheva bayangkan akan menjadi pagi yang baik ternyata malah menjadi awal hari yang menyedihkan dalam hidupnya, salah satu hari terburuk dalam hidupnya.
Sheva masih menangis dan Januar hanya diam, lalu tak lama Sheva memutuskan untuk meninggalkan Januar sendiri, Januar tidak berusaha menenangkannya, jadi untuk apa Sheva masih berdiam diri dan terus menangis dihadapan Januar?
"Va... Kita lagi voting nih buat pergi ke tempat wisata, lo lebih milih yang mana? Voting nya ada di grup ya Va"
Sheva mendengar ucapan Puja, hanya saja Sheva tidak mau merespon. Secepat kilat Sheva segera masuk kamar dan menenangkan dirinya. Sheva tidak mau kalau semua temannya mengetahui perdebatan antara Sheva dan Januar tadi.
Lo kenapa?
Coba cerita, lo masih anggep gua temen lo bukan?
Lo abis ngobrol apa sama Januar?
Lo lagi nangis kan sekarang?
Januar brengsek ya? Perlu gua kasih pelajaran ngga si Januar?
Sheva membaca satu persatu pesan dari Pras, mau sepintar dan serapat mungkin Sheva menyembunyikan tangisannya tetap saja Pras selalu bisa memahaminya. Sheva butuh dihibur saat ini, biasanya Sheva akan mencari Anna untuk teman cerita tapi di liburan ini Anna tidak bisa ikut yang membuat Sheva hanya bisa menangis sendiri.
Coba buka pintunya, lo mau apa? Ayo gua temenin
Sheva menghapus air matanya lalu bercermin sebentar, matanya memerah. Sebaik apapun disembunyikan tetap saja kelihatan kalau dirinya habis menangis, tapi tawaran Pras yang ingin menemaninya benar-benar sedang Sheva butuhkan saat ini.
Sheva membuka pintunya, tapi hanya sedikit. Memastikan benar hanya Pras saja yang ada didepan kamar.
"Gua udah rapih nih, siapa tau lo mau jalan kemana gitu?"
Sheva mengangguk. Lalu bergegas pergi keluar kamar dengan menarik tangan Pras tanpa sadar dan semua itu disaksikan oleh semua teman-temannya yang saat ini berteriak heboh, menanyakan akan kemana kami tapi Pras hanya diam dan begitupun Sheva.
"Jadi mau kemana?"
"Gua mau makan, tapi makanan yang pedes. Temenin ya?"
Sheva melihat Pras menggeleng cepat, respon Pras membuat Sheva jadi kecewa, dirinya benar-benar ingin makan pedas untuk balas dendam atas perasaan campur aduk yang saat ini dirasakannya.
"Lo abis selesai nangis mau lanjut part 2 di opname? Kalo masih sayang sama lambung lo, coba pikir buat ngajak ke tempat yang lain"
Sheva diam. Selalu lambung yang jadi penghalang. Pras selalu menemani Sheva makan apapun kecuali yang bisa membuat sakit lambungnya kambuh.
"Yaudah gua mau gelato aja, tapi lo ngga boleh protes kali ini, harus mau! Lo tadi yang nawarin mau nemenin gua"
Pras mengangguk. Dia melajukan mobil dan mulai mencari tempat gelato terdekat dari daerah villa. Karena ini di puncak, jadilah tempat gelato itu benar-benar jauh, bahkan mengarah ke arah Jakarta, tapi Pras tidak protes sama sekali dan malah tetap melajukan kendaraan ke tempat gelato tersebut.
Ditengah kesibukan memakan gelato, Sheva jadi teringat kalau jarak jika kembali ke Villa sama saja dengan jarak ke arah Jakarta, sedangkan nanti malam juga rencananya untuk kembali ke Jakarta dikarenakan aktivitas normal sudah menunggu keesokan harinya.
"Pras... Menurut lo kita balik ke villa apa ke Jakarta aja?"
Pras yang sedang fokus pada game online yang dia mainkan menoleh ke arah Sheva.
"Ngapain ke villa? Kita duluan aja, emang lo masih mau ketemu sama Januar?"
Mendengar nama Januar membuat Sheva kembali kesal juga sedih. Sheva menyesal ikut liburan kali ini, bertemu lagi dengan Januar memang sudah menjadi keinginannya tapi bertemu dengan situasi perasaan Januar yang sudah berubah adalah diluar keinginannya.
"Ngga Pras... Gua masih belom siap ketemu Januar lagi, dia ternyata udah move on Pras, gua yang masih aja nyimpen perasaan ini sendiri"
"Lo dapet pemikiran dari mana kalo Nuar udah move on?"
"Dari cara dia bersikap dan ngomong sama gua"
"Dia ngga ngomong kalo dia udah move on kan?"
Sheva menggeleng. Memang benar kalau Sheva juga tidak mendengar kalimat 'move on' terucap dari bibir Januar tapi melihat sikap cueknya Januar yang hanya diam saja disaat Sheva sudah menangis sesak membuat Sheva menyimpulkan sendiri kalau hanya Sheva yang masih memiliki perasaan itu, tidak dengan Januar.
"Lo yakin dia beneran udah move on Va?"
Sheva mengernyitkan dahinya heran, bukankah tadi Sheva sudah bilang kalau itu adalah pendapatnya?
"Kenapa emang si Pras?"
"Lihat nih"
Sheva melihat ponsel Pras yang menampilkan ruang obrolan antara Pras juga Januar. Kenapa mereka bisa chatting seperti ini? Terlebih yang menjadi topik obrolan tersebut adalah dirinya dan yang memulai obrolan adalah Januar.
"Dia kenapa tanya soal hubungan kita Pras?"
"Makanya tadi gua tanya lo, lo yakin dia udah move on?"
Sheva terdiam. Jadi sebenarnya bagaimana dengan Januar? Apakah dia masih memiliki rasa yang sama? Atau memang chat antara Januar dan Pras itu hanya sekedar keingintahuan Januar saja, tidak mengartikan soal perasaannya sama sekali?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Januar
Teen FictionSheva Putri Ansafi, seorang wanita berusia 21 tahun, hidupnya selalu terlihat baik-baik saja tapi sebenernya ada sesuatu di masa lalu yang masih membuat Sheva terkadang sedih, dirinya tidak mengira kalau keputusannya dulu bisa membekas dan menimbun...