1

40K 2.1K 70
                                    

Arsen berbaring di sebelahku, mendekati tubuhku sembari melingkarkan lengannya di pinggangku. Sedangkan diriku yang berbaring memunggunginya hanya diam tanpa respon. Mataku terpejam, berpura-pura sudah tidur. Meskipun begitu, Arsen tahu bahwa aku masih terjaga.

Aroma sabun mandi yang dipakainya tercium harum di hidungku. Tangannya yang dingin usai tersiram air menyelinap masuk ke dalam pakaian tidur yang kukenakan. Jari-jarinya menelusuri pinggangku, naik menuju payudara yang tak terbalut bra dan mulai menyentuh area puting dengan menggoda.

"Kau marah?" tanyanya lembut, mengecup leherku sensual selagi jari-jarinya bermain dengan putingku.

Aku tidak menjawab, mencoba mengeluarkan tangannya dari balik pakaian tidurku dengan mata terpejam. Alih-alih menjauh, Arsen semakin bersemangat. Tangannya yang lain ikut menyelinap dalam pakaian tidurku, menyentuh payudaraku yang lain dengan lembut. Aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari Arsen yang menggoda tubuhku.

"Tidakkah kau lelah?" tanyaku dengan nada yang terdengar hampir ketus.

"Bukankah kau tahu setiap aku lelah, aku selalu ingin bercumbu denganmu?"

Balasan Arsen membuatku menghela napas kasar. Aku menggeliat lebih agresif, melepaskan tangannya dari payudaraku dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Bukannya aku malu karena ia menyentuh tubuhku, aku hanya merasa tidak ingin disentuh olehnya. Keperawananku sudah lama direnggut oleh Arsen. Aku juga sudah terbiasa melihat tubuh telanjangnya, atau melihat penisnya saat ia ereksi. Rasa malu seperti itu sudah lama menghilang dalam hubungan kami.

"Kau marah karena Helena?" tanya Arsen lagi dengan suara yang lebih lembut.

Aku menarik napas panjang, membalikkan badan menghadap lelaki yang lebih tua tujuh tahun dariku ini. Kutatap manik kecokelatannya yang gelap dan mempesona. Ia balas menatapku penuh perhatian, menunggu balasanku atas pertanyaannya yang memang tepat sasaran. Walau begitu, aku ini hanyalah pengecut yang mencoba menghindari hal-hal yang tidak ingin kudengar. Aku memaksakan senyum dan menggeleng.

"Aku cuma mengantuk," jawabku sambil menyentuh sekitar rahangnya yang agak kasar karena sering dicukur.

Meski saat disentuh terasa kasar, tapi wajah Arsen sangat mulus saat dilihat. Kulitnya putih dan tampak berkilau, alisnya tebal, bulu matanya lebat dan hidungnya pun mancung. Sudah begitu, bibirnya berwarna merah pucat yang alami. Mungkin karena ia tak pernah merokok, makanya bibirnya kelihatan sehat begitu. Aku kadang masih ragu setiap melihat dan menyentuh Arsen. Bagaimana lelaki yang begitu indah bisa kuraih dan kupeluk erat dalam dekapanku?

"Benarkah?" Arsen menggenggam pergelangan tanganku lembut, mengecup telapak tanganku ringan sambil menatapku lekat. "Tapi, kau kelihatan marah karena sesuatu."

Aku tahu, aku tidak bisa berbohong pada Arsen. Hatiku sesak, antara sedih dan kesal pada diri sendiri. Andai rasa cemburu bisa dikendalikan...

"Aku hanya kesal," bisikku lirih.

Arsen masih menaruh perhatiannya padaku, menunggu kelanjutan kalimat dari mulutku. Namun, aku tak sanggup meneruskan kalimatku. Karena aku tahu, ujung-ujungnya Arsen hanya akan meminta pengertianku dan memberitahu bahwa rumor yang beredar tidak benar. Tentu saja aku mempercayai Arsen. Bahkan, jika ia berkata matahari adalah bulan, aku tetap mempercayainya. Akan tetapi, aku juga lelah mendengar hal yang sama darinya.

Akhirnya, aku hanya menggeleng dan tersenyum paksa. "Bukan apa-apa." Aku beringsut menjauh. "Tidurlah."

Alih-alih membiarkanku, Arsen merangkak naik ke atasku. Ia menunduk, mempertemukan bibirnya dengan leherku. Suara kecupan dari bibirnya terdengar begitu manis dan menggoda di telingaku.

"Bagaimana aku bisa tidur kalau kau saja kelihatan resah seperti ini, Leila?" sahutnya manis sambil menciumi leherku.

Aku mendesah berat. Beban dalam hatiku masih terasa berat, tapi kecupan manis dan belaian lembut yang diberikan oleh Arsen menggodaku. Pada akhirnya, aku membiarkan Arsen menanggalkan pakaian tidurku, menciumi seluruh tubuhku dengan sensual dan mencumbuiku mesra.

"...terlalu dalam..." Aku terengah, sedikit menitikkan air mata karena tak sanggup menerima kenikmatan yang dihunjamkan oleh Arsen ke dalam tubuhku.

Lelakiku dengan mantap menarik dirinya, lalu menghunjam lebih keras ke titik yang sama. Kurasakan dirinya berada jauh lebih dalam lagi dari sebelumnya.

"Arsen!" rintihku, meremas rambutnya yang setengah basah.

"Di sini enak," sahutnya parau dengan kening berkerut. Ia menatapku penuh gairah, kelihatan sangat seksi sampai aku merasa tatapannya hampir membakarku.

Arsen bergerak lagi, lebih keras sampai rintihanku berubah jadi jeritan lirih.

"Sa-Sayang...!" Napasku memburu, sedang pelukanku mengerat di tubuh Arsen.

Arsen mencium bibirku, bergerak lebih keras dan kuat. Ia akan menjadi semakin liar setiap aku tanpa sengaja memanggilnya seperti itu. Kurasakan otot-ototku mengencang dan berkedut hebat di dalam sana. Sementara desahan berat Arsen terdengar semakin nyaring. Pergerakannya semakin cepat, sama sekali tidak membiarkanku menarik napas saat tubuhku lebih dahulu sampai di puncak kenikmatan sebelum dirinya. Ia menyemburkan cairannya yang terasa hangat di dalam tubuhku beberapa menit berikutnya selama aku masih berada di puncak kenikmatan yang ia bawa untukku.

Tubuhku bergetar halus, napasku memburu dan kakiku lemas. Aroma tubuh Arsen yang harum tercium begitu intens di hidungku. Tubuhnya yang keras dan berotot terasa panas selagi ia mendekap tubuhku erat. Sementara, deru napasnya menerpa wajahku. Kuamati wajahnya yang dipenuhi kepuasan dengan penuh cinta.

Resah yang sempat bergumul dalam dadaku sedikit berkurang walau tak hilang sepenuhnya. Arsen yang mendekapku dengan napas memburu dan wajah penuh kepuasan adalah Arsen yang tidak akan bisa dilihat siapapun. Bahkan oleh Helena sekalipun. Aku menyentuh wajah Arsen, membuatnya tersenyum dan mengecup bibir serta seluruh wajahku berulang-ulang.

"Masih marah?" tanyanya berat dengan halus.

Suaranya bagai candu yang tak akan bosan kudengar. Aku tersenyum, lebih tulus dan lebih tenang. Gelengan kecil kuberikan kepadanya, membuat lelakiku mengecup bibirku lagi.

"Bagiku, kamu cukup, Leila," katanya manis. "Jadi, jangan pedulikan rumor yang ada."

Seperti yang kuduga, Arsen akan mengatakan itu. Aku hanya mengangguk, mencoba berpuas diri dengan apa yang ia berikan. Akan tetapi, setitik hatiku memberitahuku agar jangan pernah berpuas diri. Arsen mungkin memberikan tubuhnya, uangnya dan kehangatannya, tapi pernahkah ia memberikan cinta padaku?

Pernahkah lelaki itu memberitahuku bahwa ia mencintaiku?

Rasa gelisah yang familiar menelusup diam-diam di sudut dadaku. Arsen selalu berkata bahwa aku cukup untuknya. Ia juga membuktikan kesetiaannya padaku. Tapi, sampai kapan diriku ini cukup untuknya yang begitu sempurna? Sampai kapan ia akan merasa puas pada diriku seorang?

Tatapanku menyendu. Pelukanku di tubuh Arsen mengerat. Pertanyaan klise yang muak kutanyakan pada diri sendiri berputar dalam benakku. Cintakah dirimu padaku, Arsen?

Sikapnya seakan mencintaiku, tapi aku tidak merasakan hatinya yang mencintaiku utuh sepenuhnya. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan, aku masih meragukannya karena ia enggan mengakui hadirku di sisinya. Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan segala perasaan yang campur aduk dalam hatiku.

"Leila?" panggil Arsen lembut. "Sayang?" Ia mengulang panggilannya lagi saat aku tak menjawab.

Aku menelan ludah kasar, masih tak mau melepaskan pelukannya.

"Aku lelah," bisikku lirih, takut jika suaraku terdengar parau karena emosiku yang kacau.

Syukurnya, Arsen tidak menyadari hal itu kali ini. Ia membalas pelukanku, mencium leherku sekilas  dan perlahan mengurai pelukan kami.

"Aku akan membersihkanmu. Kau bisa tidur, atau kita bisa melanjutkannya di kamar mandi."

"Aku mau tidur," balasku lembut.

Arsen tersenyum penuh pengertian, mengusap wajahku hati-hati sambil menarik dirinya menjauh.

"Tidurlah. Aku akan membersihkanmu."

Aku mengangguk, memejamkan mataku dan membiarkan Arsen melakukan bagiannya selagi aku tertidur.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang