26

20.5K 1.3K 13
                                    

Aku menatap Arsen yang sedang mengasuh Ranran di kamarku. Kuamati lengannya yang ditempel plaster luka karena tak sengaja terkena cakaran kuku selagi aku mencengkramnya semalam. Tubuhku terasa sakit, dan tentu saja demamku naik lebih tinggi dari kemarin. Arsen sudah membawaku ke rumah sakit untuk diperiksa, tapi dokter hanya menyatakan bahwa aku kelelahan. Juga, ia memberi catatan agar Arsen tidak berlebihan dengan aktivitas seksual kami karena kondisiku.

Kurasa, dokter itu mengira kami pasangan suami istri. Selain itu, ia juga melihat bekas-bekas yang Arsen tinggalkan di sekitar leher dan perutku selagi memeriksaku. Kami sempat berhenti di apotik untuk membeli postinor untukku, karena Arsen tidak berhati-hati semalam.

Setelah selesai mengurusku, Arsen memutuskan untuk menjemput Ranran dan mengasuhnya sekarang. Ia tidak beranjak dari tempatnya, sibuk menjagaku sekalian bermain dengan Ranran yang menempelinya bagai perangko bertemu amplop. Aku tersenyum simpul sambil menatap keduanya dalam diam. Melihat Ranran yang tidak menangis karena merindukan Arsen sudah cukup untuk membuatku tenang.

Arsen melirik ke arahku selagi mengasuh Ranran, kemudian ia mendekat sambil membawa Ranran yang masih memeluk boneka kucing. Diulurkan tangannya untuk mengelus keningku. Ranran yang berada dalam gendongannya ikut mengulurkan tangan dan menyentuh pipiku ringan. Aku terkekeh lembut, meraih tangan Ranran dan mengecupnya sayang.

"Ranran, bilang ke Ibu, cepat sembuh Ibu," pinta Arsen lembut.

"Mbuh bu!" Ranran segera mengulang ucapannya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Pipinya yang lembut dan gembul menyentuh pipiku. Aku tersenyum lebar dengan mata sayu, merasa begitu senang karena tingkah manis Ranran. Arsen ikut menunduk, mengecup keningku sekilas tanpa izin. Kontan, senyumku sedikit pudar dan mataku beralih menatapnya. Kulihat lelaki itu hanya tersenyum.

"Aku akan mengasuh Ranran, jadi berhentilah mengawasi kami dan istirahatlah," ujarnya pelan.

Kurasa Arsen mengira jika aku tak tidur karena mengawasinya.

"Bukan begitu, aku hanya ingin melihatmu dan Ranran," balasku halus. "Aku senang melihat Ranran tertawa seperti itu."

Arsen tidak langsung membalas. Ia tersenyum tipis, mengecup keningku sekali lagi dengan lembut. Tangannya terulur untuk mengusap wajahku. Dibiarkannya Ranran merangkak naik ke pelukanku. Aku tersenyum tipis dengan perasaan bahagia karena melihat keduanya berada di sisiku.

"Pasti sulit bagimu, mengurus Ranran yang menangis karena aku tidak ada."

"Sedikit. Ini pertama kalinya ia merajuk padaku sampai seperti itu."

Arsen tidak mengatakan apa pun. Digenggamnya tanganku sejenak, kemudian ia meraih tubuh Ranran yang berbaring di atas dadaku.

"Ranran, Ibu mau istirahat dulu. Ranran bermain dengan Ayah, ya?" Arsen bicara dengan lembut pada Ranran.

Ranran mengedipkan mata, menoleh ke arahku dengan tatapan penasaran. Kemudian, ia kembali menatap Arsen.

"Bu! Ibu!" Tangan kecilnya menunjuk ke arahku, seakan memberitahu Arsen bahwa ia juga ingin bermain denganku.

"Ibu sedang sakit, Ranran main dengan Ayah saja, ya?" Arsen kembali mengulang ucapannya dengan nada membujuk.

"Yah! Yah!" Ranran merentangkan tangannya di depan Arsen, memberi gestur minta digendong. "Yah!"

Kulihat senyum terkembang lebar di wajah lelaki itu. Manik cokelatnya berkilau, kelihatan bahagia. Kemudian, maniknya tertuju ke arahku.

"Ia memanggilku Ayah," bisiknya berat. "Ranran, coba ulangi yang kau katakan. Ayah?"

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang