7

26.3K 1.8K 82
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Seorang perempuan berambut panjang sebahu dengan manik hitam, wajah bulat dan mata kecil yang tampak sendu di dalam cermin menatapku bagai tak bernyawa. Perempuan di cermin itu adalah aku. Sudah sepuluh hari sejak pesan yang dikirimkan oleh sekretaris Gerald Oswald kubalas. Sampai hari ini, aku belum menerima balasan apa pun.

Karena hal itu, aku merasa gelisah. Setiap hari terasa bagai neraka. Tidak hanya keresahanku akan perasaan Arsen dan hubungannya dengan Helena Baldwin, aku harus mengkhawatirkan pertemuanku yang masih belum terjadwal dengan ayahnya juga. Aku menarik napas panjang, merasa seperti akan meledak karena khawatir.

Melangkah keluar dari kamar mandi, aku mendapati Arsen yang sedang memakai dasi yang kubelikan untuknya beberapa waktu lalu. Aku diam, mengamatinya tanpa mengatakan apa-apa. Lelaki itu kemudian memakai jas yang juga kubelikan beberapa waktu lalu. Seperti yang kubayangkan, Arsen kelihatan sangat cocok dengan setelan jas itu.

"Aku akan pulang sedikit terlambat malam ini," kata Arsen padaku.

Aku mengangguk saja, menatap wajah Arsen tanpa kata. Sejak sepuluh hari terakhir, aku mencoba memberi jarak padanya dengan menolak berhubungan badan. Arsen tidak menanyakan banyak hal soal hal itu, cenderung menerima dan menghargai keputusanku. Namun, ia bersikap lebih manis dari biasanya, sadar jika aku mencoba menjauh.

Lelaki itu menarikku dalam pelukannya, mengecup keningku ringan sambil tersenyum. "Kau tidak mau berkata apa pun tentang jas yang kau belikan? Aku mengenakannya hari ini."

"Cocok untukmu," balasku pelan sambil tersenyum hambar.

Raut wajah Arsen sedikit berubah usai mendengar balasanku. Sorot matanya juga menjadi tak terbaca. Aku tidak mengacuhkan ekspresinya yang seakan merasa janggal dengan sikapku. Tangannya terangkat, menyentuh wajahku dengan lembut.

"Kau sedikit berubah," komentarnya. Aku enggan membalas, membuat Arsen menghela napas. "Kuharap kita bisa bicara malam ini saat aku pulang. Akan kuusahakan untuk tidak terlalu terlambat walau sudah pasti aku akan kembali lebih larut dari biasanya."

Aku diam saja, tidak mengiyakan. Sikapku membuat Arsen kembali memanggil namaku.

"Leila..."

Hatiku lelah. Arsen menyembunyikan banyak hal mengenai Helena Baldwin dariku. Aku yang sudah tahu bahwa dirinya tidak mencintaiku sebagaimana aku mencintainya mulai merasa muak dengan keadaan ini. Tidak, aku bukan hanya mulai merasa muak, tapi memang sudah muak. Mungkin, sekarang adalah batasku setelah selama ini mencoba bersabar dan tidak mencecarnya soal hal ini.

Aku kembali memaksakan senyum dan mengangguk satu kali. "Aku akan menunggumu."

Saat kubilang aku akan menunggunya, aku berharap yang ia bicarakan bukan hanya sekadar soal sikapku yang sedikit berubah. Tapi juga soal Helena Baldwin dan bagaimana kelanjutan hubungan kami yang tak tentu arah ini. Arsen mengulas senyum, mengecup bibirku singkat sebelum pergi.

"Aku berangkat dulu," pamitnya.

"Hati-hati," balasku rendah, lalu melanjutkan kalimatku. "Aku mencintaimu."

Tidak ada balasan. Arsen sekali lagi mencium bibirku singkat dan beranjak pergi. Aku memutuskan untuk tidak mengantarnya sampai ke pintu, tersenyum pahit dengan hati nyeri. Aku berharap, setidaknya hari ini ia akan membalas ungkapan cintaku, meski ia berbohong. Sayangnya, lelaki itu kelihatan tidak akan pernah mengembalikan kalimat cinta yang kuucapkan untuknya berapa kali pun aku mencoba.

Apa yang kuharapkan?

Aku beranjak menuju ranjang, memutuskan untuk merapikan kamar tidur. Kemudian, melanjutkan kegiatanku dengan berberes rumah sebelum asisten rumah tangga kami datang. Sebagian ruangan di rumah sudah rapi dan bersih saat asisten rumah tangga datang. Ia hanya perlu melanjutkan pekerjaanku karena sebagian besar yang menjadi bagian dari pekerjaannya sudah selesai kulakukan.

Karena aku sudah selesai mengerjakan sebagian besar tugas dari asisten rumah tangga kami, ia bisa pulang lebih awal hari ini. Sebelum pukul dua siang, ia sudah keluar dari rumah. Aku lagi-lagi menghabiskan waktu sendirian setelah kepergiannya. Baru saja aku berniat untuk menyalakan televisi, saat pintu depan diketuk lagi. Kupikir, itu adalah asisten rumah tangga yang kembali untuk mengambil sesuatu yang mungkin ia tinggalkan.

Nyatanya, yang datang dan mengetuk pintu adalah sesosok lelaki muda berkacamata yang tidak lebih tinggi dari Arsen. Satu langkah di belakang lelaki muda itu, ada seorang lelaki lain yang lebih tua. Wajahnya mirip dengan wajah Arsen, tapi ia lebih tua dan kelihatan lebih galak. Matanya tertuju ke arahku, menatapku menilai dari atas sampai ke bawah, sementara aku membeku di tempat sambil menatapnya.

"Nona Leila?" panggil lelaki muda yang berdiri berhadapan denganku, membuatku mengedipkan mata dan berusaha mengendalikan diri. "Saya Rion Everett, yang menghubungi Anda beberapa waktu lalu."

Aku tersenyum kaku, menatap wajah Rion yang tampak lembut. "Silakan masuk."

Setelah mempersilakan keduanya masuk ke dalam dan duduk di sofa, aku segera membuatkan teh dan menyuguhkannya untuk kedua lelaki itu. Tanganku dingin, jantungku berdegup karena gugup dan seluruh tubuhku menjadi kaku. Di depanku, tidak hanya ada Rion, tapi juga Gerald Oswald yang kutakuti. Sejak ia masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa, aku tidak mendengarnya mengatakan apa pun.

Lelaki itu hanya menatapku menilai dari atas ke bawah. Aku tidak merasakan tatapan penuh penghinaan, tetapi tetap saja aku merasa terintimidasi.

"Nona Leila, biar saya perkenalkan diri sekali lagi. Saya adalah Rion Everett. Di sebelah saya adalah Pak Gerald Oswald, Presdir Oswald Group sekaligus ayah dari Arsenio Oswald yang tinggal bersama Anda," katanya sopan.

Aku membuka mulut, hendak membalas ucapan Rion yang sopan. Namun, Gerald memotong dengan nada kasar.

"Sudahi basa-basinya. Aku tidak kemari untuk berbasa-basi."

Aku langsun mengunci bibirku rapat. Pandanganku terarah lagi kepada Gerald Oswald. Wajahnya yang datar mengingatkanku kepada Arsen. Sama seperti Arsen, aku juga tak bisa membaca ekspresinya. Lelaki itu menatap sekeliling ruang tamu dan menarik napas.

"Tempat ini dirawat dengan baik. Kutebak, kau yang melakukannya," ujarnya.

"Saya dibantu oleh asisten rumah tangga."

Gerald mendengkus. Aku menelan ludah, menunggunya bicara dengan hati cemas.

"Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Yang ingin kukatakan adalah, segeralah tinggalkan Arsen. Ia akan menikahi Helena Baldwin dalam tiga bulan."

Tubuhku membeku mendengar ucapan Gerald. Menikahi Helena Baldwin dalam tiga bulan? Arsen tidak mengatakan apa pun padaku soal hal itu.

"Biar saya putuskan hal ini, setelah berbicara dengan Arsen," kataku pelan dengan sopan.

"Kalau kau bicara dengan Arsen, memangnya apa yang berubah?" balas Gerald, terdengar tak sabar. "Pergilah. Jangan jadi duri dalam daging untuk putraku. Aku akan memberimu uang yang banyak, cukup untukmu hidup tanpa kerja seumur hidupmu."

Aku mengulas senyum kaku dengan hati pedih. Firasat yang kurasakan selama ini ternyata tidak membohongiku. Menyedihkan sekali. Apakah kami akan berpisah seperti ini?

"Setidaknya, biarkan saya mendengar sendiri apa yang Arsen katakan soal pernikahan ini, Pak," ujarku parau dengan suara bergetar. "Saya akan pergi setelah berbicara dengannya."

Gerald menatapku dengan mata berkilat jengkel. Namun, ekspresinya tetap datar dan tak terbaca. Selama beberapa saat, ia hanya diam sambil mengamatiku. Kemudian, lelaki itu mengembuskan napas kasar.

"Rion akan mengirimkan uang ke rekeningmu hari ini. Bicaralah dengan Arsen, dan tinggalkan tempat ini sebelum hari pernikahannya dan Helena tiba."

Memang itu rencanaku jika yang disampaikan oleh Gerald adalah benar. Bukannya aku menuduh lelaki itu berbohong, tetapi aku hanya ingin mempercayai Arsen sampai akhir. Walau hatiku tercabik mendengar pernikahan Arsen dari Gerald, aku tetap ingin mendengarkan informasi ini secara langsung dari mulut Arsen. Aku tahu, aku melakukan sesuatu yang bodoh. Akan tetapi, hanya itulah cara untuk membuatku pergi meninggalkannya.

"Saya mengerti, Pak." Aku menundukkan kepalaku dengan rahang mengeras.

Tidak ada kata lain yang disampaikan oleh Gerald kepadaku. Lelaki itu meminum teh yang kusuguhkan sebagai bentuk sopan santun dan pergi melihat ke arahku. Aku mengantar kepergian keduanya dengan wajah kaku, dan untuk yang kesekian kalinya menitikkan air mata saat hanya ada diriku sendiri. Ini sangat menyakitkan.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang