9

28.2K 1.7K 48
                                    

Aku terbangun pagi harinya dengan mata perih dan tubuh nyeri. Kurasakan belaian di pipiku, membuatku mendongak untuk menatap wajah Arsen yang sudah lebih dahulu bangun. Ia menatapku dengan wajah datar. Hatiku mencelus saat melihat wajahnya, mengingatkanku akan luka yang ia torehkan entah itu pada fisik atau mentalku.

Tak ada kata yang terucap saat kami saling pandang. Aku menjadi orang pertama yang mengakhiri kontak mata, mencoba mendorong Arsen yang masih memelukku erat. Alih-alih melepaskan, ia justru semakin mengeratkan pelukannya. Tangannya yang membelai wajahku kini berganti mengelus rambutku, memainkan ujung rambutku tanpa kata.

"Mau ke mana? Tidurlah lagi," ujar Arsen rendah.

Arsen memang paling mengerti kondisiku. Ia tahu bahwa aku masih mengantuk hanya dengan melihatku. Namun, aku tidak berkeinginan untuk mendengarnya. Hubungan kami berakhir. Mungkin, bagi Arsen hubungan kami tetap sama. Tapi, bagiku, semuanya sudah berakhir begitu kukatakan padanya bahwa kami berpisah.

"Aku mau mengemasi barangku."

Balasanku membuat wajahnya berubah. Alisnya bertaut, tatapannya tajam tertuju kepadaku. Pelukannya semakin erat dan membuatku hampir kesulitan bernapas. Tangannya yang diletakkan di pinggangku, kini mencengkram bagian itu erat-erat.

"Biar kuperjelas, Leila. Kau tidak akan meninggalkan tempat ini," katanya memperingatkan dengan suara rendah. Lalu, menambahkan kalimatnya dengan penuh penekanan. "Tidak akan pernah, Sayang."

Aku terdiam, memalingkan wajah dari Arsen. Namun, lelakiku... bukan, aku tidak bisa memanggilnya seperti itu lagi. Ia bukan lagi milikku.

Arsen menggunakan tangannya yang tidak memelukku untuk mencengkram daguku, setengah memaksaku agar beradu pandang dengannya. Aku pernah bertengkar dengan Arsen, tapi tak pernah sekalipun ia menunjukkan ekspresi sekeras dan sekasar ini untukku.

"Pilihlah, Leila. Kembalilah tidur karena kau masih lelah, atau kubuat pingsan supaya kau bisa beristirahat." Arsen mulai mengancamku. "Kau mungkin akan menangis jika membuatku melakukan opsi kedua, tapi aku akan tetap melakukannya dengan senang hati. Percayalah."

Aku terdiam, melepaskan tangan Arsen dari daguku. Kemudian, aku menggeliat, memunggunginya yang masih memeluk tubuhku dan memutuskan untuk memejamkan mata. Aku kembali tertidur, tidak tahu berapa lama. Akan tetapi, aku terbangun karena mendengar suara ponsel Arsen berdering di nakas. Aku tetap memejamkan mataku, berpura-pura tidur saat Arsen menjawab teleponnya.

Dari percakapannya, kutebak keberadaan Arsen diperlukan di kantor. Namun, lelaki itu memerintahkan penundaan jadwal pada orang di telepon. Sepertinya, yang menelepon adalah salah satu dari dua sekretarisnya.

Kemudian, Arsen memutus sambungan telepon. Ia kembali memelukku usai meletakkan ponselnya di atas nakas. Kurasakan tangannya membelai rambutku lembut, dan bibirnya mengecup pipiku. Pelukannya merenggang. Tangannya yang melingkar di tubuhku bergerak menjauh. Lalu, aku merasakan kasur yang kami tiduri sedikit berguncang.

Terdengar derap langkah Arsen yang meninggalkan ranjang, masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu. Aku masih memejamkan mata, menunggu sampai aku mendengar suara percikan air dari shower yang digunakannya.

Perlahan, kubuka mataku dan kutegakkan tubuhku yang masih nyeri. Arsen akhirnya melepaskanku. Ini adalah kesempatanku untuk berkemas dan pergi. Namun, cukupkah waktu yang kumiliki untuk berkemas dan pergi dari tempat ini tanpa diketahui oleh Arsen? Aku memutuskan untuk bangkit dari ranjang, berjalan sedikit sempoyongan menuju walk in closet karena merasa perih dan nyeri di bagian-bagian tertentu saat berjalan.

Aku melangkah masuk ke dalam walk in closet, mencoba mengambil koper yang kuletakkan di kabinet tas teratas. Aku mencoba berjinjit untuk menggapai koper. Sayangnya, saat aku berhasil meraih koper, aku hampir membuat benda itu jatuh ke kepalaku. Sebelum koper itu jatuh ke tubuhku, kurasakan tangan seseorang melingkar di pinggangku, menarikku mundur dengan gerakan yang sangat cepat. Koper itu jatuh di lantai, tidak mengenaiku sedikit pun.

Aku membatu, tidak bisa bergerak selama beberapa saat karena terkejut. Kurasakan punggungku sedikit basah, juga terdapat air menetes di bahu dan tanganku. Aku menoleh, mendapati Arsen yang memeluk tubuhku dengan satu tangan. Ia hampir telanjang, hanya dibalut handuk di bagian panggul hingga lutut. Rambut dan tubuhnya masih basah, belum sempat dikeringkan olehnya.

Matanya menatapku dingin dan tajam. Kurasakan tangannya lagi-lagi mencengkram pinggangku kuat.

"Kubilang apa soal pergi dari sini, Leila?" desisnya rendah dan berat.

Bibirku terkatup. Kesempatanku untuk pergi sudah hangus. Aku hanya bisa menatap koper yang tergeletak di lantai dengan tatapan kecewa. Arsen menarik tubuhku keluar dari walk in closet, membawaku kembali ke kamar dan melemparku ke ranjang lagi. Ia berdiri di hadapanku, menyibak rambutnya yang basah dengan kasar.

"Aku benar-benar tidak bisa melepaskan pengawasanku sebentar saja darimu, huh?" geramnya, merangkak naik ke atas tubuhku dengan tatapan mengancam. "Apa perlu kuikat saja kakimu?"

"Ayahmu saja ingin aku pergi. Kenapa menahanku?" responku tanpa menatapnya.

Embusan napas Arsen menerpa wajahku. Kudengar geraman tertahan terdengar dari tenggorokannya. Sedang air dari rambutnya menetes di hidungku. Aku memberanikan diri untuk menatap wajah Arsen lagi, mendapati hatiku kembali terasa sakit saat menatapnya. Aku tidak bisa tinggal lebih lama bersama dengannya lagi. Aku begitu mencintainya sampai aku merasa sakit.

Terlepas dari semua yang telah ia lakukan padaku sejak semalam, tidak ada sedikit pun rasa marah yang kurasakan. Hanya sedih, kecewa dan lelah.

"Aku akan mengurus soal itu, Leila," gumamnya terdengar kasar. "Bagaimana kalau kau berhenti mencoba berkemas dan pergi dari sini, hm?"

Mataku mulai basah. Sungguh, aku tidak ingin pergi dari sini. Aku masih ingin bersama dengan Arsen jika ada yang bertanya apa yang sebenarnya kuinginkan. Namun, aku juga ingin pergi darinya. Aku tidak kuat lagi dengan rasa sakit yang ia sebabkan pada hatiku.

"Tidak mau menjawab?" tanyanya rendah, meraih tanganku dan menahannya di atas kasur.

"Aku hanya ingin mengakhiri hubungan ini..."

"Maka, aku tidak punya pilihan lain, Leila. Kau yang membuatku harus mengurung dan mengawasimu," potongnya tajam. "Kau bisa membenciku karena yang kulakukan, tapi kau tak akan bisa pergi."

Dan dengan kalimat itu, Arsen kembali menciumku, menanggalkan seluruh pakaianku dengan cepat, lalu mempersiapkan tubuhku agar siap menerimanya. Meski aku enggan, aku memutuskan untuk tidak melawan dan membiarkannya melakukan apa pun yang ia mau. Arsen bersikap sangat kasar padaku karena aku melawannya semalam. Kupikir, jika aku diam dan membiarkan, maka ia tidak akan sekasar tadi malam.

Nyatanya, aku salah. Arsen justru bertindak jauh lebih parah dari yang bisa kubayangkan. Ia tak pernah meninggalkan bekas pada tubuhku selama kami bercinta, tapi pagi ini, bekas-bekas berbagai warna yang berbentuk tak karuan menyebar di seluruh tubuhku. Dari leher hingga paha, tidak ada satu pun bagian yang dilewatkan olehnya.

Aku terkapar lemas pagi itu, setelah Arsen selesai membuatku menjerit tak karuan. Tubuhku lengket karena keringat dan cairan mani miliknya. Sedang pinggangku yang sudah nyeri bertambah lebih nyeri lagi. Arsen tidak bersikap manis padaku. Ia seakan mencoba menakutiku, bahwa apa pun yang kulakukan hanya akan membuatku berakhir di ranjang dalam keadaan seperti ini.

Kupandangi wajahnya dengan perasaan sedih. Dalam semalam, aku tidak bisa lagi menemukan Arsen yang begitu kucintai. Arsen yang sangat lembut dan memperhatikanku, kini akan melakukan apa pun termasuk menyakitiku untuk mengungkungku bersamanya.

Menyedihkan. Sangat menyedihkan. Sampai aku tidak bisa berkata-kata lagi untuk menggambarkan bagaimana sakit dan hancur perasaanku. Rasa cinta yang kumiliki untuknya, membawaku sampai ke titik ini, di mana seluruh perasaanku lebur dan mati, hingga yang tersisa hanyalah sakit dan pilu.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang