3

28.1K 1.8K 37
                                    

Aku berjalan mengelilingi area perabotan rumah tangga, menyusuri setiap rak yang memajang peralatan makan, pot hias dan berbagai furnitur kecil yang digunakan untuk memperindah rumah. Semuanya kelihatan menarik, tetapi aku tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang untuk perintilan rumah. Semua yang kubeli di rumah masih baru dan selalu bersih karena dibersihkan oleh asisten rumah tangga yang datang setiap hari pada pukul sebelas siang, sampai tiga sore.

"Pak Arsen memintaku menemanimu berbelanja pakaian, tas atau sepatu, tapi kau malah menghabiskan satu jam di sini," ujar Dannisa yang mengikutiku sejak tadi.

Tubuhku memutar, menghadap ke arah Dannisa yang menatapku agak masam. Perempuan yang lebih tinggi dariku mengenakan blus berenda warna pink pucat dengan rok sepan warna cokelat tua. Rambut kecokelatannya diikat satu dengan rapi. Dannisa tampak segar, karena ia juga ikut menikmati pijatan di spa bersamaku.

Ia sempat menolak awalnya, tapi aku memaksa karena tak enak membuatnya menungguku menerima pijatan. Akhirnya, kami menerima perawatan dan pijatan bersama. Setelahnya, perempuan itu rewel agar aku tidak kembali ke rumah dan pergi ke Mal Halton yang merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Edorra, ibukota dari The Great Almoor. Ada berbagai outlet merk mewah dan terkenal di tempat ini, tetapi aku lebih suka berjalan-jalan di lantai lima mal yang memamerkan berbagai furnitur rumah.

"Aku masih belum membutuhkan itu," sahutku ringan. "Lagi pula, semua yang kumiliki masih bagus."

"Tapi, atasanku ingin kekasihnya menghabiskan uang untuk hal lain selain perabotan rumah!" Dannisa mengerutkan kening.

Aku mengulum senyum, berbalik untuk melanjutkan langkahku dan melihat-lihat pajangan gelas di rak. Ada alasan mengapa aku tidak pernah membeli hal lain selain perabotan rumah. Aku tidak pernah berkencan di luar dengan Arsen. Selama dua tahun menjalin hubungan, terhitung hanya satu kali kami berkencan selain di penthouse-nya, yaitu di sebuah vila yang terletak di Pantai Iskaar.

Tidak ada alasan bagiku untuk membeli pakaian, tas atau sepatu yang baru. Semua yang kumiliki di rumah cukup bagiku. Lagi pula, meski aku selalu mencoba tampil cantik di depan Arsen, ia lebih suka diriku yang telanjang dalam pelukannya.

"Gelas ini kelihatan cantik untuk menjamu tamu," ujarku pada Dannisa yang masih mengerutkan kening.

Perempuan itu tidak membalas ucapanku. Ia hanya diam, membiarkanku menyentuh gelas bening yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Ada beberapa gelas yang sehari-hari kami gunakan di rumah, tapi aku baru sadar bahwa kami tak pernah punya gelas untuk menjamu tamu. Sayangnya, aku dengan segera sadar bahwa tidak akan pernah ada tamu yang datang ke rumah selain Dannisa. Dan lagi, Arsen, 'kan, enggan menunjukkan diriku pada dunia.

Aku menarik napas, melangkah mundur sambil melirik ke arah Dannisa yang sudah memasang wajah memelas. Seakan, ia meminta diriku agar meninggalkan lantai lima, dan turun ke lantai dua untuk membeli barang-barang mahal dan bermerk di sana. Aku jadi kasihan pada Dannisa.

"Ayo turun," ajakku membuat Dannisa mengernyit. "Kita ke lantai dua." Aku menambahkan, agar ia tidak merasa cemas lagi.

Wajahnya langsung berubah semringah. Dengan langkah ringan, ia mengikutiku turun ke lantai dua. Tidak ada yang menarik di lantai dua. Pakaian-pakaian mode terbaru, perhiasan yang berkilauan, atau tas-tas kulit yang tampak mewah sama sekali tidak membuatku merasa ingin membelinya.

Aku hanya berjalan berkeliling, melihat-lihat tanpa minat dan akhirnya berhenti di sebuah toko jas yang memajang setelan jas berwarna krem muda di manekin. Tanpa berpikir dua kali, kakiku langsung tertuju ke toko itu. Tanganku menyentuh setelan jas yang dipajang di manekin. Kainnya halus dan tebal, kelihatan nyaman dan hangat jika digunakan.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang